6. Kegelisahan Tanpa Sudah

1.8K 466 47
                                    



Sejak kecil Cleo jarang absen. Jika tidak sakit, atau tidak berada dalam situasi yang benar-benar genting, Cleo akan selalu masuk ke sekolah. Seperti halnya orang dewasa yang senang menjadikan diskotik sebagai tempat mereka berlari dari kenyataaan, bagi Cleo sekolah adalah tempat pelarian itu pula. Tapi bukan dari kenyataan, melainkan dari dirinya sendiri. Dirinya yang suka tenggelam dalam kesedihan. Dirinya yang membenci banyak hal. Dirinya yang senang menjadikan nyawa sendiri seperti barang murah.Dirinya yang tidak mau berubah—Cleo ingin lari dari itu semua.

Jadi walaupun kegiatan-kegiatan di sekolah untuk orang sepertinya bagai samsara tak berujung, Cleo tidak keberatan melaluinya berkali-kali. Cleo tidak keberatan untuk mengerjakan PR, bangun pagi, menyiapkan buku pelajaran, mandi, pakai seragam, hingga menghadapi macetnya Jakarta setiap hari.

Namun anggapan itu berubah semenjak Cleo pindah ke SMA Gravika kemarin. Baru juga sehari Cleo menjumpai berbagai macam satwa langka di IPS 3, melihat setiap pertunjukan sirkus di dalamnya, kemudian bertemu Rama, orang yang berpeluang besar menaruh dendam padanya—Cleo sudah mulai berpikir, mungkin tergeletak di tempat tidur seharian seperti halnya orang tidak punya masa depan bukanlah hal yang buruk.

Ya, benar. Selain perkara kelasnya, pertemuannya dengan Rama cukup mengganggu Cleo. Bukan karena cowok itu benar-benar mencekiknya kemarin, atau menusuknya tiba-tiba, tapi sebaliknya, sikap baik dan menyenangkan cowok itulah yang memaksa Cleo harus terus waspada. Sebenarnya apa yang cowok itu pikirkan? Apa yang akan cowok itu lakukan? Jika memang benar tidak mengenalnya, kenapa cara Rama melihatnya di kelas kemari. seakan cowok itu sudah mengenalnya dengan baik? Dan kalau memang Rama sudah mengenalnya, tahu akan masalahnya dengan Hera, kenapa cowok itu tidak tampak memiliki tendensi kebencian padanya sama sekali? Kenapa cowok itu baik sekali padanya? Sampai menemaninya meminjam buku di perpustakaan segala? Ya, Cleo tahu sih itu semata-mata tugasnya sebagai ketua kelas. Tapi tatap saja Aneh! Karena baru kali ini Cleo melihat ada orang asing yang mau mengorbankan seluruh jam istirahatnya, membiarkan dirinya nggak makan siang, cuman untuk membantunya doang.

Penuh kontradiktif. Tidak bisa diprediksi. Cleo membenci dua hal yang tidak bisa diukur itu. Dan sialnya, Rama definisi wujud keduanya sekaligus.

Ck! Cleo tidak bisa gelisah begini. Pokoknya dia harus memperjelas sikap Rama hari ini juga. Cleo akan memberi tahu cowok itu bahwa dia pernah melihatnya berdiri di makam Hera, dan Cleo juga akan memberi tahu latar belakangnya pada Rama untuk sekadar memancing sifat aslinya keluar. Urusan cowok itu akan mencekiknya, membunuhnya, Cleo tidak peduli. Toh dari awal Cleo memang sudah siap untuk ini.

Saat Cleo sedang memikirkan bagaimana caranya bisa bicara dengan Rama, tahu-tahu dia melihat ada kepulan asap yang tembus dari celah pintu kamarnya. Bau terbakar yang kemudian tercium membuat Cleo refleks bangkit dari kasur dan keluar dari kamar saat itu juga. Dengan langkah setengah berlari, Cleo langsung bergegas turun ke bawah begitu menyadari asap dan bau gosong itu berasal dari dapur kotor rumahnya.

KRENG!!!

Rupanya bukan kebakaran. Melainkan Bu Mae yang sedang menggoreng ikan bandeng dengan kompor minyak. Cleo yang melihat itu tak kuasa mengembuskan napas kasar. Hampir saja dia memanggil pemadam kebakaran tadi.

"Eh, Neng Cleo udah bangun!" sapa Bu Mae, saat mendapati Cleo di dapur, "Neng mandi dulu sana. Abis itu sarapan. Ibu udah masakin bandeng nih! Hmm enak pasti—"

"Ibu mau ngebakar rumah saya ya?" tanya Cleo datar.

Bu Mae mangap. "A—apa, Neng? Ngebakar rumah?"

Cleo menunjuk kepulan asap di sekitarnya yang makin membumbung tinggi hingga memenuhi setiap sudut rumah. "Liat? Asep kompornya ngalahin fogging DBD?"

Harapan Dalam Bayang-BayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang