3. Kehampaan Panjang

2K 493 45
                                    


Cleo selalu memikirkan perkataan Bu Indah padanya. Tentang bagaimana dia yang katanya harus memposisikan diri sebagai Hera agar bisa memahami alasan cewek itu begitu membencinya dan memutuskan untuk menyerah.

Seperti pesan Bu Indah itu, hampir dua hari ini Cleo berusaha membayangkan jika dirinya ada di posisi Hera. Tapi anehnya, bukan membuatnya mampu lebih memahami Hera, metode itu justru membuatnya berpikir bahwa alasan Hera bunuh diri makin tidak masuk akal. Karena jika Cleo adalah Hera, dia tidak akan lompat dari atas gedung cuma karena satu atau tiga bentakan teman yang bahkan selalu salah menilainya.

Namun begitu Cleo menyadari ada satu hal yang luput dia lakukan saat mencoba metode tersebut, yaitu dia belum mengetahui keadaan Hera untuk memahami perasaanya—Cleo lantas mengambil inisiatif menelusuri rekam jejak hidup Hera. Dari mulai melihat postingan media sosialnya, mengingat serta menelaah setiap tindak-tanduknya di sekolah, dan terakhir mengunjungi rumahnya; tempat di mana semua alasan serta situasi hidup Hera bisa dia temukan.

Hari ini, di hari ketiga sejak dia dikeluarkan dari sekolah, setelah mendapatkan alamat Hera dari Bu Indah, akhirnya Cleo sampai juga di sana.

Di rumah Hera.

Cleo mengamati bangunan kumuh di depannya dengan kening berkerut. Seperti dugaan Bu Indah, Rumah Hera memang tidak layak huni. Bukan cuma karena berada di lingkungan padat penduduk yang jalan masuknya harus melewati gang-gang sempit, bagunan semi permanen yang menempel dengan tembok rumah orang ini benar-benar terlihat sangat ringkih. Cleo yakin jika ada badai puting beliung, atau hujan es batu, rumah Hera yang dipastikan roboh duluan. Lalu, ditambah lagi soal penampakannya yang sangat kotor. Cleo tidak tahu alasan Hera menimbun banyak botol dan kaleng bekas di halaman rumahnya, yang jelas keadaan itu cukup membuatnya bergidik. Tidak masalah jika Hera menimbunnya dengan rapi, disusun menurut klasifikasi bentuknya. Tapi ini malah dibiarkan saja seperti sampah. Ck! bagaimana cewek itu nggak mau kutuan dan bau, kalau membereskan rumah saja nggak bisa.

"Hera beneran tinggal di kontrakan itu?"

Untuk yang kedua kali, Cleo mengajukan pertanyaan yang sama pada Mbak Siti, penjual rujak dan minuman dingin yang ada di seberang rumah Hera.

"Iya, tapi si Hera cuman sebentar tinggal di sana," sahut Mbak Siti sembari meracik pop ice pesanan Cleo. "Memang kamu siapanya ya?"

"Temen sekolah."

Mbak Siti manggut-manggut. Sebenarnya dia agak ragu dengan jawaban Cleo. Melihat betapa bagusnya baju dan sepatu yang Cleo kenakan, serta gelagatnya yang seperti tidak pernah datang ke pemukiman, dia tidak percaya bahwa gadis itu benar-benar berteman dengan Hera yang notabene juga anak kampung sepertinya.

"Mbak kenal sama Hera?" tanya Cleo kemudian, memecah lamunan Mbak Siti.

"Nggak begitu. Kami cuma sebatas kenal nama aja."

"Ohh."

"Adek ke sini mau ngelayat atau?"

Cleo tidak menjawab, dan kembali mengalihkan pandangannya ke rumah Hera. Sadar bahwa dia tengah diabaikan Cleo,dengan perasaan sedikit dongkol, Mbak Siti memilih mengobrol lagi dengan tiga wanita yang kini makan bakso di balai rotan depan rumahnya. Wanita pertama diketahui bernama Bu Atun, setelahnya ada Bu Danang dan Bu Pipit.

"Apes banget saya, Bu!" keluh Bu Atun pada dua temannya yang sedang menyeruput kuah bakso, "Gara-gara si Hera bundir tiga hari lalu, orang-orang sekampung bilang kontrakan saya serem. Kalo begini kan jadi nggak ada yang mau nempatin kontrakan saya lagi. Bikin seret rejeki orang aja!"

Akibat nama Hera disebut-sebut, diam-diam Cleo ikut menyimak percakapan Bu Atun dan ketiga temannya.

"Sabar, Bu," kata Mbak Siti dengan nada prihatin, "Biar nggak serem, Bu Atun bikin pengajian aja."

Harapan Dalam Bayang-BayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang