The Fourteenth Chaos

21 4 8
                                    

"Don't Even Run From Problems But Face ThemTogether"

***

Aku melangkah turun dari bus dan berbelok ke trotoar yang ramai oleh pejalan kaki. Mataku mengamati keramaian kota. Di seberang persimpangan tiga jalan, berdiri kokoh gedung yang menjadi tujuanku.

Gedung itu berwarna abu-abu muda dengan taman yang cukup luas. Pintu kayu besar yang langsung mengarahkanku ke ruang utama di dalamnya.

Setelah mengisi daftar tamu dengan menempelkan kartu di alat scan, aku melangkah menuju ujung barat gedung. Puluhan rak kayu yang tinggi berjejer rapi di sekelilingku. Aroma kertas yang sangat kusukai terasa cukup tajam.

Aku menemukan sosok itu di salah satu meja dekat jendela. Dia duduk dengan sebuah buku bacaan di atas meja dan tas di kursi sebelahnya.

Saat mendekati pemuda itu, dia tiba-tiba saja mendongak. Seolah tahu jika langkah kaki yang baru saja mendekatinya itu adalah aku.

"Ehm, sudah lama menunggu, ya? Maaf," ucapku pelan. Meski tadi kulihat jam digital di atas pintu masuk menunjukkan pukul sembilan kurang, dia sudah ada di sini. Mungkin lain kali aku harus datang lebih awal.

"Tidak masalah," jawabnya singkat.

Tiga hari yang lalu, setelah menunggu kapan Nata akan mengajakku belajar bersama, pesan emailnya tiba di akunku. Isinya sedikit mengejutkan untuk ukuran seorang Nata.

From : atanvlasv

To : me

Aku akan menepati perkataanku. Hari Minggu di perpustakaan kota pukul sembilan pagi. Apa kau setuju?

Reply to atanvlasv

Minggu ini, kan. Aku setuju.

Dia bertanya tentang pendapatku sebelum menentukan hasil final. Bukannya aku bilang Nata tidak bisa melakukan itu. Hanya saja, aku belum pernah melihatnya. Lagi-lagi pemuda itu bertingkah berbeda dari biasanya.

Kukembalikan pikiranku dengan melangkah menuju samping pemuda itu. Awalnya, aku lebih memilih kursi di hadapannya, tapi jika dia hendak mengajariku tentu duduk bersebelahan jauh lebih baik.

Nata mulai mengeluarkan buku-bukunya, membuatku juga ikut mengeluarkan buku tulis dan peralatan tulisku.

Nata berdeham pelan, membuatku menoleh ke arahnya. Aku memperbaiki posisiku dan bersiap mendengar penjelasan pemuda itu.

"Kita ... maksudku aku akan menunjukkan huruf-huruf Rusia dulu padamu." Nata bergegas membuka salah satu bukunya, membuat fokusku menuju buku itu.

Tapi, apa barusan aku tidak salah dengar? Suara Nata terdengar sedikit canggung?

Di luar sifat arogan, cuek, dan superior-nya, Nata ternyata memiliki kemampuan menjelaskan yang hebat. Hanya perlu dua sampai tiga kali pengulangan dari pemuda itu, aku sudah paham.

Padahal saat pertama kali melihat isi buku itu membuatku ingin mengurungkan niat mempelajari tulisan ini. Apalagi saat ini, Nata sedang membacakan beberapa kalimat sapaan dalam bahasa Rusia.

... Dia bicara apa?!

Nata menurunkan bukunya dan menatapku, "Tidak perlu menatapku seperti itu."

Aku buru-buru mengalihkan wajahku yang kuyakini tadi tengah menatapnya seolah menatap manusia paling asing yang ada di dunia ini. Aku memperhatikan bukuku, menatap huruf-huruf itu putus asa.

Bahasa macam apa ini?! Kenapa aku bisa terjebak dalam bahasa dengan pelafalan yang sangat rumit ini?!

Aku menyesal memintanya mengajariku bahasa Rusia.

Chaos IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang