six

11K 827 10
                                    

Theresa Patricia

Selepas ovi keluar kamarku. Aku menyentuh dadaku yang berdegup kencang. Aku sampai harus menghitung nadiku. Aku khawatir jika ia berdetak lebih kencang, karena akan terasa sesak. Aku menggigit bibirku. Apa yang aku lakukan tadi, aku hampir menciumnya.

Aku menenggelamkan wajahku dibantal. Sudah hampir sebulan ovi disini bersamaku, bahagia tentu saja. Saat mami cerita akan anak sahabatnya yang cantik jelita, periang dan baik. Aku sudah tertarik padanya. Ketika melihat fotonya pertama kali di bandara membuatku semakin penasaran dengan sosok gadis ini.

Tentu dia adalah orang pertama yang hidup bersamaku selain keluarga. Dia lucu dan menggemaskan. Namun aku adalah aku, aku tidak bisa menunjukkan apa yg aku mau dan aku usahain. Aku hanya ingin menjadi diriku.

Hari ini aku sudah tidak tahan ingin menyentuh bibir mungilnya. Namun aku takut, takut ia tak terima, marah atau jijik padaku. Aku tak ingin memaksanya. Sejak awal bibir ovi sudah menarik perhatianku.

Makin kesini, aku makin berusaha agar ovi tak luput dari pandanganku. Seperi jadwal masuknya, aku memberi alasan yang masuk akal pada HRD ku bahwa ovi akan menjadi asisten pribadiku.

Seusai memegang 2 pasien vip. Aku duduk santai sejenak di ruanganku. Ovi tentu saja ada disini disampingku, menikmati teh yang sama denganku. Hanya ruanganku yang memiliki balkon khusus, aku selalu duduk disana untuk menghilangkan penat.

"Kak, kamu tiap hari begini gak bosen?" Tanya ovi. Aku menoleh sekilas pada gadis kecilku ini.

"Sometimes" jawabku singkat.

"1 minggu lagi aku gajian, jalan-jalan kemana ya enaknya" aku mengernyitkan dahiku mendengar celotehannya

"Baru juga gaji pertama, kasi ke orang tua kamu" tegurku.

"Kalau itu udah jelaslah kak. Tapi kan aku perlu memberi reward ke diri sendiri"

Ovi masih berpikir, aku pun ikut mikir. Apakah aku harus ambil libur. Sepertinya ide yang tidak buruk untuk sekedar menghirup udara selain rumah dan tempat kerja.

*****

Aku sedang bingung dengan kelakuan kakak kandungku. Orangtuaku sudah memberi kami masing-masing bisnis yang dikelola sesuai bidang masing-masing. Aku tidak habis pikir ketika kk hendak mengambil ranahku, setelah suskes dengan kuliner dan fashion, kini ia ingin merambah dunia kosmetik.

Aku yang sudah mempunyai produk ku sendiri pun merasa terganggu dengan rencananya. Aku bukan tidak percaya rezeki. Aku ingin kita fokus di jalan masing-masing tanpa mengusik. Aku yang sedari dulu tertarik dunia fashion pun tak terpikir untuk membuka brand sendiri.

Baru-baru ini kelakuannya mengusikku, aku harus tetap fokus dengan daya beli di lapangan terhadap produk kosmetik dan skincareku. Ipad ini pun selalu aku pegang dan bawa kemanapun, aku terus memantau grafik. Selain itu aku juga memantau pergerakan sahamku.

Aku adalah orang yang tidak mau kalah. Tentu aku akan berusaha keras menjaga semua yang aku miliki. Karena aku pun mendapatkannya tidak mudah.

"Ayolah dik, kk butuh kerja sama kamu" kak jo selalu memaksaku. Aku terusik dengan ucapan dia. Aku sudah menahan diri untuk tidak mengadukan hal ini ke orangtua kami. Aku tidak ingin mereka merasa kami tak becus dan mereka balik ke indo.

"Kasih alasan yang jelas dan masuk akal kenapa kamu gak mau bantu kk, kk gak akan lah saingin kesuksesan kamu" ucapnya dengan santai. Aku yang sudah emosi pun terpancing.

"Kalau kk bisnis yang sama denganku, aku juga akan bisnis yang sama dengan kk"

"Silahkan tesa... kk gak akan ngelarang kamu. Deal?" Kak jo mengulurkan tangannya. Aku berdecak kesal pergi dari hadapannya, tepatnya pergi dari kantorku. Aku berjalan menuruni tangga. Aku melihat ovi sedang di pantry, aku mendekatinya lalu menarik pergelangan tangannya.

"Kak, kenapa?" bisiknya. Aku tak menjawab. Ku bawa ia hingga ke parkiran dan masuk mobil. Ku pacu mobilku di jalanan. Tak ku hiraukan lagi ovi yang berkali-berkali teriak ketakutan.

"Gila kak???" Nada tinggi ovi menyadarkanku. Aku menepikan mobilku. Aku keluar dengan membanting pintu mobilku. Aku menhatur napas ku agar emosiku mereda. Aku benci kak jo. Bagaimana tidak.

Sedari kecil ia selalu menjadi orang playing victim. Dia adalah anak tertua, tapi kelakuannya lebih childish dariku. Melihat kelakuannya membuatku tumbuh jadi lebih dingin dan tidak pandai menyalurkan emosiku. Kak jo selalu merengek ketika ingin ini dan itu, orangtuaku selalu menuruti maunya. Kak jo bahkan tak segan memfitnahku menyakitinya, agar orangtuaku melimpahkan banyak oelukan dan ciuman untuknya.

Kelakuannya tentu tak berubah sampai detik ini. Lihatlah bagaimana dia mengusikku. Aku bisa saja menyetujui kesepakatan tadi, namun aku tau liciknya dia. Dia tidak akan menerima kekalahan nantinya, ujungnya aku yang harus mengalah.

"Are u ok?" Kurasakan tangan ovi di bahuku. Aku menoleh, ingin ku cerita padanya tapi ah untuk apa. Aku mengalihkan pandanganku ke sungai di depanku. Aku merasakan tangan ovi menyentuh pipiku. Ia menangkup kedua pipiku di telapak tangannya, mengarahkan wajahku kepadanya.

"Lets se... ohoooo ternyata kalau lagi cemberut cantiknya gak hilang" ovi mencubit kedua pipiku. Astaga, dia gemas padaku, aku lebih gemas padanya. Aku tersenyum mendengar ocehannya. Refleks aku membawa gadis ini ke pelukanku. Ku dekap erat ia, sangat erat. Sampai..

"Kak, aku gak bisa napas"

Ah... sorry. Aku melepas pelukanku. Aku merapikan baju dan rambutku. Aku tak berani menatap ovi. Aku segera berbalik dan masuk ke mobil.

*****

Tok..tok.. aku mengalihkan mataku dari layar laptop. Aku berjalan ke pintu. Aku terkejut ovi disana dengan senyum cerahnya.

"Makan malam dulu" ia langsung masuk membawa nampan berisi makanan. Diikuti buk asih dibelakang.

"Terima kasih buk, nanti ovi aja yang bawa piring kotornya ke bawah" ucap ovi. Ovi menutup pintu dan mendekatiku masih dengan senyum merekahnya.

"Makan yuk, aku laper" ucapnya menata makanan di meja dekat jendela kamar. Ia menyusun dua kursi disana.

"Silahkan tuan puteri" ucapnya merentangkan kedua tanganya. Aku menahan rasa geliku melihat kelakuan ovi. Aku nurut dan duduk disana.

"Aku gak biasa makan sendiri, walau makan berdua pun seperti makan sendiri. Gak masalah, yang penting masi ada orang disampingku, walau mulutnya bisu" ovi masih ngoceh mengunyah makanannya. Ia menyindir aku, tentu saja haha.

Aku memperhatikan ovi yang makan dengan lahap. Sepertinya ia pun melewatkan makan siang sepertiku. Ia menyelesaikan makannya dengan cepat. Namun ia masih duduk menungguku selesai.

"Disini aja dulu" ujarku menahan ovi yang akan beranjak merapikan meja dan kebawah. Ovi menurut, ia kembali duduk sambil menumpuk piring dan merapikan meja.

"Are u ok now?" Tanyanya

"Not really" jawabku. Ia tak berbicara. Namun tangannya bergerak menyentuh bibirku dengan tissue.

"Ah,. Ada bekas itu.." ovi tergagap ketika aku menatapnya lekat-lekat. Ia menarik tangannya dari bibirku. Namun aku menangkap cepat tangan itu. Ovi terkejut. Aku masih menatapnya. Ku tarik tangannya ke arahku hingga tubuh dan wajahnya hampir menubrukku.

"K..k..kak" bisiknya. Dari matanya, aku turun menatap bibirnya. Seperti magnet. Aku mendaratkan bibirku disana. Hanya menempel, tidak lebih. Deg... jantungku berdetak kencang dan cepat. Ah aku melepaskan bibirku. Mata kami bertemu sejenak. Suara hp ku memecah keterpakuan kami. Ovi beranjak dan membawa nampan ke bawah. Aku hendak mencegah, namun ku urungkan ketika melihat nama mami dilayar hp ku.

"Halo mi"
Seperti dugaanku. Belum aku mengambil langkah. Kak jo sudah 10 langkah di depan. Mami memintaku membantunya. Aku pun mendesah berat dan menutup telpon.

I Get Tachycardia When I'm With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang