"Nanti, meluluhkan hatinya lewat jalur langit. Kalau memang jodohnya, kalian bakal dipertemukan setelah sama-sama siap dan pantas. Jalur langit itu betulan ada, nggak main-main."─Azalea
***
"Jofi?"
Sang empunya nama, yang sedang berkutat dengan seporsi sarapan di salah satu warteg dekat kosannya, langsung menoleh ketika dipanggil. Dia lantas melempar senyum menyadari kehadiran Azalea di sana.
"Sendirian aja? Mannan ke mana?"
"Ada kelas pagi dia." Jofi lalu melirik bangku kosong di sebelahnya, mengisyaratkan Azalea untuk bergabung. "Duduk aja sini. Lo mau sarapan juga, kan?"
"Iya─tapi gue nggak makan di sini. Cuma beli lauknya aja, nih," jawab gadis itu seraya mengangkat plastik kecil berisi beberapa macam lauk. "Ya udah, gue duluan, Jof."
"Kalau gue minta lo buat di sini sebentar keberatan nggak, Le? Gue─cuma mau tanya sesuatu, sih, dan itu pun kalau lo nggak lagi buru-buru."
Tanpa Jofi sadari, Azalea langsung sedikit ketar-ketir mendengar 'mau tanya sesuatu' yang terlontar dari mulut Jofi. Pertanyaan seperti apa yang akan Jofi berikan? Dan seperti tidak mungkin Jofi menanyakan sesuatu pada Azalea, secara Azalea sendiri merasa tidak begitu dekat dengan laki-laki itu.
Pada akhirnya Azalea membalas, "Boleh. Gue nggak buru-buru, kok." Seraya beringsut menarik kursi di sebelah Jofi untuk duduk di sana. Barangkali lelaki itu memang akan memberikan pertanyaan penting.
Jofi menyuapkan sesendok terakhir sarapannya sebelum meneguk teh hangat yang tersisa seperempat gelas lagi. "Pertanyaannya nggak banyak-banyak. Pertama, lo pernah nggak, memandang Haziq dengan kacamata berbeda? Bukan sebagai teman lo?"
Azalea mengernyit sembari memandangi Jofi selama beberapa saat. Lalu pada satu waktu, mereka sama-sama melepas seringainya tanpa alasan. "Seriusan itu yang mau lo tanyakan, Jof?" Azalea mengalihkan pandangan sejenak sambil geleng-geleng kepala. "Gue kira suatu pertanyaan yang serius."
"Itu juga pertanyaan serius, kali. Tentang perasaan, bukannya serius dan nggak boleh main-main?" balas Jofi, tampak berusaha keras menahan seringainya yang lebih lebar. Entah mengapa, detik ini Jofi seperti mendapatkan sedikit kesalahtingkahan yang tersirat di wajah Azalea, sebab kedua sudut bibir perempuan itu pun tampak terus ingin tertarik untuk mencipta senyum.
"Enggak kok, Jof. Nggak pernah."
"Nggak pernah, atau pernah tapi lo nggak mau mengakui?"
Azalea menyeringai lagi. "Sebenarnya kenapa lo tanya tentang ini, sih? Ada seseorang yang meminta tolong ke lo untuk tanya ini ke gue?"
"No, no. Jangan sedikit pun berpikir ini titipan pertanyaan dari orang lain. Ini pertanyaan murni dari gue, mumpung ketemu lo secara langsung."
"Oke, kalau gitu gue mau tanya. Kalau gue jawab pernah kenapa? Dan kalau enggak kenapa?"
"Ya, it's okay. Gue cuma mau tanya aja. Apa pun jawaban lo, gue bakal keep buat sendiri." Jofi berucap meyakinkan, "Bisa jadi jawaban lo pernah, tapi lo menolak mengakui karena... lo nggak mau akhirnya jadi berharap lebih. Lo memilih untuk melepas dan mengandalkan jalur langit. Mungkin nggak?"
"Ternyata kalau udah ngobrol sama lo menyeramkan, ya," kata Azalea setelah beberapa saat terperangah. "Lo bisa menyimpulkan kalau gue begitu dari mana memangnya?"
"Cuma mengulang prinsip Mannan tentang perasaannya yang pernah dia kasih tahu ke gue. Jadi, gue tebak aja, siapa tahu prinsip lo dan dia sama. Dan ternyata, memang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Radio Berkisah
Fiksi Remaja[Sedang Direvisi] Siniar yang selalu melahirkan episode baru setiap satu kali dalam sepekan itu sedang populer di kalangan para remaja. Selain karena para empunya suara di balik siniar baru saja berubah status menjadi mahasiswa baru nan memiliki waj...