4. Wasiat ayah

137 22 11
                                    

Baturaja, 2000

Dia merasakan pelukan hangat Admiral di pundaknya.  Ayahnya merasa senang ketika mendengar Cakra akan masuk ke Fakultas Pertanian saat kuliah nanti, demi mengembangkan perkebunan ini.

"Nanti aku akan banyak meneliti tentang kelapa sawit.  Bagaimana caranya agar bisa berbuah dengan cepat dan banyak, tidak mesti menunggu sampai lima tahun dulu untuk panen pertamanya," katanya, membuat tawa Admiral semakin lepas.

"Seribu hektar lahan di depanmu ini, ayah siapkan untukmu. Saat mereka berbuah. Kau akan untung besar. Tetapi ayah sarankan, jangan langsung kau nikmati. Jangan terburu-buru untuk menikmati hasilnya. Jadikan keuntungan itu sebagai tambahan modal untuk mengembangkannya."

Admiral mengusap-usap pundaknya. Dia masih kelas enam SD, tetapi tingginya sudah mencapai ketiak ayahnya, jadi Admiral tidak bisa lagi mengusap-usap kepalanya dengan leluasa seperti dulu.

"Sekarang Ayah tanya," katanya, seraya menghadapkan tubuhnya ke arah Cakra. "Apa rencanamu jika kau mendapatkan hasil panen pertamamu nanti. Akan kau belikan apa?"

Cakra diam berpikir. Dia tahu Admiral sedang mengetesnya. Dia mengarahkan pandangannya ke depan. Bibit-bibit sawit yang baru saja di tanam itu berjajar rapi, seperti tentara yang sedang berbaris. 

Keasyikan itu terjeda oleh kedatangan seseorang.  Admiral menoleh. "Ah, Hardi.  Kemarilah, naik ke atas sini," perintah Admiral kepada stafnya.

Hardi mulai memanjat ke atas bukit kecil tempat mereka berdiri sejak tadi, lalu menyerahkan sebuah gulungan kertas kepada Admiral.  Kertas itu lebar, mencapai satu meter.  Admiral membukanya, Cakra mengintip sedikit.  Di dalamnya terdapat gambar petak-petak lahan.

"Di bagian sini kita bisa menanam sekitar 70 ribu bibit lagi, Pak Mir.  Lebih banyak dibandingkan lahan di sebelahnya.  Di sini kontur tanahnya lebih rata, lebih enak untuk menata lubang tanamnya," jelas Hardi pada Admiral, sambil menunjuk ke kertas gambar.

Admiral sibuk dengan Hardi.  Cakra meninggalkan mereka.  Dia berjalan memutar, ke sisi bukit yang lain.  Matanya menyipit ketika melihat pepohonan sawit nun jauh di seberang.

"Apakah itu milik kita juga, Ayah?" tunjuknya.  Sawit-sawit itu tidak sama dengan yang ada di hadapannya, terlihat sudah tinggi, mungkin sudah pernah berbuah.

Kedua manusia dewasa di dekatnya serentak melihat ke arah itu.

"Oh itu milik Haji Azhari.  Kebun kita memang berbatasan dengannya," jawab Admiral.

Cakra tersenyum, lalu mendekati Admiral, "Aku sudah tahu apa yang akan kubeli kalau aku mendapatkan hasil panen pertama sawit-sawit ini, Ayah," katanya.

"Oh ya, apa itu?"

"Kebun itu!" tunjuk Cakra pada kebun milik Haji Azhari, "Dan kebun lain yang mungkin ada di sebelah sana, dan di sebelah sana," katanya lagi sambil memutar tubuh dan menunjuk ke arah yang berbeda-beda. 

Matanya kecilnya menatap ayahnya dengan berbinar.  "Jadi, sejauh mata memandang, hanya kebun milikku yang akan kulihat."

Admiral terperangah, lalu tertawa gembira seraya bertepuk tangan.  Dia menunjuk Cakra dan berbicara kepada Hardi, "Kau dengar itu, Hardi?  Anakku akan menjadi pengusaha besar.  Pengusaha sawit," katanya, dengan emosi yang larut oleh rasa bangga. 

Hardi ikut tersenyum dan menganggukkan kepala kepada Cakra.

"Perkebunan kelapa sawit ini adalah milikmu, Awal.  Memang mesti kaulah yang akan mengembangkannya."

*****

Jadi,   Cakra tidak ingat, jika ayahnya pernah mengatakan kalau perkebunan kelapa sawit ini adalah milik bersama.  Admiral hanya mengajaknya saja setiap kali mengunjungi perkebunan ini.  Hanya mereka berdua. Tidak pernah bersama Andala, Airin atau Arkan.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang