1. Mari kita move on!

215 22 9
                                    

Palembang, 2002

Shafiyah membangunkannya dengan gaduh. Jantungnya seketika berdetak kencang. Sempat mengira telah terjadi kebakaran.

Ternyata, dia menyuruh Cakra mencari Maisarah yang baru putus lagi dengan pacarnya, untuk yang ke sekian kali.  Shafiyah khawatir, dia akan celaka di jalan.

"Cuma kau yang ada di rumah." Suaminya sedang berada di luar kota, sedangkan Wildan, masih di pesantren. Dia adalah satu-satunya harapan Shafiyah.

Meski kekesalan Cakra berlipat-lipat, tetapi ada secercah harap agar Maisa kapok.

"Dia menelepon dari mana, Mak?" tanyanya, sambil bergegas memakai celana jins dan jaketnya.

"Dari telepon umum di dekat Masjid Agung," jawab Shafiyah. "Dia menangis terisak-isak, minta dijemput. Cepatlah, kau tahu bagaimana perangai adikmu kalau sedang putus cinta," desaknya, terburu-buru menyodorkan kunci Honda kepada Cakra.

Kepalanya masih berdenyut sejak dibangunkan paksa, lalu mesti terhantam teriknya Palembang di tengah hari. Melacak Maisarah bukan perkara yang mudah. Cakra harus memutari bundaran air mancur tiga kali, baru menemukannya sedang berjalan menuju ke atas jembatan Ampera.

Langkahnya gontai, wajahnya pucat, tatapannya kosong. Persis korban hipnotis.

Cakra sengaja mengikutinya hingga ke puncak jembatan, baru meng-klaksonnya. Maisa menoleh karena terkejut, tetapi tak menghampiri, malah menepi ke pagar jembatan.

Cakra menghela nafas, lalu turun menyusulnya, membiarkan sepeda motornya terparkir di tepi trotoar.

Dia melihat Maisa duduk berjongkok dengan gaya yang anggun. Sebelah kakinya berada di depan, satu tangan berpegang pada teralis jembatan, yang lain terpangku di paha. Gerakannya perlahan, seperti sedang ber-slow-motion.

Lalu raut wajahnya? Jangan ditanya. Cakra seperti tengah menonton drama 'Ratapan Anak Tiri Yang Tengah Patah Hati' dengan berlatarkan langit Sungai Musi.

"Rasonyo, pengin mati bae," ucapnya melankolis, seolah untuk diri sendiri, tetapi tidak sinkron dengan lirikan matanya.

Cakra menghisap udara banyak-banyak untuk meredakan emosi yang naik hingga ke ubun-ubun. Dia sudah bosan melihat drama Maisa ini.  Jadi, dia memutuskan untuk diam menunggu.

Tak kunjung mendapat perhatian, tangis Maisa kembali pecah. Bibirnya mencebik. Mata besarnya penuh dengan linangan air mata.

Cakra mengernyit.

"Ya, sudah. Lompat situ!" katanya ketus, mengedikkan kepala ke arah sungai Musi yang berada tepat di bawah mereka.

Sedu sedannya spontan berhenti. Maisarah membelalakkan mata, menatap Cakra tak percaya. Dia berharap Cakra menghibur - seperti biasanya, bukan malah menyuruhnya terjun ke sungai.

"Kak Caca tega! Aku benci Kak Caca!" teriaknya.  Emosi yang sedikit tertahan sejak tadi kini meluap naik. Maisa kembali menangis.  Kali ini tangisan yang lebih jujur.

"Malah aku yang kau benci, bukan pacarmu!" sungut Cakra bertambah kesal. "Siapa lagi sekarang?" tanyanya penasaran, "Irgi?"

Maisarah menggeleng.

"Ibad?" tanya Cakra, masih dengan emosi.

Dia mengangguk. Cakra mendengkus gusar.

"Putus sekali ini aku harap ini yang terakhir dengannya, Sa. Sudah kukatakan berkali-kali, jangan sama Ibad, tetapi kau memang bengak!" lanjutnya geram.

Maisarah terdiam. Cakra sudah mengeluarkan kata terakhir itu.  Artinya dia benar-benar marah.

Beberapa orang yang lalu lalang menoleh ke arah mereka. Cakra berjalan sedikit menjauh, bersikap seolah-olah tidak mengenalnya. Terbetik rasa malu. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang bertengkar. Dan melihat dari cara orang-orang itu memandangnya, pasti dia yang menjadi penjahatnya.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang