2. Mari kita move on! (part 2)

173 25 16
                                    

Berbaring di samping Maisarah, sepupu manisnya yang kini kembali terlelap di atas karpet tebal ruang tengah, Cakra tersenyum. Dia ingat posisi ini, sama seperti dulu.

Saat masih kecil, mereka selalu tidur bersaa, bertiga dengan Wildan, kakak-hampir kembar Maisarah. Setiap malam, Mak akan menghamparkan kasur di depan televisi, lalu mendongeng untuk mereka.

Wildan adalah kakak kandung Maisarah. Dikatakan hampir kembar, karena jarak usia di antara mereka sangat dekat. Cakra hanya dekat dengannya semasa Wildan masih SD. Setelah lulus, Wildan masuk ke pesantren hingga SMA, dan mereka menjadi jarang berkomunikasi.

Cakra tumbuh besar bersama Maisarah.

Dia tahu segalanya tentang Maisa. Bahwa dia telah tumbuh menjadi seperti Mak. Sangat feminim dan senang bicara. Dia tidak terlalu pandai dalam pelajaran sekolah, tetapi semua ilmu Shafiyah tentang perempuan, turun kepadanya. Maisarah pandai memasak, menjahit, menyulam, atau merangkai bunga. Dia juga suka menari dan bersuara indah.

Dia adalah vokalis tamu dalam Grup Band milik Cakra. Band yang Cakra bentuk pada saat kelas dua SMP. Band itu yang mempertemukan Maisarah dengan Ibad.

Cakra memang dekat dengan keluarga Maisarah. Sejak masih sama-sama menumpang di 'rumah besar' milik Datuk, kakek mereka. Cakra sudah menganggap Mak atau Macik Fiya, adik bungsu ayahnya itu sebagai ibu. Karena dia tidak punya ibu.

Ibu kandung Cakra meninggal ketika Cakra berusia tiga tahun. Cakra tidak banyak mengingat tentangnya. Hanya mengenalnya dari foto-foto yang dipajang Akas di rumahnya di Baturaja atau melalui cerita kenangan ayahnya.

Sebenarnya, Cakra punya seorang ibu tiri, Ibu Tika, demikian Cakra memanggilnya. Namun, istri pertama ayahnya itu tidak mau merawat Cakra. Dia beralasan sudah tidak sanggup lagi merawat anak kecil. Anak bungsunya sudah berusia sembilan tahun kala itu.

Jadi, Admiral Sholahuddin, ayah Cakra, menyerahkan pengasuhan Cakra kepada Shafiyah. Meski Shafiyah hanyalah seorang adik tiri, dia adalah adik yang paling disayanginya.

Cakra punya tiga saudara tiri, Masagus Arkan Bentala, Masayu Airin Saujana, dan Masagus Andala Irham. Dengan Andala saja, jarak usia mereka berbeda enam tahun. Apalagi dengan Arkan, sampai 15 tahun. Sama seperti ibu Tika, ketiga kakak tirinya juga tidak menerima kehadirannya. Mereka kerap mengganggu ketenangan hidup Cakra.

Sedangkan Maisarah adalah pembelanya yang nomor satu.

*****

Cakra bangun kesiangan. Dia tertawa bahagia ketika melihat hidangan mewah tersaji di meja makannya. Mewah bagi Cakra. Selama dua minggu menempati rumah ini, makanan yang tersaji di atas meja makannya tidak pernah lebih dari dua jenis saja.

Maisarah menepati janjinya untuk menyiapkan pindang ikan patin yang sangat menggugah selera. Ditambah tempe dan tahu goreng, ikan asin peda, dan sambal terasi. Belum lagi lalap-lalapannya, yang tersaji rapi dan cantik. Menu rumahan khas Palembang, yang sudah lama tidak Cakra nikmati.

Dia tidak ingat jika di kulkasnya ada bahan-bahan untuk memasak segala macam itu.

"Aku pergi ke perkampungan dekat sini. Kebetulan ada penjual sayur keliling yang dikerumuni ibu-ibu. Jadi aku berbelanja di sana. Kakak pasti sudah lama tidak makan pindang ikan, kan?" katanya, sambil menyiapkan piring dan air minum untuk Cakra.

Cakra tersenyum lebar dan mengangguk. Dia hanya mencuci muka dan menggosok gigi di wastafel, segera duduk di kursi dan siap untuk menyantap semuanya. Maisarah mengambilkan nasi untuknya, tersenyum senang melihat semangat Cakra.

Semalam adalah malam yang berat untuk mereka.

Maisa kira, hanya dirinya yang tengah menderita. Namun, Cakra pun ternyata sedang berjuang untuk bertahan.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang