3. Perkara Muntah

1.4K 108 4
                                    

Mulanya, Vandra pikir jika setelah lebih dari empat puluh delapan hari waktu yang ia habiskan untuk 'sedikit' melupakan malam panas yang tanpa sengaja terjadi karena mabuk---bersama dengan teman kencan dadakan---sudah lebih dari cukup. Namun, rupanya tidak. Vandra masih bisa mengingat kejadian panas itu dengan jelas, meskipun tidak begitu detail.

Vandra hanya mengingat jika dirinya dan Freya---perempuan itu---dengan bodohnya menghabiskan waktu berkencan mereka dengan minum-minum. Entah berapa botol yang keduanya habiskan waktu itu sampai-sampai membuat Freya mabuk berat dan berakhir dengan Vandra yang mau tak mau harus mengantarkan perempuan itu kembali ke rumahnya.

Akan tetapi, rupanya kesialan tidak hanya berhenti sampai di situ. Ketika sampai di apartemen milik Freya---yang tentunya berhasil Vandra ketahui saat menjemput perempuan itu untuk acara kencan mereka---Vandra dengan bodohnya kembali menenggak dua botol minuman beralkohol yang entah bagaimana caranya bisa berada di atas meja ruang tengah di apartemen milik Freya.

Saat itu, Vandra pikir kemungkinan besar, Freya termasuk orang yang memang suka 'minum-minum', makanya dia dengan santai menghabiskan minuman beralkohol itu. Hanya saja, kesialan ternyata benar-benar tengah melingkupinya saat itu.

Bagaimana tidak? Dia yang biasanya tidak mudah mabuk dalam artian toleransi terhadap alkohol-nya lumayan bagus, tiba-tiba saja merasa mabuk. Entah apa yang dilakukannya setelah itu sampai-sampai ketika pagi datang, dia mendapati tubuhnya sudah berada di lantai dengan rasa sakit luar biasa seusai mendapat tendangan maut dari Freya si pemilik rumah.

Aih, sebenarnya, Vandra tidak mau mengingat hal bodoh itu, apalagi saat kembali menimbang-nimbang dan menyadari jika kejadian panas di malam itu, sedikit banyak adalah karena kesalahannya. Coba saja dia tidak menenggak habis dua botol minuman beralkohol di rumah Freya, kemungkinan besar malam itu tidak pernah terjadi.

Melupakan sejenak kebodohan yang terjadi hampir dua bulan lalu, maka di sinilah Vandra berada sekarang. Tepatnya tengah membungkukkan tubuhnya di atas wastafel yang berada di kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya begitu saja.

Lemas. Rasanya, Vandra sudah tak lagi memiliki tenaga untuk sekadar beranjak dari kamar mandi yang dingin. Sekali lagi, ia memuntahkan isi perutnya. Belum habis isinya, maka belum selesai juga acara muntah-muntah di pagi harinya itu.

Sumpah, ya. Sejatinya, Vandra tidak mengerti apa yang terjadi kepada dirinya sekarang. Terutama selama kurang lebih dua Minggu terakhir.

Setiap pagi, dia akan terbangun dan memuntahkan isi perutnya. Terkadang, dia benar-benar muntah dan kadang-kadang pula, hanya lendir bening yang dapat ia keluarkan dari mulutnya.

"Rasanya kayak mau mati, anjir," gerutunya dengan suara lemah dan serak. Vandra rasanya tidak lagi mampu untuk sekadar menopang tubuh hingga akhirnya, ia membiarkan tubuhnya meluruh ke lantai kamar mandi yang dingin. "Lemas banget, sial." Lelaki itu lagi-lagi menggerutu.

Vandra memejamkan matanya menahan sakit. Dia berharap, rasa sakit ini bisa segera menghilang. Jujur, Vandra merasa takut sekarang. Bagaimana kalau ternyata dia memiliki penyakit mematikan yang dapat mengancam nyawanya? Apalagi saat ia tiba-tiba saja jadi sering muntah seperti sekarang.

Apakah ia mengidap penyakit kanker lambung? Atau kanker usus, atau---argh! Vandra tak sanggup untuk membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi.

Maka, dengan sisa-sisa tenaganya, Vandra memutuskan untuk bangkit---memaksakan dirinya untuk kembali ke kamar---dan membulatkan tekad. "Gue harus ke rumah sakit sekarang."

+¿×?+

"J-jadi gimana, Dok? Saya sakit apa, Dok? Saya nggak punya sakit berbahaya, 'kan, Dok? Saya nggak akan mati muda, 'kan, Dok?"

Berlebihan. Satu kata yang dapat menggambarkan bagaimana sosok Vandra saat ini hanyalah 'berlebihan'. Bahkan Dokter yang baru saja selesai memeriksanya itu hanya mampu menyunggingkan senyum terpaksa. Mungkin, kalau saja dia tidak ingat jika dirinya adalah seorang Dokter, maka pasien di hadapanya ini akan segera ia berikan suntikan mati karena telah membuatnya kesal.

"Tenang ya, Pak," ujar Dokter itu seraya menyunggingkan senyum tak nyaman. "Setelah diperiksa, sebenarnya Bapak tidak memiliki penyakit apa pun. Hanya saja, kemungkinan besar jika mual-mual dan muntah yang Bapak alami dikarenakan---"

"Apa, Dok?" Vandra dengan seenak jidat memotong perkataan dari Dokter yang terlihat berusia di awal empat puluh tahunan itu.

Lagi-lagi, Dokter itu memaksakan senyumnya. "Apa Bapak sering menunda makan? Sering mengkonsumsi minuman yang mengandung kafein, makan makanan pedas, asam dan junk food?"

Vandra otomatis menggeleng, menjawab pertanyaan dari Dokter tersebut. "Saya hanya minum kopi," ujarnya. "Tapi tidak sering. Hanya ... um, setiap pagi dan satu cangkir lagi ketika bekerja. Jadi, total hanya dua sampai tiga cangkir sehari."

Tahan, sabar, jangan menghujat. Kira-kira, seperti itulah kata-kata penenang yang terlintas di kepala Dokter di hadapan Vandra tersebut. Mengabaikan jawaban Vandra tadi, kali ini Dokter itu kembali bertanya. "Apakah sebelumnya, Bapak punya riwayat sakit mag?"

Vandra menggeleng. "Tidak pernah, Dok."

Dokter tadi manggut-manggut. "Jujur, saya tidak bisa mengambil kesimpulan apa pun untuk keluhan yang Bapak miliki," ujar Dokter itu. Apa yang dikatakannya, membuat Vandra mengerutkan dahi tak mengerti.

Hell, sebenarnya Dokter ini sungguhan Dokter atau bukan, sih? Begitu kiranya pikir lelaki berkacamata bulat itu. Iya, Vandra itu minus. Makanya dia biasa menggunakan kacamata, kecuali dalam acara-acara tertentu. Ah, pokoknya, kacamata bagi Vandra itu sudah layaknya barang mode, deh. Kadang digunakan, kadang juga tidak. Memang suka aneh-aneh si Vandra ini.

"Tapi kalau misalnya saya nggak sakit apa-apa, terus kenapa setiap pagi saya mual-mual dan muntah terus ya, Dok? Nggak mungkin, 'kan, kalau saya ... um ... itu ...?"

Dokter tersebut kali ini menyunggingkan senyum yang jauh lebih tulus daripada yang tadi. Membuat Vandra seketika merasa bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Dokter ini? Pikir Vandra.

"Begini saja," ujar Dokter tersebut sambil melipat kedua tangan di atas meja. "Apakah Bapak sudah memiliki istri? Jika sudah, ada baiknya untuk memeriksakan istri Bapak ke dokter spesialis kandungan. Bisa jadi, istri Bapak tengah mengandung."

Vandra speechless.

I-istri?

"M-maksud Dokter apa, ya?"

Lagi-lagi, Dokter tersebut hanya menyunggingkan senyum hangat. "Sebenarnya, hal seperti ini sudah sering terjadi," ujarnya. "Di mana, calon ayah akan mengalami apa yang namanya morning sickness di saat istrinya sedang mengandung. Apalagi, saat Bapak berkata jika Bapak mengalami mual dan muntah hanya di saat pagi saja, bukan?"

Dengan polosnya, Vandra mengangguk.

"Nah, itu bisa jadi karena kehamilan istri Anda, Pak. Biasanya dalam istilah medis, ini disebut sebagai Couvade Syndrome atau sindrom kehamilan simpatik." Dokter tadi kembali menyunggingkan senyum hangat. Entahlah kenapa tiba-tiba dia jadi murah senyum seperti itu. "Saran saya, segera periksakan istri Anda ke Dokter ya, Pak. Untuk Bapak sendiri, akan saya resepkan obat untuk mengurangi rasa mual, ya?"

Ocehan dari Dokter di hadapannya tak lagi berarti. Sungguh. Vandra seolah-olah sudah tak lagi berada di sana---ah, lebih tepatnya, pikiran lelaki itu sudah melanglang-buana ke mana-mana.

Istri, mual, muntah, hamil.

Empat kata itu sekarang menguasai pikiran Vandra, bahkan saat ia mengendarai mobilnya menjauh dari area rumah sakit. Sial, kenapa dia jadi kepikiran seperti ini, sih?!

Lelaki 27 tahun itu otomatis meneguk salivanya saat sebuah ingatan tentang malam panasnya dengan Freya tiba-tiba saja datang.

Oh, ya Tuhan! Vandra memekik dalam benak. "A-apa jangan-jangan ... F-Freya hamil, ya?"

+¿×?+

Terjebak Rayuan Cinta Ayahnya Anakku✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang