4. Pemuja Rahasia

39 12 6
                                    

"Cara untuk bahagia memang sebenarnya banyak, tinggal gimana kita merumuskannya di dalam kehidupan."
Jaiz

***

Mannan baru saja selesai melangsungkan satu mata kuliahnya pada pukul 2 siang lewat 40 menit. Berbagai tempat menongkrong sama sekali tak menarik baginya saat ini. Ia memilih segera meninggalkan area kampus, bersemayam di indekos untuk melanjutkan tugasnya yang belum selesai. Tenggat pengumpulan besok membuat jari jemarinya bergerak di atas keyboard dengan gerakan cepat, menciptakan suara "tik-tik" di tengah keheningan kamarnya.

Di sela kesusahpayahan Mannan untuk fokus, suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Tanpa berpikir panjang dia berujar, "Masuk." Sebab, dapat dipastikan seseorang di luar sana adalah Jofi yang notabene sebagai tetangga kosnya. Bukan hanya Rafisqy dan Haziq, Mannan dan Jofi juga saling mengenal untuk pertama kalinya di indekos.

"Sibuk, ya, Nan?"

"Sibuk, kalau lo mau ngajak gue keluar. Kalau cuma mau numpang nyantai di sini sambil cerita seperti biasanya, no problem." Kalimatnya membuat Jofi yang semula hanya menyembulkan kepala di pintu jadi bergegas masuk. Mannan langsung mendapatkan sebuah plastik berisi kotak makanan yang khas tersangkut di jari telunjuk Jofi.

"Martabak, nih. Gue beli buat dimakan bareng lo," ujar Jofi seraya beringsut membuka plastik tersebut, menampilkan martabak manis yang aromanya sekonyong-konyong menyeruak ke seluruh sisi kamar. Mannan pun refleks menggeser meja kecil untuk mengesampingkan tugasnya sejenak.

"Lo lagi ada tugas nggak? Kalau ada, bawa sini, biar sekalian kerjain bareng gue."

"Nggak ada. Beres semua." Jofi lantas memperhatikan Mannan yang sudah terlampau asyik memakan martabaknya, sampai-sampai Jofi merasa kehadirannya tak diacuhkan. "Pasti lo belum makan siang?"

Mannan meringis seraya mengangguk.

"Jangan gitulah, Nan. Sekarang mungkin ada gue yang mengingatkan, tapi gimana kalau gue lupa? Soalnya lo nggak punya cewek yang bakal mengingatkan hal-hal kayak gitu selama dua puluh empat jam." Jofi tersenyum meledek disusul bola mata Mannan yang berotasi.

"Nggak usah menyinggung kejombloan gue. Toh gue bisa sendiri melakukan hal-hal kayak gitu tanpa pengingat."

Jofi baru saja membuka mulut ingin membalas ketika ponsel Mannan yang tergeletak tahu-tahu menyala, dan menampilkan sebuah panggilan masuk. Jofi segera meraihnya ketika Mannan mengedikkan dagu, mengisyaratkannya utuk mengangkat telepon masuk tersebut. "Tapi nomor doang, Nan."

"Nggak apa-apa. Coba loudspeaker."

Jofi menurut dan segera menyambungkan telepon. "Halo?"

"Assalamu'alaikum."

Mendengar suara perempuan di seberang telepon sana kontan membuat Jofi menganga tak percaya. "Cewek, Nan!" serunya tanpa suara dan hanya gerakan mulut saja, membuat Mannan berdecak.

"Jawab dulu itu!"

"Iya, wa'alaikumussalam," jawab Jofi sambil terkekeh melihat Mannan kini memelankan aktivitas mengunyah martabaknya, tampak ikut penasaran dengan sosok penelepon. "Maaf, ini dengan siapa?"

"Oh─iya, maaf karena saya tiba-tiba menelepon begini. Saya Damita. Saya telepon dengan maksud─sebelumnya, saya mau memastikan dulu apa betul ini dengan Mas... Mannan Ali... Augusta?"

Dua laki-laki yang duduk mengepung sekotak martabak itu serentak membulatkan matanya. Terlalu penasaran akan siapa perempuan di seberang sana dan bagaimana bisa mengetahui nama Mannan bahkan sampai nama lengkap, akhirnya Mannan meletakkan sepotong martabak yang baru saja dia ambil sebelum mengambil-alih ponselnya dari Jofi. Dia yang selanjutnya membalas, "Betul, dengan saya sendiri."

Radio BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang