Aku melamun sebentar, memandangi layar sistem. Perasaanku menjadi tak karuan. Kemudian aku teringat sesuatu, dengan segera aku menutup layar sistem.
Aku berlari menuju George yang kini tubuhnya tinggal setengah. Aku memangku tubuhnya. "Oi George!" Teriakku.
Perlahan George membuka matanya, lemas. Tubuhnya bersimbah darah, begitu juga tubuhku. George berusaha tersenyum.
"A-ani...ki?" Tanya George, suaranya pelan hampir tak terdengar.
Aku tersentak, merasa senang. "George!" Aku memeluk erat tubuhnya yang tinggal setengah itu. "Kita akan baik-baik saja, aku yakin!" Ujarku.
George tertawa lemas, dia mengelus-elus rambutku. "Kau yang akan baik-baik saja, aniki. Aku sudah tak kuat lagi..." Lirih George yang masih bisa didengar olehku.
Mataku membulat sempurna, terkejut dengan apa yang dikatakan oleh George. Tidak-tidak, bukan ini yang harusnya terjadi. Pikirku.
Mataku mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu, George? Kau harus hidup!" Ucapku.
"Bukankah kau mempunyai keluarga?!" Tanyaku sembari berteriak, mencoba meyakinkan George.
"Kel- Uhuk!" George bicara, namun terpotong karena dia batuk darah. Lalu George tersenyum. "Keluarga, ya?" George melamun, sepertinya sedang memikirkan keluarganya.
"Aniki... Aku akan bahagia jika anakku mempunyai kakak seperti dirimu." Ujar George, melemah.
Mataku membulat kembali, lalu mendekatkan wajahku ke George. "Tentu saja, hal itu juga akan menjadi kebahagiaan bagiku." Aki bicara, sembari tersenyum merasa sedih.
George tertawa pelan. "Aniki... Jika kau berkenan, tolong sampaikan pesan terakhirku kepada keluargaku."
Aku mengangguk sembari mengedipkan mataku, air mata menetes dari sana. Aku setengah tersenyum. "Baiklah, George. Apapun itu akan aku lakukan."
George tersenyum kembali, kemudian tertawa. "Wajahmu jadi jelek tuh, aniki." Candanya. Lalu dia menatapku serius. "Katakan kepada istriku, maaf karena meninggal duluan." Pesan George.
Setelah itu George mengembuskan nafas terakhirnya. Dia mati. Aku mulai menangis sejadi-jadinya, berteriak sampai-sampai membuat seluruh dinding bergemuruh.
'Sudah hentikan, Rillo. Arrrgghh!'
Orion berbicara padaku, sepertinya dia kesakitan. Lalu aku berhenti berteriak. Aku mengusap air mataku, lalu berdiri.
Aku melepaskan tubuh George. Lalu mengumpulkan semua item yang dikumpulkan, memasukan semuanya kedalam tas. Aku melepas Double Gauntlet-ku, lalu membuatnya menghilang di udara kosong. Yap, aku memasukkannya ke dalam inventory.
Aku berjalan kembali ke arah tubuh George, lalu menggendongnya. Aku sangat kesal, sampai-sampai mataku berwarna merah. Aku sangatlah marah.
Tiba-tiba sebuah batu bergeser, menunjukkan sebuah jalan. Aku berjalan mengikutinya, kurasa ini adalah jalan keluar.
🔸🔸🔸🔸🔸🔸🔸🔸
Kini aku berada di gerbang masuk dungeon. Lalu aku berjalan mendekati gerbang itu, seketika gerbang itu terbuka dengan sendirinya.
Cahaya menyambut diriku yang penuh akan darah ini. Sembari menggendong George, aku berjalan keluar. Samar-samar aku melihat beberapa orang berkumpul dari kejauhan.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Lalu pandanganku menangkap party Claire sudah berada di luar dungeon. "Sudah berapa jam aku di dalam?" Batinku.
Harutora melirik ke arahku. Dia terkejut, lalu berlari padaku. Dia terlihat sangat khawatir.
Harutora tiba di depanku, dia langsung memegang pundak kananku. "Kau tidak apa-apa, Rillo-san?!" Tanyanya sedikit berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Giant Guardian of Another World
Fantasy"Hmm, bagaimana ya? Awalnya aku tak berpikir akan bereinkarnasi seperti ini." Namaku Rillo Bravsword, usiaku 21 tahun. Dunia tempat asal ku mulai tercemar akibat dungeon yang bermunculan entah dari mana. Aku mati saat mencoba menyelamatkan kota dari...