7. Di balik cadar

100 19 2
                                    

Mengejar Rumana tak ada dalam daftar niatnya. Namun, sekadar menggodanya, itu berbeda.

Lagi pula, setelah mengenalnya lebih jauh, Rumana ternyata tidak se-seram itu. Di balik usahanya untuk menampilkan ke-religiusannya, dia tetap saja seorang wanita pra-dewasa yang baru saja menyelesaikan masa-masa pubernya.

Perbedaan usia di antara mereka sangatlah jauh, hampir dua kali lipat. Dan Cakra sudah cukup matang untuk memahami gelagat seorang wanita yang memiliki ketertarikan pada seorang pria.

Dia bisa berlagak galak terhadap Ba'im atau pemuda-pemuda lain yang sering merayunya. Namun, akan langsung menjatuhkan berkasnya tanpa sengaja ketika Cakra menyapanya dengan manis.  Matanya memperhatikan Cakra dari jauh, lalu tersedak minumannya sendiri saat Cakra balas menatapnya dengan tiba-tiba atau iseng memberinya satu kedipan genit.

Aktifitas di kantor jadi terasa lebih menyenangkan. Cakra jadi lebih sering 'ngantor' sekarang.

"Saya nggak melihat kamu di pesantren belakangan ini," kata Cakra, setelah selesai menandatangani berkas yang diberikan Rumana.

"Bapak pergi ke pesantren?" sahut gadis itu terkejut.

Cakra berdecak, mengesankan bahwa Rumana seakan meremehkannya.

"Saya 'kan sering juga sholat di masjid pesantren, Rum. Kadang-kadang Zuhur, kadang Magrib, tapi tidak pernah melihat kamu," ucapnya, menyunggingkan senyum manis.

Mata itu melebar, terlihat takjub sesaat sebelum kembali menunduk.

"Wah, Bapak rajin ke masjid ternyata. Saya kira ... Emh, saya hanya ke masjid pesantren saat Subuh, Pak, sekeluarga, bersama Om Hardi. Kalau Zuhur dan Ashar, saya hanya sholat di kantor. Magrib dan Isya, saya sholat di rumah saja," jelasnya tanpa diminta.

"Ah, sayang sekali. Waktu sholat kita tidak sama. Kalau subuh, saya malah sering kesiangan, Rum. Maklum, nggak ada yang ngebangunin," selorohnya.

Rumana hanya mengangguk, dengan tangan yang terkepal gugup.

"Kamu bilang, kamu mengajar di pesantren?" lanjut Cakra.

"Iya, itu hanya di Sabtu-Minggu. Nah, kalau weekend, saya biasanya sholat Zuhur dan Ashar di pesantren, karena ada jadwal mengajar anak-anak di sana."

Cakra berdeham panjang, "Begitu ya. Kalau begitu, saya akan sholat Zuhur dan Ashar di pesantren weekend nanti. Mudah-mudahan kita bisa ketemu ya," jawab Cakra manis.

Semburat merah menyembul di sudut pipinya, terlihat senang.

"Kamu mengajar apa di sana?" tanya Cakra lagi.

"Hanya mengajar komputer sederhana, Pak. Seperti Ms Word atau menggambar dengan power point ..."

"Wah, hebat kamu," puji Cakra tiba-tiba.

Rumana mengelak cepat, melambaikan tangannya, "Ah, tidak hebat, Pak. Justru saya yang ikut belajar bersama mereka, tentang Al Qur'an, Hadits. Saya tidak lebih hebat dibandingkan anak-anak itu, apalagi soal menghafal Al Quran, saya kalah jauh, Pak," katanya, disusul tawanya.

Cakra ikut tertawa, tetapi tiba-tiba merasa miris. Hafalan Al Qurannya hanyalah sisa dari masa lalu yang dihafalkannya saat masih kecil. Itu juga sudah banyak yang terlupakan. Dia bahkan kalah dari Rara, saat terakhir kali membantunya menghafal untuk tugas sekolahnya.

Rumana melirik jam di atas Cakra, lalu memberanikan diri menatapnya. "Sudah jam dua belas. Pak Cakra tidak bersiap untuk ke masjid pesantren?" tanyanya hati-hati.

Cakra menatapnya cukup lama, lalu menggeleng. "Siang ini, sepertinya tidak."

Dia mengangguk, "Mau sholat di sini saja? Atau di rumah?" selidiknya.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang