Pukul 17.18.
Air mengucur dari rambutku yang lepek kala pelarianku dalam menerabas hujan kembali berpenghujung pada halte langganan di pinggiran jalan utama. Sesuai terkaan, netra ini kembali mendapati gadis pembawa bungkusan kue itu tengah menduduki salah satu bangku. Dara manis bersurai hitam panjang dengan setelan kantoran yang sama dalam sepekan terakhir selalu menantikan bus jurusan terakhir bersamaku. Meski hanya sebatas rekan yang saling bisu di tengah kecamuk musim penghujan.
"Kamu terlambat delapan menit."
Atensiku terpanggil hingga memantik tolehan dari kepala. Tiada acuh, gadis itu semata hanya menatap lurus dengan ekspresi datar pada derasnya hujan. Demi kesopanan, mulut ini menyuarakan soalan atas kalimatnya.
"Dalam kurun enam hari belakangan, kamu selalu tiba di halte ini pada pukul lima lebih sepuluh menit. Walau sering kehujanan, kamu tetap saja datang tepat waktu untuk menunggu bus yang akan tiba lima belas menit setelahnya. Sekarang, kamu terlambat delapan menit." Ujarnya.
Sejenk, tidak dapat tidak, aku tergelak pelan. Kagum bahwa si pembawa kue ini ternyata jeli memperhatikan kebiasaan yang diri ini sendiripun tidak sadar. Tak butuh waktu lama, hujan di sore itu membawa kami ke perbincangan hangat –ah, setidaknya hatikulah yang menghangat. Mulanya, kuajak dia membicarakan cuaca yang akhir-akhir ini sering berubah. Kemudian, obrolan menjurus pada ranah yang lebih pribadi.
"Siapa namamu?"
Aku mendapati gadis berparas pucat bak pualam itu akhirnya balas memandangku. Bibirnya sejenak membuka, lantas kembali terkatup. Seolah tengah menimbang-nimbang jawaban atas tanyaku.
Sebelum aku meminta maaf atas kelancangan diri ini, gadis itu mengangkat bungkusan kue yang selalu dibawanya dan membalas, "Tiramisu."
Gelak hendak membuncah kembali dari bibirku, tetapi urung saat mendapati sepasang mata bulat itu berkedip-kedip polos menatapku.
"Maaf, kukira kamu bercanda tadi. Namamu sungguhan Tiramisu?"
Dia menelengkan kepala, bingung, "Ada yang salah?"
"Tidak," aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, "Namamu hanya sedikit tidak lazim."
"Karena aku suka makanan ini," Tiramisu menyodorkan bungkusan tas kertas berwarna cokelat padaku, "Saat pertama kali tiba di kota, seorang anak perempuan memberikanku benda yang disebutnya kue berbahan biskuit seperti ini. Aromanya seperti bubuk yang disebut kopi dan ada taburan benda kecokelatan yang rasanya manis. Sejak saat itu, aku selalu membelinya untuk dimakan."
Kerutan sontak terbit pada dahiku. Gadis yang aneh.
"Tidak masalah kamu menganggapku aneh. Berbeda dengan tempat asalku, terkadang manusia terlalu kaku dan terikat pada nilai-nilai kelaziman yang berdasar pada konsesus bersama secara tidak sadar. Lantas, mudah mendefinisikan mana yang aneh dan tidak secara sepihak." Tukas Tiramisu dengan ekspresi murung.
Aku menggeleng. Mungkin karena sorot wajahku yang melembut, gadis itu balas menatapku.
"Kamu pantas kok dinamai Tiramisu. Indah, nampak lembut dan enak dipandang, tapi juga memiliki roman yang kuat di dalamnya. Siapa memangnya yang tidak suka kue tiramisu?"
Gawat, aku mengutuki diri sendiri dalam hati. Pasti sekarang dia menyangka aku tengah menggombalinya. Aku menggosok tengkuk, gusar.
"Terima kasih."
Alih-alih terganggu, selintang senyum tergurat pada raut datar Tiramisu. Ternampak tipis, tapi aku merasakan bahwa senyumannya benar-benar tulus pada apresiasiku barusan.
Sebagai balasan, aku mengangguk. Setelahnya, tidak ada lagi percakapan untuk beberapa saat. Mungkin dia sadar, terlalu aneh cepat akrab dengan orang asing sepertiku. Aku hanya semata berharap bahwa wajah ini sama sekali tidak terlihat seperti orang jahat saja.
"Aneh. Kita baru kenal, tapi bisa akrab seperti ini," Tiramisu memecah kesunyian di antara kami.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Gugup.
"Apa ini yang para manusia sebut sebagai berjodoh?"
Deg!
Sebagai reaksi, Jantungku sontak berdebar keras saat ucapan itu terlontar dari bibir mungil Tiramisu. Wajahku memanas dengan pipi yang sudah pasti memerah.
Sedetik kemudian, Tiramisu malah tertawa. Aku bisa melihat matanya menyipit dan geligi putihnya sampai terlihat. Benar-benar tertawa lepas, renyah sekali terdengar.
"Maaf, aku hanya mencoba bercanda seperti kalian. Kudengar saat manusia tertarik pada manusia lainnya, bagian hipotalamus pada otak akan memproduksi reaksi berupa hormon Oksitosin dan Vasopresi yang mencipta Dopamine. Lantas terdapat senyawa Norepinerfin yang membuat meningkatkan detak jantung hingga mencipta debaran-debaran pada dada. Dan lihat, mukamu sampai memerah begitu."
Tiramisu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Aku memalingkan wajah. Ini memalukan sekali bagi pria muda berusia 23 tahun untuk tidak mengendalikan diri atas godaan remeh seorang gadis.
"A-aku tidak apa-apa," balasku sembari mencoba tersenyum percaya diri, sembari berusaha menenangkan degupan jantung yang tak karuan.
Netraku sekali lagi menghampiri sosok Tiramisu. Kini, dia tengah berdiri sambil memandangiku lekat-lekat. Rambut hitam yang dikuncir kuda di belakang, alis tebal yang entah bagaimana terlihat menarik kala mengernyit. Bibir mungil berpoleskan warna merah yang terkulum lucu kala bergumam. Lalu, mata tajam beriris hazelnya dengan bulu-bulu lentik, terlihat penuh binar.
Aku mengusap dahi, memejamkan mata sejenak. Sadar muasal semua debaran tak terkendali ini. Sebuah rasa aneh yang mencipta ombak bergulung-gulung di dalam perut sedari tadi. Astaga, apa semudah ini rasanya cinta pada pandangan pertama?
"Semenjak tiba di Bumi, aku mengukuhkan niatan untuk mempelajari emosi dan rasa pada diri kalian, para manusia. Namun, aku tidak menyangka mendapati subyek kajian semenarik dirimu," Tiramisu menelengkan kepala, "Apa kamu benar-benar tengah jatuh cinta pada ras ekstrateresial sepertiku?"
Aku menelan ludah, memastikan telinga ini tidak salah mendengarnya.
Tiramisu adalah alien?
***
TAMAT
Prompt Juni 2023
"Aku jatuh cinta dengan alien."
Didedikasikan kepada @Blackpandora_Club
KAMU SEDANG MEMBACA
Umbra
Short Story[ANTOLOGI] Umbra, peranakan atas pertemuan yang saling meniadakan. Dalam sepetak Umbra, tergurat himpunan diksi yang terpercik kehilangan arah selepas koma berkepanjangan. Sebuah agregasi berupa penggalan tutur atas upaya penafsiran pesan-pesan ganj...