"Rin, kamu mendengarkanku?"
"Ah, maaf. Aku sedikit melamun. Khalil tadi ada ngomong sesuatu?"
"Tidak, mari kita bicarakan hal lain saja."
"Bodoh..."
"Jujur saja, aku terkejut mendengar kabar tentangmu. Setelah enam bulan tiada kabar, kamu tiba-tiba jadi serius kuliah sampai menelantarkan gambar dan penulisan novelmu. Sebegitu sibuknya ya?"
"Mau bagaimana lagi? Kalau aku tidak segera wisuda dan mendaftar tes pegawai negeri tahun ini, orang tuaku akan membunuhku."
"Bercandamu tidak lucu, Rin."
"Jangan berlagak sok asyik."
"Tapi, kalau jadi seperti Khalil pasti enak ya? Karya-karyamu sudah populer di media sosial, jadi dropout kuliah tidak masalah 'kan? Toh, banyak koneksi, sudah pernah magang di perusahaan besar pula."
"Masih mengulang kalimat itu lagi? Nyindir itu juga ada batasnya. Lagian, populer di sosmed itu tidak menyenangkan. Aku harus menjaga citra, berperan sebagai tokoh publik dengan meminimalisir cela. Salah bicara bisa bermuara petaka. Belum lagi rentetan cibir yang melelahkan hati. Rasannya seolah ratusan ribu pengikut itu mudah sekali menjadikanmu kehilangan jati diri..."
"Pasti menyenangkan jadi kamu, punya segala hal yang kudamba."
"...Tapi, kupikir mubazir juga jika popularitas tidak dimanfaatkan. Soalnya, nanti aku berencana membuat studioku sendiri. Makanya setelah lulus, aku berencana lanjut kuliah ke Institus Seni..."
"Kalau saja aku bisa seringan itu membicarakan masa depan..."
"Rin, kamu barusan bilang sesuatu?"
"Tidak kok, Khalil mungkin hanya salah dengar."
"Kalau Rinai sendiri bagaimana? Habis kuliah mau jadi freelancer?"
"Jadi pegawai negeri."
"Lemah."
"..."
"..."
"Hei, kalau ada masalah, kamu bisa cerita padaku."
"Dasar sampah."
"Ngga, aku baik-baik saja kok."
***
"Keputusan bijak untuk tidak mencurahkan keluh kesah padanya."
"Menurutmu begitu?"
"Tentu, paling dia hanya menceramahkan bual berbalut simpati kosong terhadapmu. Dan lebih parahnya lagi, Khalil bisa saja mengunggah rengekanmu ke kanal digital sebagai tumbal pemecah tawa para pengikutnya, ya 'kan?"
"Hahaha benar juga...lagian, aku yang sekarang sudah tidak apa-apa. Enam bulan diri ini sudah mencoba untuk hidup. Selayaknya berhenti menggambar dan menulis cerita, serius mengerjakan tugas akhir, mengikuti bimbingan belajar calon pegawai negeri, menata rambut, dandan, membeli baju feminim, tas baru..."
"...."
"Sekarang, apalagi yang harus kulakukan untuk berperan sebagai manusia normal seperti mereka lagi?"
"Normal? Kamu pikir orang yang bicara sendiri pada suara imajinasi sepertimu bisa kembali normal? Lihat, anak kecil yang berada dibelakangmu saja menyebutmu aneh pada ibunya."
"...."
"Kenapa menatapku begitu? Salahmu sendiri memikirkan penilaian manusia lain, bergantung pada hal konyol seperti jumlah like atas karyamu, atau menghitung sebanyak apa puja atas pribadimu di grup Whatsapp, lalu depresi sendiri. Tidak usah merasa menjadi korban, dasar gadis tolol!"
"Kan sudah kubilang, aku tahu..."
"Makanya kamu itu sangat menyebalkan. Ini itu ragu. Hidup sungkan, mati pun enggan."
"Berisik."
"Tapi tidak apa, berkat seonggok kegagalan sepertimu, manusia lain bisa terlihat lebih sukses. Bego!"
"Diam!"
"Lihat, semua orang teralihkan berkat teriakanmu. Ayo, lantangkan lebih keras lagi! Seluruh dunia harus tahu bahwa di antara mereka terdapat sampah penciptaan yang eksistensinya berbanding lurus dengan ketiadaan sepertimu."
"Ya Tuhan, kumohon diamlah..."
"Rinai, kenapa kamu tidak segera mati saja?"
"..."
"Toh, hidupmu juga tidak akan kemana-mana. Tidak ada juga yang akan menangisi kepergianmu. Orang-orang akan meratap sekejap, lantas kehidupan akan berjalan selayaknya biasa tanpamu. Ada atau tiadanya kamu tidak akan mengubah apapun. Begitulah nilai kehidupanmu. Nihil. Akan ada banyak pemeran pengganti dalam panggung sandiwaramu. "
"..."
"Jadi, kapan kita akan bunuh diri lagi?"
***
TAMAT
Catatan :
Cerita pendek berbentuk dialog ini merupakan kelanjutan dari dengan cerita yang saya unggah tahun lalu yaitu Dramaturgi. Untuk pengalaman membaca yang lebih maksimal, silahkan kunjungi dan baca cerita tersebut terlebih dahulu. Terima kasih.
Prompt Maret 2023
"Hai, lagi apa?"
Didedikasikan kepada Blackpandora_Club
KAMU SEDANG MEMBACA
Umbra
Short Story[ANTOLOGI] Umbra, peranakan atas pertemuan yang saling meniadakan. Dalam sepetak Umbra, tergurat himpunan diksi yang terpercik kehilangan arah selepas koma berkepanjangan. Sebuah agregasi berupa penggalan tutur atas upaya penafsiran pesan-pesan ganj...