8. Anak yang Tidak Mau Ditolong

1.3K 428 33
                                    



Cleo berhenti menjadi anak kecil sejak umur 4 tahun. Setelahnya dia adalah orang dewasa yang dipaksa ibu dan ayahnya tumbuh demi adik laki-lakinya yang saat itu lahir dengan kekurangan. Maka wajar, walau dia hidup tanpa orangtua sekarang, Cleo sudah pandai mengurus dirinya sendiri.  Dia sudah pandai melakukan kegiatan apa pun yang seharusnya didampingi orangtua. Seperti contohnya sekarang, di saat anak-anak seumurnya selalu membawa satu anggota keluarga mereka setiap kali berobat ke rumah sakit, sepulang sekolah, dengan memakai taksi online, Cleo bisa membawa tubuhnya yang babak belur ke IGD sendirian.

Iya sendirian. Dan baginya tidak masalah. Cleo sudah biasa. Sangat-sangat sudah biasa sampai dia tidak menganggap dirinya menyedihkan lagi.

Hanya saja yang menjadi kekhawatiran Cleo sekarang, dia belum punya alasan tepat untuk menjelaskan kondisinya pada orang-orang di sekitarnya yang mungkin saja bertanya. Entah itu nanti itu Bu Mae, Tantenya, teman-teman sekelasnya, atau guru-gurunya di sekolah. Walau kebanyakan pertanyaan mereka sekadar basa-basi, tetap saja Cleo harus punya jawaban alih-alih menutupi fakta bahwa dia baru saja menjadi korban kekerasan.

"Ya Allah, Neng! Eneng Cleo kenapa luka-luka begini?!"

Ck! Baru juga dipikirin, tapi apa yang dikhawatirkannya sudah terjadi; Bu Mae memergoki Cleo saat dia mengendap-endap menuju kamar. Kondisinya yang penuh memar, dan seragamnya yang sangat kotor oleh tanah, membuat Bu Mae yang tadinya hendak pulang, tergopoh-gopoh menghampiri anak perempuan itu.

"Jatoh dari motor, Bu," jawab Cleo.

"Jatoh dari motor kok bisa sampe...." Kalimat Bu Mae terputus saat pandangannya  tertuju pada luka lebam yang melingkar di mata kiri Cleo. Begitu pula memar di tangan kiri, serta tulang kering kakinya. Alih-alih kecelakaan, kondisi Cleo sekarang lebih mirip habis dipukuli orang.  "Neng! Ayo kita ke rumah sakit sekarang! Ibu temen—"

"Tadi saya udah ke IGD, Bu. Dokter bilang gak ada luka serius. Udah dikasih obat juga nih," potong Cleo, seraya memperlihatkan kresek putih berisi obat pereda yang didapatnya dari rumah sakit. "Ibu nggak usah khawatir. Saya nggak apa-apa kok."

Bu Mae menggeleng cepat. "Tapi, Neng! Neng Cleo keliatannya sakit—"

"Sama satu lagi," Cleo tahu dia tidak sopan terus memotong pembicaraan Bu Mae. Tapi dia terpaksa begitu agar wanita di depannya berhenti menatapnya seolah-olah dia sedang sekarat, "Tolong jangan kasih tau soal ini ke Tante Della. Dia tudah repot ngurusin sekolah saya seminggu kemarin. Lagian luka begini doang gampang kok sembuhnya. Besok juga udah ilang."

"Neng Cleo—"

"Terima kasih perhatiannya, Bu. Sekarang Ibu Mae boleh pulang."

Setelah menandaskan kalimat tersebut, tanpa memedulikan wajah khawatir Bu Mae, Cleo masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.

Cleo menarik napas panjang, lalu melempar ransel dan plastik obatnya ke sembarang tempat. Sambil melepaskan satu persatu kancing seragam sekolahnya yang kotor, Cleo berjalan ke cermin besar yang ada di sudut kamar untuk memandangi keadaan tubuhnya yang payah. Beruntung lebam yang tampak di wajahnya cuma satu. Hanya di mata. Jadi bisa dia tutupi dengan kacamata.

"Jangan melawan ketika ada yang memukul dan menyiksa lo."

Tahu-tahu Cleo merasakan ngilu yang amat sangat di perut, anggota tubuh yang paling banyak ditendang Chea. Padahal dia sudah diberikan pertolongan pertama oleh dokter di rumah sakit. Tapi sakitnya masih saja membuatnya ingin teriak.

Cleo menggigit bibirnya kuat-kuat. Dengan kedua tangan memegangi perutnya, terseret-seret Cleo melangkah ke kamar mandi, menyalakan shower air dingin, kemudian berdiri di bawahnya dalam waktu yang lama. Sampai dia menggigil. Sampai lebam-lebam di tubuhnya tidak terasa ngilu lagi.

=Harapan Dalam Bayang-Bayang=

"Ngapain coba tadi lari-lari? Jatoh kan? Nakal sih. Dibilangin nggak ngerti! Udah nggak usah nangis. Lecet doang. Tahan aja. Ibu ngurus adik kamu dulu!"

Cleo terbangun dari mimpinya saat sesuatu yang dingin menyentuh wajahnya tiba-tiba. Ketika sepasang matanya membuka perlahan, samar-samar Cleo melihat adanya seorang wanita yang duduk di samping ranjangnya, mengompresi lebam di wajahnya dengan air dingin.

Wanita itu bukan ibunya. Bersama adiknya, ibunya sudah meninggal sejak tujuh tahun lalu karena kecelakaan. Pun wanita itu bukan tantenya yang merawatnya selama ini. Selain Della sekarang ada di Bandung, penampakan wanita itu terlalu tua untuk tantenya yang masih 33 tahun.

Cleo mendesah dalam hati. Jika saja obat pereda nyeri yang diminumnya tidak memberi efek lemas dan ngantuk, sejujurnya Cleo ingin mendepak Bu Mae yang kini berada di kamarnya sekali lagi. Menyuruh wanita itu segera pulang ke rumahnya sebab hari sudah mulai gelap. Tapi boro-boro bersuara, untuk membuka matanya saja susah.

"Tenang, Neng. Ibu nggak bakal bilang-bilang ke Neng Della kok," ujar Bu Mae begitu melihat Cleo mengerjap-ngerjapkan mata ke arahnya. "Tapi biarin Ibu ngompresin lukanya Neng Cleo ya. Biar cepet sembuh."

Cleo menggeleng, menolak keinginan Bu Mae. Tapi respon itu tidak diiindahkan nenek itu sama sekali.

"Neng tu masih kecil. Mana bisa Ibu tinggal sendirian pas lagi sakit begini?" tanya Bu Mae lirih, sambil merapikan anak-anak rambut Cleo agar tidak menggores luka lebamnya.

Pada akhirnya Cleo berhenti merespon. Anak itu kembali tertidur. Bu Mae yang melihatnya lantas menghela napas lega. Melihat Cleo, beserta keadaanya sekarang, mengingatkannya dengan cucunya yang tidak sempat dia selamatkan. Cucunya yang luput dari perhatian karena dia sibuk bekerja. Cucunya yang selalu bilang baik-baik saja setiap kali ditanya. Cucunya yang menderita diam-diam, lalu memutuskan untuk pergi dari dunia diam-diam pula.

Kehilangan cucunya cukup menyisakan penyesalan yang membuat Bu Mae tidak berhenti menyumpahi diri sendiri setiap hari. Maka begitu dia melihat keadaan yang sama seperti cucunya menimpa Cleo juga, mana mungkin dia bisa diam saja? Bagaimana mungkin dia bisa tidak peduli lagi?

"Keponakan saya itu nggak mau ditolong."

Sekarang Bu Mae paham arti omongan Della kemarin. Sebagaimana artinya, Cleo memang tidak mau ditolong.Pun ketika akhirnya anak perempuan itu meminta tolong padanya, itu adalah jenis permintaan tolong untuk tidak memberinya pertolongan sama sekali. Sebuah sikap kontradiktif yang sangat menyakitkan bahkan hanya untuk didengar.

"Maaf ya, Neng. Maaf Ibu nggak nganterin Neng ke rumah sakit tadi," ucap Bu Mae, seraya mengusap-usap kening Cleo yang sudah benar-benar terlelap.

Harapan Dalam Bayang-BayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang