DÉJÀ VU

56 6 2
                                    

Ding! Dong! Pukul 09.30. Beberapa saat sebelum pengulangan terjadi.

Pemuda dengan kacamata yang duduk berbuncahkan cemas di pojokan itu bernama Aru. Usianya kini 21 tahun –bukan sekedar remaja tanggung lagi memang, tetapi lebih dari cukup dewasa untuk menebak muasal gelagat kegelisahan ini.

Sebagian besar dari kita pasti pernah mengalaminya, Aru berani jamin. Tentang sebuah sensasi kuat yang sedang ia hadapi sekarang. Semua seolah terasa sama. Terlalu sama untuk sebuah kebetulan. Bahkan tiap hela nafas hingga detak jarum jam besar yang berdetak di pojok ruangan seirama dengan apa yang telah bercokol di kepalanya.

"Kumohon, jadilah berbeda untuk sekali saja" Aru meringis, melonggarkan kerah kemeja biru yang ia kenakan. Ujung bibirnya tergigit, sementara kedua netranya berkeliaran menghitung situasi yang ada.

Untuk kesekian kalinya, pemuda jangkung itu berharap semuanya akan berbeda. Berulang kali ia berusaha untuk rileks dengan bersiul, menjetikkan jari, mengusap layar smartphone yang tak ada notifikasi apapun, hingga iseng menghentakan sol sepatu ke lantai mengikuti irama musik jazz.

Sayang sekali, apapun yang ia lakukan sekarang, peluh dingin tetap mengucur deras dari balik tengkuk. Membasahi punggung kemeja yang terbungkus jaket hijau tua. Seisi kafe ini terasa menyesakkan walau tiada banyak pengunjung pagi ini. Apalagi ditambah dengan semua bayang-bayang yang telah Aru lihat. Segalanya terlihat sama.

Anak kecil yang menangis dipangkuan ibunya itu contohnya. Dia memiliki rambut pendek tidak rata dengan poni miring ke kanan. Ketika si ibu memberikan sendok yang ia inginkan, anak itu berhenti menangis. Aru menatap pipi yang basah dan ingus yang menggenang di atas bibir mungilnya. Posisinya masih sama persis seperti yang ia ingat.

Lin –terhitung sahabat dekat, mengutarakan asumsinya sebelum mereka memutuskan bertemu, "Fenomena itu sangat natural. Ia hanya berkaitan dengan sesuatu yang familiar dengan kita. Terkadang ia akan memicu ingatan palsu yang membuat diri kita berpikir bahwa pengalaman yang dilakoni pernah dialami sebelumnya, padahal tidak. Ayolah, berhentilah bersikap paranoid."

Paranoid ya? Jemari Aru menyugar rambutnya dengan cemas, tentu saja akan natural ketika hanya terjadi satu hingga dua kali saja dalam hidupnya. Yang membuat ini rumit adalah jika semuanya terjadi berulang kali selama hampir 16 hari semenjak Aru tidak lagi salah dalam menghitungnya. Semua kejadian itu persis selayaknya menonton siaran kejadian di masa depan beberapa jam sebelum benar-benar mengalaminya.

Baiklah, terdengar keren sekali bukan jika bisa melihat sedikit masa depan? Setidaknya Aru juga pernah berpikir demikian saat hari-hari awal, sebelum akhirnya semuanya menjadi semakin tidak terkendali.

Pukul 09.36.

"Nah, sudah menyala." Gadis itu menyeringai sembari mendorong ponselnya ke tengah meja, memecah lamunan lawan bicaranya, "Kita sampai mana tadi?"

Aru tertegun sejenak, "Eh, Lintang? kau sudah disini?"

"Kau bicara apa, Aru?" Lin atau Lintang –gadis berambut panjang itu tertawa canggung, "kita 'kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu."

"Ah, maaf. Aku kehilangan fokus" Aru menggeser posisi duduk dan mencoba kembali fokus. Gadis itu kembali mengulang pertanyaan yang sama. Sampai mana tadi?

"Hmm...sampai aku mengatakan bahwa ini semua mirip mimpi yang kulihat tadi pagi dan..." Aru menggantung kalimat itu, bukan karena merasa tak nyaman, melainkan karena orang-orang pasti ingin dirinya terlihat tidak nyaman tentang fenomena aneh itu bukan?

Lin merekahkan senyum, "Tidak apa-apa, kita mulai perlahan saja, Aru."

"Perlahan." Aru mengangguk, menghembuskan napas. Pemuda itu mengangkat cangkir dan menyesap teh hangatnya juga dengan perlahan. Tidak ada lagi langkah mundur, Aru ingat bahwa dirinya sudah memantapkan hati untuk menceritakan segalanya pada gadis ini.

UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang