9. Yang Sia-sia Akan Jadi Makna

27 9 3
                                    

"Padahal gue udah pernah bilang, punya perasaan ke seseorang itu sama sekali nggak salah, yang salah cuma pikiran kita yang terlalu jauh tentang gimana tanggapan dia nanti. Harusnya lo nggak usah berpikir tentang itu."─Rafisqy

***

"Woy!"

Haziq berjengit sambil mengelus-elus dadanya diiringi helaan napas panjang. Cenna yang melepas tawanya dengan puas lantas membuatnya berdecak. "Nggak usah bikin kaget bisa nggak?!" seru Haziq dongkol, lalu kembali mengunyah makanan yang tanpa sadar telah didiamkan di mulutnya selama beberapa waktu belakangan lantaran melamun.

"Gue mau minta keripiknya." Cenna mengambil paksa stoples berisikan keripik singkong yang sejak tadi berada dalam dekapan Haziq. "Dari tadi lo berdua tuh melamun terus, sadar nggak, sih?" Celetukan Cenna kali ini berhasil membuat seluruh pasang mata beralih pada Haziq dan Jaiz yang sama-sama duduk di sofa─namun sama-sama tengah bergelut dengan isi kepalanya masing-masing, sementara posisi yang lain duduk lesehan sembari menonton televisi.

Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam ketika Cenna mengambil alih stoples sepenuhnya dari Haziq untuk dibawa duduk lesehan bersama yang lain. Haziq dan Jaiz yang baru terbangun dari lamunan masing-masing pun turut bergabung di bawah.

Malam ini, mereka memutuskan untuk menginap di rumah Cenna setelah melakukan rekaman Radio Berkisah.

"Lo berdua nggak lagi sakit, kan?"

"Enggak." Jaiz membalas pertanyaan Mannan dengan santai disusul anggukan setuju dari Haziq. "Kalau sakit, gue nggak bakalanlah ke sini."

"Kayaknya karena lo berdua kemarin ke Gramedia, deh. Nggak terbiasa dikelilingi sama buku, jadi sekalinya ke sana langsung vertigo."

"Mulut lo!" Haziq menabok bahu Rafisqy tanda tidak terima, sementara kawannya itu meringis tanpa dosa.

"Terus kenapa? Teori gue masuk akal soalnya."

"Gue cuma mau melamun aja." Giliran Haziq yang menjawab dan Jaiz yang menggangguk setuju. "Ngomong-ngomong, Jasmine ditinggal sendirian di rumah, Jis?"

Jisan sekonyong-konyong menjadi pusat perhatian teman-temannya. "Dia di rumah sama bunda."

"Bunda lo, Jis?!" Cenna menyahut tak percaya.

"Ya masa bunda Jaiz di rumah gue?" Jisan terkekeh sejenak. "Kemarin kayaknya bakal jadi keributan terakhir di rumah gue karena akhirnya bunda mau pisah sama ayah. Bunda juga nantinya bakal tinggal di rumah sama gue dan Jasmine," lanjutnya sementara ruang tengah tersebut lengang beberapa saat.

"Kalau gitu, lo harus paham dan harus bisa kasih paham ke Jasmine bahwa nggak semua perpisahan itu menyedihkan."

Jisan manggut-manggut, seketika teringat ucapannya pada bunda tentang itu kemarin. "Selama ini bunda nggak mau pisah sama ayah supaya gue dan Jasmine bahagia karena punya orang tua yang utuh. Padahal kenyataannya justru itu yang bikin gue nggak bahagia. Rumah kosong setiap hari, mereka berdua jarang pulang, sekalinya pulang pun ada aja yang jadi bahan debat. Gue nggak bahagia."

"Sekarang, lo bahagia nggak?" Mannan yang bertanya demikian membuat tak hanya Jisan, tetapi yang lainnya juga turut menoleh ke arah Mannan. "Kalau lo bahagia, glad to hear that. Pastinya kita juga turut bahagia. Jangan lupa pastikan Jasmine untuk selalu bahagia juga."

"Namanya hidup, memang nggak semua selalu berjalan sesuai dengan kemauan kita, ya." Rafisqy menimbrung sembari menyandarkan tubuhnya pada sofa, kemudian melayangkan pandang pada langit-langit ruangan diiringi senyum tipis. "Kalau bisa selalu sesuai, mungkin sekarang gue nggak lagi sama lo semua."

Radio BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang