Chapter 13 ; Can I Love You?

150 21 9
                                    

3 hari kemudian, Juyeon membawa Yeosang kembali pulang pada Seonghwa. Sebenarnya, Seonghwa belum sepenuhnya sembuh, tapi rasa rindunya pada Yeosang sudah melebihi dari segalanya. Pun Ia khawatir tentang bagaimana cara Juyeon mengurus anaknya. Tentu saja, nalurinya sebagai ibu membuatnya selalu dikelilingi oleh rasa khawatir.

"Anakku," Seonghwa memeluk Yeosang dengan sangat erat. Ia terisak begitu si kecil di pelukannya memanggilnya 'mama'. Juyeon menarik Seonghwa dalam pelukannya dan mencium kening lelaki manis itu, "Aku terlalu bahagia hanya untuk mengekspresikan perasaan ini," ujar Seonghwa sambil terisak. 

Juyeon tersenyum, hatinya bergejolak bahagia ketika menyadari bahwa Seonghwa tidak lagi menolak afeksi yang Ia berikan untuknya, "Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk Yeosang, Juyeon-ah. Aku tidak menyangka ternyata kau bisa juga mengurus bayi," puji Seonghwa.

"Tolong bawa Yeosang ke kamar, ya. Tunggu aku disana dan jangan buru-buru pulang, Aku ingin berbicara sesuatu denganmu,"

~~~

"Yeosang sudah tidur, Hwa,"

Seonghwa yang baru masuk ke kamar segera meletakkan botol susu di pojok crib bayi -- Yeosang terlelap nyenyak. Setelah memastikan Yeosang nyaman dan aman, Seonghwa keluar menghampiri Juyeon di balkon kamar dan ikut duduk di sebelahnya -- lesehan di balkon kamar.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Seonghwa-ya?" Tanya Juyeon. Seonghwa mengigit bibir bawahnya gugup, "Hey jangan mengigit bibirmu seperti itu. Nanti berdar--"

"Bolehkah aku meminjam bahumu, Juy?" Juyeon mengangguk, membiarkan Seonghwa memeluknya dan menenggelamkan wajah di perpotongan leher dan bahunya.

"Juy. Kau bilang kau mencintaiku kan?--" Seonghwa menjeda ucapannya, membuat Juyeon menahan napasnya cemas, "Apakah kamu bisa memberiku kesempatan, bisakah aku mempercayaimu? Bisakah aku menjadikanmu, sandaranku? --

-- Can I love You?"

Mata Juyeon membulat sempurna ketika Seonghwa menarik tengkuknya dan menciumnya di bibir. Ia tak menolak, tapi tiba-tiba memaksa Seonghwa untuk berhenti. Seonghwa menatap Juyeon kebingungan, "Ada apa? Bukankah kau menikmatinya? Apa aku mengigitmu?"

Juyeon hanya menggeleng, Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Seonghwa dan berbisik,

"Tidakkah lebih baik kita lanjutkan di dalam? Aku takut orang lain akan melihat kita,"

~~~

"Demi tuhan, kau tahu aku tidak pernah berbohong, Joong. Ini serius, aku melihat mereka berciuman di balkon kamar. Apa? Kau bertanya apakah aku memotretnya? Tentu saja! Tapi aku tidak akan mengirimnya atau kau akan kena serangan jantung di Perancis,"

Minho baru menginjakkan kaki di Kos Harapan -- untuk menjenguk Seonghwa dan Yeosang, ketika ia melihat dua orang sedang berciuman dari parkiran. Dan awalnya ia menampik fakta kalau itu adalah Seonghwa dan Juyeon -- mungkin Ia salah lihat. Minho segera mengeluarkan ponsel dan memfoto mereka.

Benar saja, keduanya memanglah Seonghwa dan Juyeon.

Juyeon sempat melirik kearahnya dengan mata terbelalak dan segera menghentikan ciuman 'panas' mereka. Terlihat Juyeon membisiki Seonghwa lalu menggendongnya ke dalam kamar. Juyeon sempat menampakkan senyum liciknya tepat sebelum masuk ke kamar Seonghwa.

Minho menggeram, Ia memang tahu sejak awal sahabatnya itu menyukai Seonghwa -- lebih dulu daripada Hongjoong, namun semua ini adalah kesalahan. Juyeon pastilah tahu seberapa besar rasa kehilangan Hongjoong ketika harus terpisah dengan Seonghwa.

Mustahil kalau Juyeon tak tahu.

Segera tangannya mendial nomor Hongjoong dan menjelaskan perihal apa yang Ia lihat barusan. Ia bisa mendengar suara Hongjoong yang terdengar pasrah mengatakan 'Hari seperti ini sudah pasti datang, aku tidak bisa menyalahkannya,'. Suaranya terdengar amat pasrah, seperti sedang menyembunyikan perasaan kecewa pada dirinya.

"Mungkin Seonghwa hanya bimbang, atau ragu. Ia hanya kesepian. Seonghwa tidak mungkin mengingkari janjinya padaku, ia mengatakan kalau ia mau mengungguku-- bahkan jika itu membutuhkan waktu yang sangat lama," jawaban Hongjoong membuat Minho menepuk jidatnya. 

Ia tidak bisa membiarkannya, Ia harus berbicara pada Juyeon -- empat mata.

"Ah, Minho. Kau harusnya bilang kalau ingin berkunjung. Aku belum merapikan kamar, bahkan aku tidak punya apa-apa untuk di hidangkan selain teh," ujar Seonghwa sambil menghidangkan secangkir teh kepada Minho. Seonghwa memincingkan matanya melihat Minho yang tampak serius menamati gerak-geriknya -- dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kau ini kenapa?"

"Tidak. Tidak ada apa-apa. Ngomong-ngomong, dimana Juyeon?" mata Seonghwa membelalak lebar begitu mendengar pertanyaan Minho. Dari mana Ia tahu kalau ada Juyeon disini?

"Dia sudah melihat kita berdua yang sedang bercumbu, sayang. Tentu saja bukan keanehan kalau Ia bisa mengetahui aku ada disini," ujar Juyeon yang baru saja keluar dari kamar mandi. Seonghwa menutup mulutnya dan berbalik menghadap Minho, "K-kau tahu? Apa-- Apa kau mengatakannya pada Hongjoong?"

Minho dengan cepat mengangguk membuat Seonghwa mengusap wajahnya frustasi, "Itu gila, Seonghwa. Kau tahu sendiri seberapa hancurnya, seberapa sakitnya, atau seberapa berkorbannya Hongjoong demi kamu dan Yeosang. Dan ini yang kau lakukan? Serius, apa kamu hilang akal? Juyeon juga! Aku tahu kamu menyukai Seonghwa sejak awal, lebih awal daripada Hongjoong. Tapi apa yang kau lakukan itu--"

"Cukup, Ho! Cukup. Aku, akulah yang memulainya. Ini bukan salah Juyeon, ini salahku-- Aku kesepian, Ho. Aku rindu untuk seseorang yang jauh disana, yang melihat wajahnya saja tidak bisa apalagi memeluknya erat-erat. Aku butuh seseorang yang bisa menemaniku membesarkan Yeosang dan mencintaiku sepanjang waktu aku membutuhkannya, dan aku sadar kalau disaat ini, ialah Juyeon. Jika kau bertanya, apa aku menyesal? Apa aku merasa bersalah? Tentu aku merasa bersalah, tapi aku tidak menyesal. Toh, Hongjoong disana ada Mia--

-- jadi aku mohon hormati keputusanku dan Juyeon, Minho-ya. Sampaikan permintaan maafku pada Hongjoong, ya?"

~~~

"Jadi aku mohon hormati keputusanku dan Juyeon, Minho-ya. Sampaikan maafku pada Hongjoong, ya?"

Hongjoong meninju dinding di sebelah sofa yang ia duduki setelah mendengar jawaban Seonghwa dari sambungan teleponnya dengan Minho.

Semudah itukah Seonghwa melepaskan janji-janji mereka? Semudah itukah Seonghwa melupakan mimpi dan harapan mereka?

Lelaki itu meremat dada kirinya dengan kuat, ia merasa terkhianati namun ia juga merasa ini adalah kesalahannya. Hongjoong yang meninggalkan Seonghwa untuk menikah, padahal Hongjoong tahu dengan jelas bahwa semua harapan Seonghwa bersandar padanya.

Tapi Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka terpisah lebih dari 9.000 km, untuk menghubungi saja tidak bisa apalagi bertemu semudah itu. Keluarga Kim dan keluarga Yoo masih saja mengawasi keduanya hingga kini, sampai melacak di semua perangkat canggih milik Hongjoong. Ia tak dapat menghubungi Seonghwa, hanya Minho seorang-lah yang dapat diharapkan olehnya.

Hongjoong memijit pelipisnya. Perasaan menyesal ini, Ia bisa apa. Ia sudah memilih jalannya, begitupun Seonghwa -- memilih jalan baru dengan sang sahabat.

Secepat inikah, Ia harus merelakan cinta nya? Apakah Hongjoong memang ditakdirkan untuk tidak bersama Seonghwa?

Apakah Yeosang akan melupakannya?

Park Seonghwa, cinta pertamanya. Haruskah Hongjoong membiarkannya bahagia bersama Juyeon? Haruskah Ia melepaskan cinta pertamanya? 

Lalu bagaimana tentang pinky promise mereka?

-To Be Continued-

To You My Light {JoongHwa} -END-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang