7. Loh, kok gitu?

1.2K 99 0
                                    

Entah sudah kali ke berapa di pagi buta ini, Freya menghela napas panjang.

Jam dinding baru saja menunjukkan pukul lima pagi. Dia masih lumayan mengantuk, tetapi tidak ingin tertidur di sofa yang berada di luar kamar, sebab seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Vandra, sedang menguasai tempat tidurnya sekarang. Ah, bukan 'menguasai' dalam artian yang sebenarnya, sih.

Lelaki itu hanya tertidur, menyelimuti tubuh hingga cuma menyisakan kepalanya yang menyembul keluar dari balutan selimut. Iya, sehabis muntah-muntah tadi, Vandra mengeluh jika kepalanya terasa pusing dan tubuhnya begitu lemas. Bahkan, untuk sampai ke kamar saja, Freya harus bersusah payah membopong tubuhnya yang lumayan berat.

Beruntung, Freya ini tidak pendek-pendek amat. Dia termasuk tinggi untuk ukuran perempuan, makanya dia bisa menyeimbangkan diri dengan baik saat membopong Vandra ke kamar.

Lagi-lagi, perempuan 27 tahun itu menghela napas panjang sambil memijat lembut pangkat hidungnya. Dia sekarang sedang duduk bersandar di meja riasnya, sambil sesekali melirik keresek putih berisi testpack yang Vandra beli di atas sana.

Freya kali ini dilanda kebingungan yang lumayan mengganggu. Antara harus mencobanya atau tidak. Kalau dia tidak mencobanya, pasti lelaki yang sekarang masih tertidur dengan wajah pucatnya itu pasti akan terus-menerus mengganggu dirinya dan memaksanya untuk melakukan tes. Akan tetapi, kalau misalnya dia mencobanya juga, bagaimana kalau hasilnya tidak seperti yang ia inginkan? Bagaimana kalau positif?

Sumpah. Sebenarnya, Freya tidak mempermasalkan apakah nanti hasilnya akan positif atau tidak. Kalaupun memang positif dalam artian sedang ada janin kecil yang tumbuh dan berkembang di dalam rahimnya, Freya berjanji akan menerima dan merawatnya dengan baik. Lalu, kalau memang hasilnya negatif, dia juga tidak akan kecewa.

Hanya saja, bagaimana kalau benar-benar hasilnya positif? Apakah Vandra akan melepaskannya begitu saja tanpa harus repot-repot bertanggungjawab seperti yang Freya inginkan? Duh, sejatinya hanya itu yang menjadi beban berat di pikiran Freya. Bagaimana kalau Vandra memaksa bertanggungjawab? Apa yang harus ia lakukan?

Perempuan itu memilih meneguk salivanya susah payah, lantas meraih keresek itu dan membawanya keluar menuju kamar mandi. Omong-omong, di apartemennya ini hanya memiliki satu kamar mandi yang letaknya dekat dengan dapur.

Lagi-lagi, saat berada di dalamnya, Freya merasa gamang. Dia menimbang-nimbang apakah harus mengetesnya atau tidak, sampai akhirnya, Freya memutuskan untuk segera keluar dari sana, mengambil sebuah wadah kecil yang sudah jarang digunakan untuk menampung urinnya nanti. Perempuan itu sudah yakin dengan pilihannya saat ini.

Maka, setelah urinnya tertampung di dalam wadah kecil itu, tanpa membuang waktu, Freya langsung mencelupkan lima testpack dengan merek dan jenis berbeda ke dalamnya sembari menunggu hasil dengan sejuta rasa gugup yang menyerang dadanya.

Oh Tuhan, gue sampe nggak tahu harus doa apaan, gumam perempuan itu dalam benak, seraya memejamkan mata kuat-kuat. Dia benar-benar takut dengan hasilnya nanti.

Lalu, setelah menunggu beberapa waktu---dalam posisi duduk di atas kloset yang tertutup---Freya menutuskan untuk melihat hasil dari testpack yang dicelupkannya tadi. Jantungnya berdebar tak menentu kala menanti hasilnya.

"Semoga nggak ...." Kata-katanya otomatis terhenti, lengkap dengan bola mata yang melebar sempurna setelah melihat hasil di tangannya. Suara perempuan itu otomatis mengecil, dengan jantung yang berdebar jauh lebih kencang daripada sebelumnya, terlebih saat kelima testpack yang ia gunakan, menunjukkan hasil sama. "P-positif ...!?"

+¿×?+

Jari telunjuknya hampir saja teriris saat Freya sedang memotong bakso ikan dan sosis yang akan ia jadikan sop untuk sarapan. Kalau saja dia tidak ingat jika jarinya itu berharga, mungkin potongan sosis dan bakso itu sudah bercampur dengan potongan jari karena kecerobohan perempuan itu.

Sebenarnya, dia malas memasak hari ini untuk sarapan. Mulanya dia hanya akan memasak mi instan atau memakan roti saja, tetapi kala mengingat seorang tamu tak diundang yang kini masih tertidur di kamarnya, membuat Freya mau tak mau harus memasak. Apalagi kala melihat wajah pucat si tamu---Vandra---karena muntah-muntah tadi, seketika membuatnya tidak tega.

Kasihan. Dia tidak tahu, sih, bagaimana rasanya muntah-muntah sampai sebegitunya. Terakhir kali dia muntah, seperti itu adalah saat lulus SMP karena mabuk perjalanan dan demam. Setelahnya dia tidak lagi pernah merasakan itu---dan berharap tidak akan pernah mengalaminya lagi.

Maka dari itu, Freya akhirnya memutuskan untuk memasak nasi dan membuat sop dengan bahan seadanya yang tersedia di lemari pendingin. Dia belum berbelanja selama dua hari, omong-omong.

Sambil mengaduk-aduk sopnya, lagi-lagi Freya melamun. Bagaimana nanti caranya memberitahukan tentang kehamilannya kepada Vandra? Atau nanti gue bilang kalo nggak hamil aja, ya? Freya bertanya dalam benak. Kayaknya iya, deh. Gue bohong aja deh.

"Pagi-pagi dah ngelamun. Kerasukan lo, entar!"

Kalau saja Freya tidak ingat jika di rumahnya ini ada seorang tamu tak tahu diri yang menginap, sudah dipastikan jika pisau yang berada tak jauh dari kompor akan melayang begitu saja karena dia pikir jika yang barusan mengejutkannya adalah sesosok hantu, setan, jin, iblis atau apa pun, lah.

Perempuan itu memilih menghela napas berat dan melayangkan tatapan tajam kepada Vandra yang kini sedang menuang air ke gelas. Namun, beruntungnya ia bisa menahan diri untuk tidak meledak di depan lelaki itu. Hitung-hitung jaga image, lah.

"Masak apa, lo?" tanya Vandra yang tiba-tiba saja sudah berada tepat di belakangnya. Dari jarak dekat, pula.

"Mata lo nggak buta, kan? Masih bisa dipake, kan?!" Freya menyahut kesal.

Namun, bukannya ikut merasa kesal atau tersinggung dengan yang Freya katakan, Vandra malah tertawa kecil. "Ah iya, gue lupa pake kacamata," ujarnya. "Semalem gue taruh di mana, ya?"

Entah lelaki itu bertanya kepadanya atau hanya sekadar bermonolog, intinya Freya tidak mau peduli. Setelah Vandra menghilang dari pandangan, ia segera menyajikan sop yang ia masak ke dalam mangkuk berukuran cukup besar dan membawanya ke meja makan. Setelah itu, Freya memilih membuat telur dadar karena jujur saja, dia tidak bisa hidup tanpa telur. Freya sangat menyukai makanan satu itu.

"Baunya enak. Lo pinter masak, deh."

Freya otomatis berdecak kala melihat si tamu tidak tahu dirinya sudah duduk di meja makan---yang sialnya harus Freya akui, jika set meja makan untuk empat orang itu ia beli dari Rads-fur. Uh! Ini agak memalukan, ya Tuhan. Beruntungnya, Freya memilih diam saja. Tidak mau menanggapi ocehan Vandra yang tidak ada habisnya itu.

Ia membawa telur dadar yang dibuat dan menawarkannya kepada si tamu. "Mau telur dadar juga, nggak?" Dan si tamu menjawab dengan anggukan kecil. "Gue belum belanja, jadi, sori kalo sarapannya cuma kayak gini."

Vandra pikir, Freya tidak mau mengajaknya bicara baik-baik, tetapi ternyata tidak. Perempuan itu masih mau menjelaskan hal yang terjadi di kediamannya saat ini. "Nggak masalah," jawabnya sambil membenarkan letak kacamatanya. "Gue malah biasanya skip sarapan."

Nggak peduli, sih, sumpah. Begitu kiranya gerutuan Freya dalam benak. Untung saja ia masih bisa menahan gerutuan itu hingga tak perlu sampai ke si pemilik nama Vandra itu.

Keduanya mulai sarapan. Walaupun hanya nasi, telur dadar dan sop dengan isian bakso ikan dan sosis serta beberapa sayuran, tetapi rupanya masakan yang Freya buat terasa enak. Pas di lidahnya. Hal itu membuat Vandra mengulum senyumnya. "Enak," ujar lelaki itu tiba-tiba. "Kayaknya kalo gue jadi suami lo, sejahtera banget nih, hidup gue."

Beberapa detik kemudian, sebuah sendok otomatis melayang---hampir saja mengenai dahi Vandra yang tertutup poni. Lelaki itu menatap Freya dengan tatapan syok. Bagaimana tidak? Perempuan itu baru saja hendak melakukan tindak kekerasan kepadanya bahkan sebelum mereka menikah!

"Kok gue dilempar, sih?!" Vandra bertanya sambil memegang dadanya---lebay.

Freya mendengkus. "Karena gue nggak akan pernah mau nikah sama lo!" putus perempuan itu dengan nada kesal. Apakah tidak ada cara dan jalan lain untuk permasalahannya ini, heh?

"Loh, kok gitu?" Vandra bertanya dengan dahi berkerut. "Oh iya. Lo udah pake testpack-nya, 'kan? Gimana hasilnya?"

Oh Tuhan. Freya ingin melenyapkan Vandra saat ini juga.

+¿×?+
120921
071121
020123

Terjebak Rayuan Cinta Ayahnya Anakku✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang