6. Di tengah sepi

129 23 18
                                    

Cakra menyetel musik di laptopnya. Alunan intronya bergema di tengah sunyi. Dia bersandar di kursi besarnya, mendengarkan lagu itu sambil memejamkan mata. Dia hanya ingin beristrirahat sejenak, setelah cukup lama membaca beragam berkas laporan yang dibawanya dari kantor.

***

"Kau tahu lagu itu?" Suara Admiral mengejutkannya. Cakra langsung bangun dan berlari memeluk lelaki itu. Ayahnya membalas pelukannya dengan tak kalah hangatnya.

"Kapan ayah sampai?" tanyanya senang. Admiral masuk ke dalam kamarnya. Mereka duduk berdua di ranjang.

"Baru saja. Langsung mencarimu ke ruang musik, tetapi kau tak ada. Malah asyik tidur-tiduran di kamar," gerutunya, tetapi dengan senyum.

"Hari ini bukan giliranku nge-band, tetapi Andala emh ... Kak Andala," ralatnya, tatkala melihat lirikan tajam Admiral yang menegurnya.

"Padahal, ayah ingin melihatmu mencoba alat-alat musik itu," katanya, terlihat kecewa.

Cakra meraih gitarnya, "Aku bisa memainkan musik dengan gitar ini. Ayah ingin mendengarkan lagu apa?" tantangnya, sudah bersiap dengan gitar itu.

"Lagu yang baru saja kau nyanyikan, lagunya Koes Plus, Bunga di Tepi Jalan. Itu lagu favorit ayah," ucap Admiral semringah.

Cakra tersenyum, "Bukan lagu Koes Plus, tetapi Sheila on Seven, Ayah," katanya tertawa, lalu menunjuk ke poster band favoritnya yang terpampang di dinding kamarnya.

Admiral menggeleng, "Kau salah. Itu lagunya Koes Plus. Sheila on Seven hanya menyanyikannya ulang," jelasnya.

"Mengapa itu menjadi lagu favorit ayah?" tanyanya penasaran.

"Itu mengingatkan ayah pada bundamu. Pada pertemuan pertama kami," kenang Admiral dengan mata menerawang.

"Bunga di tepi jalan?" Dia masih tak mengerti.

Suatu kali kutemukan
Bunga di tepi jalan
Siapa yang menanamnya
Tak seorang pun mengira

Admiral menyenandungkan sebait lagu itu, lalu tersenyum. "Kami bertemu pertama kali di tepi jalan besar, di suatu tempat di Baturaja. Bundamu kehilangan dompetnya. Dan ayah yang membantu mencarikannya."

Dahi Cakra berkerut, "Bertemu di tepi jalan? Kehilangan dompet? Bagian mananya yang romantis?" ejeknya.

"Bagian romantisnya? Ayah langsung jatuh cinta padanya," jawab Admiral sambil mencolek pinggangnya.

Cakra tertawa renyah, wajahnya memerah. Dia selalu saja merasa jengah setiap kali mendengar cerita Admiral tentang ibunya, tetapi tetap saja menyukainya. Itu membuatnya bahagia. Dia adalah buah cinta mereka. Dia terlahir karena cinta.

***

Lalu, Mak mendatanginya yang tengah bersembunyi, membimbingnya ke depan cermin.

"Mengapa Mak pindah ke Palembang?" tanyanya.

"Itu karena kau," jawab Shafiyah, tersenyum sambil menjewer telinganya dengan lembut.

Cakra menaikkan alisnya tanda tak paham.

"Kau terjatuh dari tangga saat berusia empat tahun. Lihat ini, sepuluh jahitan di kepala. Ayahmu marah besar, karena menganggap tak ada yang peduli padamu di rumah ini. Dia mengancam akan meninggalkan Nyai dan Datuk hanya untuk merawatmu. Jadi, Datuk terburu-buru menyuruh Mak pulang dari Bangka agar bisa menjagamu."

Shafiyah menghapus air matanya. "Paham, kan kau, begitu besar arti dirimu bagi ayahmu. Dia rela kehilangan segalanya asal bukan kehilanganmu. Jadi tak usah berkecil hati." Dia membungkuk untuk menepuk dada Cakra perlahan. "Mak tahu bahwa kau anak yang kuat. Hatimu itu sekuat baja."

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang