Apa yang paling menyenangkan untuk dilihat? Rumah mewah? Taman penuh bunga? Perhiasan? Lautan? Atau Tawa dari orang yang dicintai?
Ah! Niko sudah menantikan hari ini.
Masih diposisi yang sama, Niko tetap berdiri di ambang pintu kamar Jian. Memandang penuh binar ke dalam kamar tersebut. Lebih tepatnya kegiatan yang sedang berlangsung.
Sudut bibirnya naik saat lagi dan lagi tawa kepuasaan terdengar. Tawa dari orang yang dia cintai. Sangat cintai.
Nola.
Lihatlah kekasih hatinya itu. Indah sekali.
Nola tengah tertawa sembari membenturkan kepala Jian ke dinding. Lagi tawanya mengudara ketika Jian memohon ampun.
"Am-pun. Nola hiks sakit ...."
"Ha?" Nola mendekatkan telinganya ke bibir Jian, "kamu mengatakan sesuatu, Sayang?"
"Nola sakit, ampun ... sakit!"
Nola berdecih, kemudian ditariknya dengan kuat rambut Jian sampai Jian menatap langit-langit kamar. Wajahnya sudah berantakan. Air mata yang terus mengalir, wajah yang penuh lebam bahkan darah, dan hidung yang mungkin sudah patah tulangnya.
"Kenapa baru sekarang minta ampunnya? Ha? Kenapa kamu enggak berpikir sebelum mengirimkan video sexmu dengan Niko kepadaku? Apa tujuanmu?"
Jian menggeleng, "enggak, Nola hiks. Enggak. Bukan it—"
Nola kembali membenturkan wajah Jian ke dinding yang tadinya berwarna putih kini berubah menjadi merah karena darah. Suara isak kesakitan menggema.
"Berisik!"
Satu tusukan dari pisau lipat menancap di dada kiri Jian. Tubuh Jian menegang. Mulutnya menganga karena terlalu terkejut dengan serangan sakit yang luar biasa.
"Berisik!"
Lagi, satu tusukan.
"Berisik!"
Tusukan ...
"Berisik!"
Tusukan beruntun diterima oleh dada kiri Jian. Jian sudah tidak bersuara lagi. Mungkin atau benar nyawanya sudah melayang. Pergi untuk selamanya.
Ketika menyadari Jian tidak bersuara lagi barulah Nola berhenti. Dadanya naik turun dengan cepat. Jantungnya berdebar. Dilepaskannya pisau yang sudah merenggut nyawa Jian tersebut.
Saking sunyinya, bunyi antara pisau dengan lantai terdengar nyaring. Kemudian kembali sunyi.
Nola mengalihkan tatapannya kepada Niko yang masih tetap bersandar di tepi pintu. Senyum manisnya terbit. Lalu dengan penuh gembira Nola berlari kecil dan melompat ke pelukan Niko. Niko dengan erat memeluk tubuh Nola agar tidak jatuh.
"Kamu senang?" tanya Niko.
Nola tidak menjawab pertanyaan Niko melainkan langsung melumat bibir Niko dengan tidak sabaran. Ciumannya tidak beraturan, hanya melumat terus melumat.
"Udah."
Ciuman sepihak itu dihentikan, Nola menatap wajah Niko. "Belum." Kembali dirinya mencium Niko dengan brutal.
Niko tidak keberatan, dadanya berdebar merasakan kegembiraan. Sedetik kemudian dia mengambil alih ciuman sepihak Nola. Dihisapnya kuat-kuat bibir Nola atas dan bawah bergantian.
Tidak lupa juga mengajak lidah Nola untuk saling beradu dan saling menjilat. Berbagi saliva dengan puas sampai saliva tersebut tumpah-tumpah.
Beberapa saat kemudian penyatuan bibir keduanya terlepas. Satu yang tersenyum dan satunya yang cemberut. Tentunya Nolalah yang cemberut.
"Kenapa dilepas?!"
"Kita harus membereskan kekacauan yang kamu buat dulu."
Wajah Nola mengernyit tidak suka. "Semua ini karena kamu! Kenapa kamu harus ngesex sama dia?! Kamu enggak puas sama lubang aku? Lubang aku udah enggak menjepit lagi?!"
Ocehan demi ocehan Nola didengar Niko dengan bahagia. Senyum di bibirnya tidak pudar sedetikpun, bahkan ketika Nola dengan sadisnya menarik-narik alisnya atau bulu matanya. Dia tetap tersenyum.
Rindunya sudah terbalas. Sudah berapa lama dia memendam rindu? Hah!
Nola mengerucutkan bibirnya menahan kesal. Dia tetap masih tidak terima cara Niko memunculkan dirinya. Kenapa harus sex?
"Aku masih marah ya! Aku enggak suka! Enggak suka! Enggak suka! Pokoknya aku enggak suka!"
Dibawa Niko tubuh Nola yang masih digendongnya ke dalam pelukannya. Nola tidak menolak, ia justru malah semakin merapatkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di leher laki-laki yang dicintainya ini.
"Maaf'kan aku. Kamu tahu, aku udah kehabisan ide. Aku terlalu merindukanmu sampai aku menjadi gila. Aku benar-benar merindukanmu, Baby."
Nola mengusak-usak wajahnya di leher Niko. Terlalu terharu mendengar pengakuan tersebut. Dia juga merindukan Niko. Sangat merindukan Niko. Tapi dia hanya kepribadian lain dari tubuh yang ditempatinya sekarang.
Dia tidak bisa keluar dengan bebas. Dia hanya bisa keluar ketika pemilik tubuhnya merasa sangat sakit.
"Kamu anjing," katanya pelan.
Niko bukannya tersinggung justru mengangguk-angguk. Tidak keberatan sama sekali dikatai anjing oleh Nola.
"Kamu turun dulu, biar aku bereskan semuanya."
Nola menggeleng. Dia masih sangat merindukan Niko. Senyum Niko terbit lagit. Sejatuh cinta itu dia kepada Nola sampai semua ucapan Nola menjadi sumber bahagianya.
"Oke. Kamu enggak perlu turun. Aku hubungi Mira aja," ucapnya sembari mengelus punggung Nola.
Tangannya yang lain, meraih ponsel yang berada di saku celananya. Mencari nomor Mira dan segera menekan ikon telepon. Tidak sampai dua detik, sambungan terhubung.
"Ada apa?"
Mau saja Niko menjawab, ponselnya sudah lebih dulu beralih tangan ke tangan Nola. Senyum Niko kembali terbit. Nolanya lucu sekali.
"Aku aja yang jawab!"
Niko mengangguk. Membiarkan Nola berbuat sesuka hatinya. Dia mengabaikan pembahasan kedua manusia tersebut dan memilih keluar dari rumah mayat Jian. Memasuki mobilnya dengan masih Nola di gendongannya.
Pintu ditutup. Sirine polisi terdengar.
"Tuh! Udah datang polisinya! Lama sih kamu, Mira!"
"Bacot Anjing! Sabar! Aku beresin yang di kantor polisi dulu, kalian pergi aja."
"Dijamin beres enggak nih?"
"Fuck!"
Sambungan terputus. Nola tertawa. Senang karena bisa mengisengi Mira.
"Senang banget kelihatanya."
Nola menatap Niko. Cup! Satu kecupan mendarat di bibir Niko. "Udah lama enggak isengin Mira."
Niko terkekeh.
"Em, Sayang?"
"Hm?"
"Kita enggak lari nih?" kepala Nola menjenjang melihat ke belakang mobil mereka. Beberapa polisi akan mendatangi mobil mereka. "Ada polisi."
Seketika Niko tersadar. Benar juga. Mereka harus kabur. Dia tertawa pelan. "Aku lupa."
Nola tertawa kencang sembari menguyel-uyel pipi tirus Niko.
"Sayang ... goo!" teriaknya.
Sedetik kemudian mobil mereka melaju dengan kecepatan penuh. Diiringi dengan tawa bahagia dari keduanya. Tawa yang sudah lama tidak terdengar.
•••••
TBCNote : Kenapa pov hanya untuk Nola? Sebenarnya saya mau bikin untuk Niko juga. Tapi karena Niko itu jarang bicara kalau bukan sama Nola, saya jadi malas buatnya. Nanti kebanyakan narasi. Dan isi narasinya pasti hanya berisi tentang pikiran kotor Niko setiap melihat tubuh Nola. Jadi ya ... anggap saja pov saya ini povnya Niko. Karena otak saya sebelas dua belas dengan otak Niko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Talk to Me, Honey!
Teen FictionNola yang memiliki kepolosan setebal dinding dan kesabaran setipis tisu, ditakdirkan untuk harus mengimbangi sex drive Niko yang tinggi. "Enggak sakit-sakit banget 'kan? Boleh ya?" "Anjing ya kamu!" -- Note : Apa pun yang terjadi di dalam cerita in...