13. Kenapa enggak boleh?

945 78 3
                                    

"Menurut lo, kenapa seorang ibu itu nggak boleh egois?"

Hana Feriska yang baru saja selesai memberi makan siang untuk putranya, dibuat mengernyit kala mendengar pertanyaan dari sang sahabat.

Iya, siang ini, Freya tiba-tiba saja datang ke rumahnya dan langsung memberikan pertanyaan setelah hanya diam selama Hana tengah menyuapkan makan siang untuk sang putra dan menidurkannya di kamar. Entah ada angin apa hingga membuat sahabatnya bertanya tentang 'mengapa seorang ibu tidak boleh egois' atau apalah itu.

"Kalo misalnya seorang ibu itu egois, terus siapa yang mau ngurus anaknya?" Bukannya menjawab, Hana malah balik melontarkan pertanyaan kepada Freya yang kini mengernyitkan dahi kebingungan.

"Maksudnya?"

Hana menghela napas panjang. "Gini, Frey. Kayak yang lo liat, deh. Selama gue hamil terus melahirkan Dezka. Memangnya siapa yang urus Dezka kalo bukan gue?"

Freya mengangkat bahunya, acuh. "Juna," jawabnya singkat. "Kan, lo juga pernah bilang, kalo Dezka nggak bisa jauh dari papanya."

Mendengar apa yang Freya katakan, membuat Hana berdecak sambil memutar bola matanya malas. "Sekarang gue tanya ke lo. Kenapa tiba-tiba, lo bisa nanya kayak gini?"

Dahi Freya berkerut samar. "Emangnya nggak boleh?" tanyanya.

Hana praktis mengembuskan napasnya, pasrah. Ia tidak tahu lagi, sebenarnya apa isi kepala sahabatnya itu sih? "Terlepas dari apa pun yang bikin lo tiba-tiba nanya begini, gue jawab pertanyaan lo tadi." Perempuan dengan rambut sebahu itu, menyilang kedua kakinya. Omong-omong, dua perempuan dengan jarak usia satu tahun itu duduk di karpet yang letaknya di ruang menonton. Supaya bisa mengobrol lebih asyik, kata Freya.

"Sebenarnya, egois itu kan sifat alamiah manusia. Iya nggak, sih? Nggak tahu juga gue." Ibu dengan satu anak itu menyandarkan punggungnya pada kaki sofa. "Tapi sejauh yang gue alami, kita tuh nggak bisa gitu lho, Frey, bertingkah semaunya, seenaknya kalau udah di depan anak."

Sebenarnya, Freya bingung. Kenapa orang-orang selalu memberikan penjelasan berbelit yang tidak mudah ia mengerti, sih? Entah ini karena dirinya yang lemot atau bagaimana, Freya juga tidak mengerti.

"Jadi intinya apa?" tanya Freya kemudian.

Hana mendengkus. "Ya ... gitu," balasnya cuek. "Gue ambil contoh ketika tengah malam, nih. Apalagi waktu masih baru banget punya bayi. Kadang tuh, gue ngerasa capek banget. Ngantuk banget rasanya. Perasaan, gue belum lama tidur, tapi tiba-tiba harus kebangun karena anak nangis."

Freya masih mendengarkan sejauh ini. Walaupun dia berusaha keras untuk mencerna cerita dari sang sahabat. Setidaknya, ia masih bisa dijadikan pendengar yang baik. Apalagi, ini pertama kalinya Freya mendengar cerita Hana tentang kehidupannya setelah menjadi seorang ibu.

"Kadang gue mikir, gimana kalo gue lanjut tidur aja terus? Pura-pura nggak denger kalo anak gue nangis? Tapi tiba-tiba, gue mikir lagi. Gue tiba-tiba takut, gimana kalo suami gue ngamuk karena ngerasa gue nggak becus jadi ibu?" Kaki panjangnya diluruskan, sementara kedua tangan terlipat di depan dada. Hana menyempatkan diri untuk melirik sahabatnya yang hanya diam saja sejak beberapa menit lalu, kemudian melanjutkan ceritanya.

"Parahnya lagi, gue kadang mikirin gimana pendapat mertua gue kalau tahu menantunya kayak gini? Gimana pendapat orang tua gue, kalau tahu gue nggak becus jadi orang tua?" Hana mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya. Ia membenarkan anak rambut yang menjuntai di wajahnya.

"Selain itu, kadang-kadang gue juga pengin egois, lho, Frey. Maksudnya, gue selalu mikir---emang kebanyakan mikir sih, anjir, gue tuh setelah jadi emak-emak, terutama sejak jadi istri."

Terjebak Rayuan Cinta Ayahnya Anakku✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang