16. Nostalgia

100 15 2
                                    

Cakra menoleh sedikit ketika mendengar namanya disebut.  Tawa cekikikan gadis-gadis muda penjaga buku tamu itu terdengar,  menerbitkan senyum di bibirnya.  Mereka pasti membaca namanya yang ia tuliskan di dalam buku tamu tadi.  Dia menerka-nerka apakah mereka merupakan keponakannya, mungkin anak dari salah satu sepupunya. 

Memasuki gerbang dengan dekorasi bunga yang menjadi pintu masuk ke tempat acara, barisan pasangan berseragam menyambutnya.  Usia mereka mungkin sebaya dirinya.  Wanita di sebelah kanan, dan pria di sebelah kiri.  

Cakra meniup nafas pelan sambil terus berjalan, mengamati mereka diam-diam.  Mereka mungkin saja bagian dari keluarga besarnya, tetapi tidak ada satu pun yang ia kenal atau mampu diingatnya. 

Di belakangnya, serombongan tamu dengan dandanan mewah berjalan ke arah yang sama. Cakra membiarkan mereka masuk mendahuluinya.  Aneka sapa dan tawa basa-basi terdengar.  

Keengganannya semakin berat tatkala menangkap sosok lelaki yang tengah menyapa ramah seorang tamu.  Cakra sengaja tidak memandangnya, mencoba berbaur dengan tamu yang  masih berkerumun, tetapi Ibad terlanjur melihatnya.

"Cakra! Ah, kau datang?" serunya. 

Cakra tidak meresponnya, tetapi beberapa orang menoleh, termasuk Maisarah.  Wanita itu berbalik dan bertemu pandang dengannya. 

"Kakak! Alhamdulillah Kakak datang juga," ucapnya semringah.

Cakra melambatkan langkah, menatapnya lekat.  Matanya yang besar berbinar, senyumnya terulas lebar meski langkahnya menuju Cakra harus terhenti beberapa kali karena bertabrakan dengan tamu-tamu yang sedang lewat. 

Dia terlihat anggun, dalam balutan brokat kurung hijau sage  dan jilbab senada.  Selendang dan kain songketnya berwarna merah muda.  Pasti berpasangan dengan Ibad, karena pria itu juga menggunakan motif songket serupa pada tanjak dan rumpak yang dikenakannya.  Pakaian mereka mirip dengan yang dikenakan para penyambut tamu lainnya.

"Tentu saja Maisa sayang," cetus Ibad, menyusulnya.  "Ini pernikahan cucu pertama keluarga Admiral, perhelatan besar.  Kuwalat kalau sampai dia tidak datang," lagak Ibad. 

Maisarah mendelik padanya, lalu menggamit lengan Cakra untuk menjauh. "Ayo, aku antar Kakak ke dalam," ajaknya.

Cakra mengikutinya, meninggalkan Ibad yang masih terus memandangi mereka dengan perasaan tak suka, "Jangan lama-lama!  Tidak enak aku menunggu tamu sendirian di sini tanpa pasanganku," katanya ketus.

Sambil berjalan, celoteh Maisarah terdengar, "Ini maunya Kak Arkan," katanya.

Cakra menoleh.  Mereka berjalan bersisian di bawah tenda mewah nan luas itu. 

"Kak Arkan bilang, kami belum resmi bercerai, makanya Kak Ibad dan aku masih tetap dipasangkan sebagai panitia penyambut tamu." Dia mengakhiri penjelasannya dengan memberengut, menunjuk ke pakaiannya dengan mata.

Cakra  paham,  "Baguslah, kalian masih punya kesempatan untuk berfoto mesra dengan pakaian seragam ini," godanya.

Maisarah mendengkus, "Tak sudi!" ucapnya ketus.  

Cakra terkekeh, hatinya tiba-tiba terasa ringan.  Dia sudah mendengar tentang hasil keputusan sidang cerai itu.  Maisa meneleponnya di hari yang sama.

Mereka melewati barisan kursi tamu yang berjajar lima baris di kanan dan kiri.  Terdapat jalan utama di tengah yang berlapis karpet merah.  Jalan itu berakhir ke sebuah panggung dengan lebar 10 meter.  Pelaminan megah berdiri di atasnya, masih kosong.  Hanya terdengar lantunan lagu yang dinyanyikan oleh biduanita dari panggung yang lebih rendah di sebelah kiri.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang