23. Cinta yang Salah

117 13 2
                                    

Pembangunan fasilitas pengolahan air bersih sudah hampir rampung. Cakra membangun dua jalur perpipaan dengan tandon penampung besar, satu untuk kebutuhan di pesantren, dan satu lagi untuk kebutuhan air minum dan memasak di perkampungan kecil itu.

Tidak hanya Ustadz Ridwan dan penghuni pesantren yang bersukacita, warga kampung pun merasa sangat berterima kasih. Mereka tidak akan lagi kesusahan mendapatkan air bersih, terutama di musim kemarau.

"Saya bersyukur,  perusahaan Pak Cakra langsung menangani proyek ini, tidak sekadar menyerahkan dananya ke perangkat desa," ujar Ustadz Ridwan, pada acara syukuran yang digelar warga untuk mendoakan pembangunan tower air itu.

"Mengapa begitu?"

Ustadz Ridwan tersenyum, "Yah, terkadang, dana CSR dari perusahaan yang sampai kepada kami sudah berkurang dari jumlah semula.  Bahkan terkadang kampung ini tidak mendapatkan bagian, karena sudah lebih dulu dialokasikan ke tempat lain oleh pemerintah setempat."

"Tentu saja pembangunan fasilitas pengolahan air ini mesti dilaksanakan di kampung ini, Ustadz. Karena di sinilah pusat perusahaan saya.  Saya tidak terlalu paham tentang masalah perizinan.  Rumana yang mengurusnya."

Ustadz muda itu manggut-manggut, "Yah, semoga semuanya lancar-lancar saja. Bu Bidan juga mengatakan, akan melaporkan mengenai CSR tower air ini kepada dinas kesehatan kabupaten, Pak Cakra, supaya semakin sah."

"Oh iya Ustadz, bagaimana dengan rencana untuk merenovasi gedung pesantren? Beberapa teman saya dari Jakarta sudah siap untuk menjadi donaturnya," lanjut Cakra.  

Senyum lebar kembali terulas di bibir Ustadz Ridwan, "Tentu saja berita itu kami sambut dengan senang hati.  Kapan Pak Cakra akan memulainya?"

"Saya akan memeriksa terlebih dulu mana saja yang perlu diperbaiki, seperti yang Ustadz Ridwan sampaikan dalam proposal itu.  Karena ini bukan bagian dari dana CSR perusahaan, jadi di tahap awal ini, saya hanya akan bekerja sendiri dulu." 

"Baik, Pak Cakra.  Saya siap mendampingi."

*****

Ajeng berjalan mendekat, seorang santri remaja mengikuti di belakangnya.  Cakra menjawab salam keduanya, dan menyambut uluran tangan santri pria itu.

"Ini Aris, Pak Cakra.  Dia adalah santri terlama di pesantren ini.  Dia akan membantu kita mencatat atau mengukur," kata Ajeng, lalu memberikan sebuah map kepada Cakra.

"Kak Ridwan masih di Surabaya, mengunjungi istri dan anak-anaknya.  Jadi, beliau meminta saya untuk menemani Pak Cakra berkeliling pesantren," jelasnya.

Cakra mengangguk. Ustadz Ridwan sudah menyampaikan itu saat dia meneleponnya semalam. 

"Saya baru tahu, jika Ustadz Ridwan ternyata LDR-an," guraunya.

Ajeng tersenyum, "Mereka baru menikah satu tahun.  Istrinya belum bisa ikut ke sini karena sedang menyelesaikan kuliahnya."

"Mereka sudah punya anak?"

Ajeng menggeleng, "Anak-anak Kak Ridwan tinggal di pesantren milik kakek mereka di Sidoarjo.  Mmh ... itu anak-anak dari almarhumah istri pertama Kak Ridwan," katanya, ketika mendeteksi kebingungan di wajah Cakra.

Kemudian Ajeng memberi isyarat agar mereka mulai berjalan. Sambil melihat gambar denah pesantren dari map itu, dia mengikuti langkah Ajeng.

Mereka bertiga lantas berkeliling mengunjungi lantai gedung satu persatu, sambil membahas beberapa hal yang perlu direnovasi. 

Ajeng, terlihat begitu piawai dalam menjelaskan.  Beberapa idenya tentang konsep renovasi juga menarik perhatian Cakra.

"Saya jadi yakin, kalau sebenarnya kamulah yang menyusun proposal renovasi itu, Jeng," ucap Cakra sambil tersenyum.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang