12. Tentang Dia yang Telah Berpulang

24 8 10
                                    

Dia melangkahkan kakinya dengan santai, tempat yang akan dia tuju saat ini, ialah kamarnya. Dia tahu, ada seseorang yang sedang duduk menatap dirinya berjalan, tapi, dia tidak menghiraukannya. Hingga sebuah teguran tercipta dari mulut seseorang itu.

Teguran itu, membuat dia memberhentikan langkahnya. Dengan raut wajah yang datar, dia membalikkan tubuhnya, menghadap seseorang yang kini telah berganti posisi, menjadi di belakangnya.

Moodnya memang sudah memburuk, sejak sampai luar rumah, dan melihat mobil hitam terparkir di pelataran rumahnya. Dia tentu sudah hafal, siapa pemilik mobil yang bertamu ke rumahnya saat ini.

"Kamu tidak melihat, di sini ada Papamu? Di mana sopan santun kamu?"

Tidak menjawab pertanyaan itu, Aksa mengatakan kalimat lain. "Langsung saja, ada apa?"

"Kenapa kamu bolos terus? Papa malu selalu dipanggil ke sekolahmu!"

Aksa mengangkat kedua bahunya, pertanda dia tidak tahu jawabannya. Lalu, Aksa ingin beranjak pergi, namun, ditahan oleh Arka, papanya.

"Papa belum selesai bicara!"

"Bicara atau pukulan lagi? Asal anda tahu, saya membolos, setelah apa yang sudah anda lakukan kepada saya saat malam tiba. Anda sadar tidak?" Aksa benar-benar menahan emosinya, ucapannya begitu tenang, namun, meyakinkan. Dia sudah muak dengan Arka, hingga bicara pun tidak ada embel-embel "Papa".

"Bicara apa kamu, Aksa? Papa tidak mungkin pukul kamu, kalau kamu tidak melakukan kesalahan."

"Basi. Dari dulu, anda itu selalu salah paham sama saya, tidak mau menerima penjelasan dari saya. Selalu pukulan, emosi, pukulan dan emosi. Lo pikir, cuma badan gue yang luka?"

Arka memang orangnya keras kepala dan mudah marah kepada Aksa, putra satu-satunya yang ia punya. Tidak hanya Arka, istrinya pun sama, dia seperti tidak mengharapkan kehadiran Aksa ke dalam dunia ini.

"Aksa! Bicara yang sopan, yang ada di depan mu itu, Papa kamu bukan orang lain!"

"Sejak kapan lo mengakui gue anak lo?"

Satu tamparan keras dari Arka, langsung membuat pipi kanan Aksa yang semula putih, menjadi memerah. Aksa sudah tidak kaget lagi, hal semacam itu, sudah biasa ia alami.

"Jaga ucapan kamu, Aksa! Papa tanya sekarang, kenapa kamu bolos terus?!"

"KARENA PAPA SAMA MAMA YANG BUAT AKSA SEPERTI INI! Papa sadar nggak? Biar Aksa perjelas. Dua hari yang lalu, malam itu Papa gunain sabuk hitam itu, untuk melukai lengan Aksa, karena Aksa pergi jalan-jalan sama sahabat Aksa pada hari sebelumnya. Belum sembuh luka lengan Aksa Pa, malam ke dua, Papa pukul badan Aksa, dan sampai sekarang Aksa masih rasain nyeri. Hanya karena Aksa pergi menemui Om Arthur sama Tante Oliv. Apa itu kesalahan besar? Mental Aksa rusak karena Papa sama Mama, yang dari dulu seperti itu! Aksa merintih kesakitan sama kalian pun, tidak pernah didengar. Aksa juga pengen Pa, kayak orang lain, yang selalu disayang sama kedua orang tuanya."

Mendengar kalimat panjang dari Aksa, Arka terdiam seribu bahasa. Seperti ada yang menahan mulutnya, untuk tidak terbuka. Untuk yang pertama kalinya, melihat Aksa semarah itu. Dia kemudian ingat, yang dikatakan oleh putranya itu, memang benar. 'Dia membolos, setelah mendapat amukan dari Papa dan Mama, saat malam'.

Aksa menarik nafas terlebih dahulu, sebelum melanjutkan bicaranya. Anak itu benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, jika ingin, Aksa ingin sekali membalas pukulan-pukulan yang selalu diciptakan oleh papanya itu, dengan pukulannya juga.

Tentang KambojaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang