2. Asmara dan Sang Empunya

78 13 5
                                    

"Setinggi apa pun jenjang sekolah, pasti ada aja ujiannya. Sama halnya dengan hidup. Setinggi apa pun derajat hidupnya, manusia nggak akan hidup berjauhan dari yang namanya ujianYang perlu diketahui, Jis, ujian itu pasti ada akhirnya. Hanya kita nggak tahu ujian itu akan selesai dengan akhir menyenangkan atau justru sebaliknya."
Cenna


***

Salah satu bangunan bertingkat dalam sebuah gang tersebut semakin terlihat seiring motor Jisan melaju mendekatinya. Ada sesak yang serta-merta menyelimuti lubuk hatinya saat itu, terlebih ketika sadar bahwa kedua mobil yang biasanya terparkir di teras rumah kali ini tidak ada, membuat Jisan yakin jika ayah dan bunda sedang tidak berada di rumah karena pagar dalam keadaan tergembok.

Jisan bergegas memarkirkan motor di teras sebelum akhirnya masuk ke dalam. Pukul setengah sepuluh malam. Kosong. Jasmine pasti belum pulang lagi. Napas beratnya lantas terembus, dan diulanginya lagi ketika mendapatkan banyak sekali barang yang porak-poranda hampir di seluruh sisi rumah.

Sewaktu kecil, Jisan pernah berpikir bahwa tinggal di dalam rumah berukuran besar nan mewah merupakan definisi dari kebahagiaan. Mungkin memang benar, hal-hal sejenis itu adalah definisi kebahagiaan bagi sebagian orang. Jisan juga merasakan definisi kebahagiaan menurut dirinya tadi; dia tinggal di dalam rumah besar nan mewah.

Seiring berjalannya waktu, Jisan baru sadar bahwa definisi kebahagiaan menurutnya kala itu salah besar. Sebab, bahagia yang sebenarnya adalah ketika kita dapat menghabiskan waktu bersama keluarga setiap hari, karena sejatinya rumah adalah tempat untuk pulang. Bukan hanya bangunannya, melainkan juga orang-orang yang tinggal di dalamnya. Siapa pun akan pulang ke rumah setelah sehari penuh berlelah-lelah dengan urusan pekerjaan, sekolah, atau apa pun itu. Jadi, bagi Jisan, tinggal di sebuah rumah besar nan mewah sangatlah percuma tanpa adanya anggota keluarga yang lengkap sebagaimana rumah-rumah seharusnya. Bagaimana bisa dia merasakan bahagia itu jika di dalam rumah mewahnya hanya ada dirinya dan Jasmine, saudari kembarnya tanpa anggota keluarga yang utuh?

Rumahnya benar-benar utuh hanya sampai ketika Jisan menjadi siswa berseragam putih biru. Di awal SMA, perlahan-lahan banyak hal yang berubah tanpa pernah Jisan duga. Tak ada lagi anggota yang utuh di dalam bangunan bertingkat tersebut. Tak ada lagi empat orang yang tidak pernah lupa saling memberi canda dan tawa di tiap-tiap kesempatan berkumpul. Sebab, saat itulah kerenggangan ayah dan bunda Jisan dimulai, membuat Jisan hampir lupa seperti apa kasih dan sayang yang dahulu dia dapat setiap hari. Jisan lupa jika pada masanya rumah besar ini pernah hangat seperti rumah kebanyakan. Dan menurut Jisan, rumah besar ini akan kalah jika disaingi dengan rumah sederhana yang selalu diisi suka duka sesama anggota keluarganya.

"Setinggi apa pun jenjang sekolah, pasti ada aja ujiannya. Sama halnya dengan hidup. Setinggi apa pun derajat hidupnya, manusia nggak akan hidup berjauhan dari yang namanya ujian," ujar Cenna padanya suatu hari, yang selalu tersimpan dengan baik di benak Jisan. "Yang perlu diketahui, Jis, ujian itu pasti ada akhirnya. Hanya kita nggak tahu ujian itu akan selesai dengan akhir menyenangkan atau justru sebaliknya," lanjut Cenna lagi.

Baik Cenna maupun Jaiz, tak peduli bagaimana sikap tengil mereka yang acapkali muncul, keduanya adalah orang-orang yang menjadi saksi setiap Jisan berada di titik rendah kehidupannya sejak dulu.

Jisan beringsut merebahkan tubuh di sofa depan televisi. Niat awal ingin langsung menuju kamar urung mengingat Jasmine belum datang. Dan selalu begitu, Jisan pantang masuk ke kamarnya sebelum Jasmine pulang.

Kerenggangan orang tuanya tidak hanya menjadi sebab rumah yang tak lagi hangat, tetapi juga perubahan sikap Jasmine yang hampir asing di mata Jisan. Jauh berbeda dengan sewaktu kecil hingga remaja akhir SMP, semenjak SMA perempuan itu berubah menjadi sosok yang murung. Tidak ada lagi keceriaan yang menjadi ciri khasnya, yang bahkan sangat familier bagi Cenna dan Jaiz yang juga sudah mengenalnya sejak kecil. Di sisi lain, Jisan merasa harus tetap bersama Jasmine tak peduli seberapa jauh perubahan sikap gadis itu.

Radio BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang