Chapter 9 ; Yang Terakhir

136 20 2
                                    

-Sebulan kemudian-

"Aku tidak akan mengundangnya. Itu terlalu menyedihkan kalau membuatnya menyaksikanku diatas altar bersama orang lain," Hari ini, rencananya Hongjoong akan membagikan undangan pernikahannya bersama manajernya, Wonho. Calon istrinya pergi untuk fitting makeup sehingga tidak ikut bersamanya. 

Namun, baru beberapa langkah didepan rumah, Minho dan Juyeon datang menghadangnya, meminta satu hal yang enggan Hongjoong turuti. Mengundang Seonghwa ke pernikahannya tentu bukanlah ide yang bagus.

"Percayalah pada kami, Joong," Ujar Juyeon meyakinkan Hongjoong sambil menepuk bahunya. 

Hongjoong menepis tangan Juyeon dari bahunya, "Tidak, Juy. Jangan paksa Aku. Dia pergi menjauh saja sudah membuatku terpuruk, apalagi membuatnya datang ke pernikahanku esok," lelaki itu menyela kedua temannya dan berjalan menuju mobil. Ia mengabaikan teriakan kedua temannya, yang serius memanggilnya.

Hongjoong takkan peduli, entah apapun itu yang mereka teriakkan padanya.

~~~

"Kalau kau ingin menghubunginya, tidak apa, Joong. Tanyakan barang sekadar kabar, atau lebih baik kau mengundangnya ke acar—"

"Hyung, hentikan," potong Hongjoong. Ia menghela napas dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Kenapa semua orang menyuruhnya untuk mengundang Seonghwa di pesta pernikahannya?

Wonho tidak berani mengucapkan lanjutan kata-katanya. Ia tahu, Hongjoong melewati waktu-waktu yang sulit tanpa Seonghwa -– dan Yeosang, di sisinya. Tapi, bibirnya terasa amat gatal untuk mengungkapkan alasan mengapa Ia memaksa Hongjoong untuk mengundang 'mantan' kekasihnya itu.

Di satu sisi, Hongjoong juga penasaran. Terlebih melihat Wonho yang mulai gelisah, manajernya itu meremat setir mobil hingga nampak seluruh urat di tangannya.

"Hyung..."

"Dengarkan Aku, oke. Diam dulu dan jangan potong satupun kalimatku," Wonho menghela napasnya. Ia menginjak rem dan memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. Sengaja, agar lebih aman saat menceritakan semua kebenaran dan alasan kenapa orang-orang menyuruh Hongjoong untuk mengundang Seonghwa.

"Kau tahu kan, kalau seluruh hidupmu akan bergantung pada Eunji dan keluarganya setelah kau menikah nanti. Kau tidak akan tahu apa yang akan mereka lakukan padamu atau Seonghwa," Terang Wonho.

"Dan, Aku mendengar bahwa keluarga Han menemukan keluarga kandung Seonghwa di Indonesia... Kau, mengerti kan, apa maksudku?" lanjutnya.

"Mereka akan mengembalikan Seonghwa ke keluarganya? Apakah itu yang dimaksud oleh Eunji akan memisahkan kami?" Wonho mengangguk kecil dan segera menaruh telunjuknya di bibir Hongjoong yang hendak protes.

"Aku tidak tahu apakah Seonghwa akan dikembalikan ke keluarga aslinya, tapi yang jelas Aku tahu... Eunji akan memintamu ikut tinggal bersamanya di Perancis, berkarir dan melanjutkan kuliah disana. Semakin kecil kemungkinan kau akan bertemu Seonghwa setelah ini. Tidak pernahkah kau berpikir begitu?" imbuh Wonho. Hongjoong terdiam. Ia menyingkirkan telunjuk Wonho dari belah bibirnya.

Apa yang harus Ia lakukan, hatinya bertambah bimbang. Matanya tertuju pada sebuah undangan kosong di atas dashboard – yang memang sebenarnya ditujukan untuk Seonghwa.

Lelaki muda itu membulatkan tekad, mantap menyuruh Wonho putar balik menuju kos Jung Eommoni.

Entah kehadirannya akan diterima atau tidak.

~~~

"KAU MASIH PUNYA MUKA UNTUK PERGI KESINI SETELAH APA YANG KAU LAKUKAN PADA ANAK DAN CUCUKU? KIM, KAU BENAR-BENAR TIDAK PUNYA OTAK! PERGILAH, SEBELUM SEONGHWA SENDIRI YANG AKAN MENGUSIRMU!"

Hongjoong tertunduk dalam di hadapan Jung Eommonim. Ia bahkan baru keluar dari mobil ketika wanita paruh baya tersebut keluar membawa sebuah sapu lidi. Tergopoh-gopoh wanita itu mengayunkan sapu ke wajah Hongjoong –- hendak mengusirnya dari wilayah kos.

"Kalau kau ingin bertemu Seonghwa dan Yeosang, takkan sudi Aku mempertemukanmu dengan mereka barang sejengkal saja. Pulanglah, Kau tidak akan menemukan apa-apa disini!" usir Jung Eommonim. Ia berbalik menuju kos, meninggalkan Hongjoong yang masih berdiri tertunduk dengan Wonho yang sedari tadi diam seribu bahasa disampingnya.

Namun, baru beberapa langkah, Hongjoong melesat dan bersujud di kakinya, meminta untuk dipertemukan dengan Seonghwa -- sekarang juga kalau bisa. Hongjoong terbata-bata menjelaskan maksud kedatangannya pada Jung Eommonim. Ia hanya ingin memberikan undangannya pada Seonghwa, face to face. Melepas rindu, juga mengungkapkan hal-hal kecil yang tidak bisa Ia sampaikan di hari-hari kemarin, sebelum Ia menikah dan pindah ke Perancis.

Mendengar keributan, Seonghwa keluar dari persembunyiannya – dibalik pintu masuk kos, "Eommonim, sudahlah. Kalau Ia ingin bertemu denganku, panggil saja dari tadi," kata Seonghwa. Lelaki muda itu membantu Hongjoong berdiri dan membersihkan debu tanah yang menempel di celananya, "Kau juga. Kenapa tidak meneleponku saja? Aku tidak akan mengusirmu seperti yang Eommonim katakan,"

Jung eommonim hendak mengelak, namun pasangan yang sudah terpisah hampir 3 minggu tersebut sedang berpelukan erat – menyalurkan kerinduan satu sama lain. Bahkan Ia mendengar isakan kecil putra angkatnya. Menyayat hati. 

Awalnya Ia ingin melindungi putranya dengan menghalangi Hongjoong, agar lelaki tengil itu tidak bisa menemui Seonghwa. Namun, ikatan batin mereka sepertinya terlalu kuat.

Setelah melepas pelukannya, Hongjoong mengambil undangan di tas selempangnya dan sekuat tenaga menahan tangannya agar tidak goyah saat memberikan undangan pada Seonghwa, "Untukku?"

Hongjoong mengangguk lesu melihat senyum Seonghwa yang perlahan memudar – menyisakan senyum tipis di wajah yang memerah sembab, "Maaf Aku datang bukan membawa kabar gembira--,"

"Apa yang kau maksud?" tegur Seonghwa. "Ini kabar yang membahagiakan, Joong. Kabar pernikahan adalah suatu kabar yang menggembirakan," lanjutnya.

Jung eommonim memalingkan wajahnya, begitupun Wonho yang berbalik badan – mengusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipinya. Alibi Seonghwa terdengar biasa dan tegas, namun suara Seonghwa yang bergetar membuat hawa semakin terasa sedih. Hongjoong tak lagi kuat menatap Seonghwa di hadapannya.

"Maafkan Aku yang telah mengingkari janji, Hwa-ya. Kumohon dengan sangat, datanglah ke pernikahanku. Karena A-Aku..." Hongjoong mengepalkan tangannya erat, tidak dapat melanjutkan perkataannya. Segera Ia melepaskan pelukannya dan menggandeng Wonho, memutuskan berlari kembali ke mobil.

Seonghwa menatap nanar pada mobil SUV putih yang keluar dari pekarangan kos. Matanya buram, pipinya basah karena air mata. Jung Eommonim merangkul bahunya, memaksanya untuk masuk.

Genap sudah kesedihannya. Ia sendiri yang memutuskan menerima perjodohan itu untuk Hongjoong, dan Seonghwa merasa itulah ganjaran yang patut untuknya. 

Buntu.

Ia benar-benar menyesali keputusannya.

~~~

-Seminggu setelahnya-

Hari ini, pernikahan Hongjoong diselenggarakan dengan mewah di sebuah hotel bintang 5 di Seoul. Ratusan orang berjubelan memasuki ballroom tempat Hongjoong dan pasangannya – Han Eunji akan menikah. Hongjoong berdiri gagah dengan setelan jas hitam di atas altar, celingukan melihat tamu-tamu yang datang.

Tidak. Sejujurnya dia tidak melihat tamu-tamu itu – Ia pun sebenarnya tidak terlalu peduli.

Hongjoong mencari Seonghwa.

Jantungnya berdegup resah. Bukan khawatir akan salah mengucap janji suci, bukan juga khawatir mengenai puluhan wartawan yang sengaja di undang keluarganya, tetapi Ia khawatir kalau sang mantan kekasih akan benar-benar datang. 

Bagaimana kalau Seonghwa menangis? Ia paling tidak bisa melihat orang yang paling Ia sayangi itu menangis. Hongjoong bisa menyebutkannya sebagai kelemahan dari dirinya. 

"Hongjoong-nim, acara akan dimulai sebentar lagi," bisik seorang petugas wedding organizer. Hongjoong mengangguk lesu dan perlahan memejamkan matanya seiring dengan meredupnya lampu venue.

Tuhan, kuatkanlah diriku--

-- dan juga kekasih hatiku.

-To Be Continued-

To You My Light {JoongHwa} -END-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang