Pada 3 Agustus 2018, Hera Yuliana dinyatakan meninggal dunia. Kabar kepergiannya disampaikan Nenek Hera ke pihak sekolah besok paginya. Kelas 11 IPS 4, yaitu kelas Hera semasa dia hidup, menjadi kelas pertama yang diberitahu. Seperti halnya reaksi Bu Marta, wali kelas mereka yang pertama kali dikontak oleh Nenek Hera, nyaris seluruh murid 11 IPS 4 bereaksi sama saat tahu kabar duka tersebut; alias mereka tidak percaya bahwa Hera yang kemarin masuk sekolah, mengumpulkan PR, mengerjakan tugas praktik komputer bersama mereka, kini telah tiada.Kenapa Hera meninggal? Apa penyebabnya? Bagaimana kronologinya? Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh beberapa murid 11 IPS 4 pada Bu Marta. Entah pertanyaan itu bentuk kepedulian atau sebatas menjawab rasa penasaran, yang jelas hampir setengah dari mereka terus memborbardir Bu Marta dengan pertanyaan soal meninggalnya Hera yang menurut mereka terlalu tiba-tiba.
"Ibu juga masih belum tahu penyebab meninggalnya Hera," jawab Bu Marta lugas, membungkam pertanyaan anak-anak muridnya. "Lebih baik sekarang, untuk menghormati meninggalnya teman sekelas kita, mari kita tinggalkan sebentar semua kegiatan kita untuk mendoakan almarhumah."
Bu Marta menyuruh Satria, selaku ketua kelas 11 IPS 4, untuk memimpin doa bersama. Namun ketika Satria dan seluruh murid di kelas sudah siap berdoa, keheningan kelas lebih dulu dipecah oleh suara lantunan lagu yang bersumber dari bangku belakang.
"I'm gonna swing from the chandelier.... I'm gonna live like tomorrow doesn't exist... Like it doesn't exist..."
Itu Cleo. Cewek di bangku belakang yang menyenandungkan lagu barusan. Sepasang telingnya tersumpal earphone, sedangkan matanya tertuju pada tugas Sosiologi yang sedang dia kerjakan. Jadi wajar, bahkan ketika cewek itu sudah menjadi pusat semua orang di kelas, Cleo masih tidak menyadarinya. Cewek itu masih asyik bernyanyi dan mengengangguk-anggukan kepala seiring dentam lagu Chandelier milik Sia bergema di telinganya.
"Ck, anak itu!" Bu Marta mengembuskan napas kasar, "Siapa pun tegur dia. Sekalian cabut kabel dari kupingnya itu. Jam pelajaran kok dengerin musik."
Adhisa yang kebetulan duduk tepat di depan Cleo, lantas membalikan badan ke belakang, lalu mengetuk-ngetuk meja Cleo beberapa kali. Begitu cewek itu mendongak dan melihatnya, diberinya kode agar Cleo melepas earphone-nya segera.
"Ada apa sih?" tanya Cleo sambil melepas earphonya, dia heran dengan suasana kelas yang mendadak sehening kuburan.
Adhisa tidak menjawab pertanyaan Cleo dan langsung memutar badannya ke depan kembali.
"Cleo," panggil Bu Marta. Membuat perhatian Cleo langsung tertuju pada wali kelasnya itu.
"Ya, Bu?" sahut Cleo datar.
"Hera meninggal dunia."
Suasana kelas kembali sunyi. Tak lama kenyataan itu disampaikan dengan gamblang oleh Bu Marta lagi, Warga kelas 11 IPS 4 serentak memandang Cleo untuk menunggu reaksinya. Bukan apa-apa, mengingat hal yang terakhir Cleo lakukan pada Hera di kelas, mereka berharap melihat ketegangan di wajah cewek itu. Atau setidaknya penyesalan dan rasa bersalah. Namun lima detik berjalan, mereka tidak juga menemukan apa-apa. Seperti halnya mendengar berita harian di koran yang tidak berpengaruh untuk hidupnya sama sekali, reaksi Cleo atas kematian Hera hanya manggut-manggut dan menggumamkan kata yang membuat mereka semua terpana.
"Ohh."
Hanya itu. Ringan dan singkat. Bu Marta yang melihat itu pun tak kuasa ternganga. Tapi karena dia harus melanjutkan pembacaan doa, buru-buru wanita itu menetralkan emosinya dan menyuruh Satria untuk memimpin doa kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan Dalam Bayang-Bayang
Fiksi UmumCleo tidak pernah merasa bersalah atas kematian Hera. Cleo juga tidak menerima fakta bahwa dia yang merundung Hera sampai cewek itu memutuskan untuk bunuh diri. Tapi semua orang mengatakan Cleo bersalah. Tantenya, wali kelasnya, teman-temannya di se...