Tips Modusin Gebetan: 14. Rencana Akhir Sena

180 33 9
                                    

"Sebentar ya, Sena masih mandi. Dia baru pulang latihan, abis makan terus balik latihan lagi biasanya." Seorang wanita paruh baya memindahkan beberapa gelas jus dari nampan ke atas meja.



Yana tersenyum tipis sambil membantu Mama Sena memindahkan gelas. "Kalau masa persiapan gini, emang Sena latihannya seharian ya, Tante?"



Mama Sena terdiam sejenak sebelum menjawab, "enggak kok. Programnya kan udah diatur jauh-jauh hari jadi cuma pemantapan, tapi nggak tau kenapa kali ini Sena forsir latihannya gini." Raut wajahnya menampakkan kekhawatiran. "Di sekolah nggak ada masalah, kan?"




Jeya menatap lurus ke Yana yang terus tersenyum tipis.

"Tante tenang aja," jawabnya dengan nada menenangkan.





Mama Sena mengangguk dengan raut yang mulai membaik. "Ya udah, Tante tinggal masuk, ya," wajah cantiknya menampilkan senyum lantas berbisik dengan cara yang ramah. "Biasanya kan anak muda nggak nyaman kalo harus ngobrol lama-lama sama orang tua."



Mereka semua tertawa canggung sampai Mama Sena pergi.








"Sena beneran nggak masuk gara-gara kita?" Bisik Jeya pada Yana.

"Mungkin," jawab Yana dengan cepat. "Makanya kita dateng ke sini buat mastiin sekalian minta maaf."













"Woi," suara teriakan terdengar dari lantai dua. "Ke kamar gue aja."

Mereka langsung menemukan Sena dengan rambut basahnya begitu mendongak. Dia menggosok kasar rambutnya dengan handuk.

"Bawa minum lo pada," titahnya langsung dilakukan mereka yang ada di ruang tamu.





Setelah itu, dengan langkah cepat yang sedikit tergesa mereka naik menuju tempat Sena berada. Mereka berdiri canggung dengan senyum kaku menghadap Sena.



Sena sendiri tak ambil pusing, berjalan memasuki pintu kamar agar teman-temannya mengikuti. Sikapnya tidak terlihat canggung sama sekali, seakan kejadian di Rumah Giselle tidak pernah terjadi.





Begitu memasuki kamar, Sena menyibak gorden dan membuat kamarnya menjadi lebih terang.



Kemudian dia berbalik ke arah temannya sambil melempar handuknya ke keranjang cucian. Sena mengernyit sebab teman-temannya hanya berdiri di ambang pintu dengan posisi yang kaku dan ambigu.



"Ngapain? Masuk."

Mereka satu persatu masuk dengan baris berjajar.

"Kalian kenapa sih? Biasanya juga langsung rebahan."

Bima tertawa kaku, "haha, iya nih, Sen. Haha."





Tatapan menelisik Sena membuat Jeya merasa tidak nyaman. Jeya mendengus, "gue mau minta maaf soal kemarin."

"Gue juga," sahut Teri.

"Gue juga kelewatan waktu itu," lanjut Yana. "Tapi lo kan nggak perlu sampe ngehindar, bahkan nggak masuk sekolah, Sen."



"Siapa yang ngehindar?" Sena terkekeh kecil, kemudian melirik Bima. "Lo ke sini cuma ngikut, Bim? Lo kan nggak ikut-ikut kemarin."

Bima meringis dan terkekeh canggung. "Sebenernya Jeya bercanda sambil bawa-bawa Zeuna karena itu ide gue, hehe, buat manas-manasin elo. Hehehe, sorry, Sen. Jangan marah ke Jeya sama Teri, hehehe."



Sena menggaruk ujung hidungnya meski sedang tidak gatal. "Gue juga salah karena kelepasan nonjok, sorry. Kemarin kepala gue lagi kacau banget."


Ice Crush Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang