20. Dark Cakra_2

80 7 2
                                    

Terdengar suara tongkat kasti yang sengaja digeret di sepanjang lantai di belakangnya. 

"Duduklah," perintah suara itu.  

Dia duduk dengan susah payah.  Seluruh tubuhnya terasa sakit. Telapak tangan kanannya yang paling sakit, sampai tidak mampu ia gerakkan.  Matanya masih berkunang-kunang.  Sensasi darah juga terasa di lidahnya. Dia meludahkannya ke samping, merah.

Aura dingin melingkupi sejak tadi.  Suara itu semakin dekat, lalu berhenti.  Dia merasakan pemukul kasti itu kembali menyentuh punggungnya, kali ini dengan perlahan.

"Irgi ... Namamu Irgi, kan?" tanyanya. "Kau sudah paham sekarang?"

Irgi mengangguk pasrah.

Cakra membungkuk, lalu berbicara tepat di telinganya.

"Mulai besok ... putuskan Maisa." 

Irgi mendongak, menatap sosok Cakra yang kini telah berdiri di hadapannya.  Tongkat pemukul kastinya terangkat di udara, melayang, dan ... 

Irgi hanya sempat memejamkan mata sebelum kembali tersungkur.

Cakra menatap tubuh Irgi dengan perasaan kesal, lalu pergi meninggalkannya. 

Dia adalah pacar Maisa yang ketiga.  Dia yang paling susah digertak. Jika dua yang sebelumnya segera mundur begitu mendapatkan teror ancaman Cakra, tetapi tidak dengan Irgi. 

Dan inilah akibatnya.

*

Cakra  menyudahi lagunya, lalu meletakkan gitarnya di atas ranjang, melewati kepalanya.  Dia menyandarkan kepalanya, menoleh ke arah jam dinding kamarnya.

Hampir jam tiga sore, Maisa belum juga pulang.  Jarum jam terus berputar dari menit ke menit.

Jika sampai jam tiga nanti dia masih belum juga sampai di rumah ...

Lamunannya terputus oleh suara jejak kaki yang menghentak di tangga.  Cakra memperbaiki duduknya dan menunggu. 

Maisa melewati kamar tanpa melihatnya.  Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Bunyi berdebamnya mengejutkan.

Cakra mendesah, lalu kembali ke posisinya semula, selonjoran di lantai.  Kali ini, kepala dan kedua tangannya rebah di atas ranjang.  Matanya terpejam.

Lima belas menit, Cakra akan menunggunya.  Dia menghabiskan waktu dengan bernyanyi perlahan, setengah menggumam.

Dan...
Bukan maksudku, bukan inginku
Melukaimu
Sadarkah kau di sini ku pun terluka
Melupakanmu, menepikanmu
Maafkan aku

Pintu kamar Maisa terbuka kembali.  Tak lama, dia sudah berdiri di depan pintu kamar Cakra dan memandangnya.  Cakra menghentikan nyanyian, balas menatapnya.

Mendung menaungi wajahnya.  Matanya merah dan masih berair, jejak air matanya terlihat jelas.  Begitu juga puncak hidungnya, merah.  Tangannya menggenggam beberapa lembar tisu yang lecek.

Dia masuk, lalu duduk di samping Cakra dengan dramatis, dan kembali menangis.  Berkali-kali menyeka air matanya dengan tisu yang sudah basah.

Cakra hanya membiarkannya.  Dia duduk bersila dengan sebelah tangan bertumpu di dagu, menatap langit-langit.  Menunggu.

Lalu, kepala Maisa rebah di bahunya.

Tubuh Cakra menegang sesaat.  Dia menukar posisi, menekuk kaki, dan memeluk lututnya sendiri.  Menggigit bibir bawahnya dan mengatur nafas untuk mencegahnya terhanyut dalam suasana, atau hasratnya.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang