"Anak kecil pasti masuk surga...."
Sepagian tadi, Moore Hesse tengah melukiskan kisahnya padamu dari dunia yang semestinya dia lihat dari seorang gadis muda era Vicatoria lainnya. Namun, dirinya justru terperangkap dalam derita tak berkesudahan dalam tubuh yang sudah separuh mati.
"...jika masuk surga, maka sudah tidak ada lagi derita."
Seakan tahu harus memperlakukan situasi sesuai tempatnya, lantunan lembut gesekan biola samar-samar terdengar kembali dari arah kapel. Sebagai tanggapan, Moore perlahan menarik otot-otot pipinya demi mencipta segaris senyum tipis - senyum pertama setelah penangkapan adiknya. Kamu sedikit lega, meski tahu bahwa guratan melintang pada bibir pucat gadis berusia 20 puluhan tahun itu bukanlah penanda kebahagiaan.
"Para penutur ayat-ayat tuhan dari komuni Anglikan menuturkan pada kami soal kemurnian jiwa kanak-kanak. Putih, suci dan tak ternodai noktah-noktah nistanya dosa." Dirinya menyeringai tipis, "Setelah menjumpai maut, para mahluk belia itu akan terlahir kembali. Lahir ke dunia lain sebagai entitas yang berbeda dan menggapai kekekalan di taman-taman Eden."
"Lantas?" tanyamu sembari memalingkan wajah, menatapi wajah patung-patung malaikat yang berdiri pada sekitara kapel dekat pemakaman.
"Artinya, aku tidak perlu khawatir lagi soal mau sebanyak apapun mereka mati."
"Dan adikmu juga yang membantu anak-anak kecil itu terlahir kembali." tukasmu setelah hening yang mengudara.
Senyum Moore memudar sering terbungkamnya suara dari mulutnya. Mata cekung gelapnya perlahan tertunduk demi menatapi daun-daun kekuningan yang hampir memenuhi setapak pemakaman. Gurat durjanya tampak tetap tenang, tetapi kamu dapat merasakan perubahan suasana di antara kalian.
Mungkin harusnya kalimat menohok itu keluar begitu saja.
"Maaf jika itu menganggumu," Kamu melunakkan intonasi, berusaha mencairkan suasana, "Adikmu itu...seperti apa dia?"
Gadis itu mengangkat wajahnya kali ini. Seolah berusaha menunjukkan padamu betapa tidak ada yang bisa dilihat lagi di sana kecuali kehampaan. Mulutnya sempat terbuka kembali urung untuk berbicara. Dia seperti mau bilang bahwa kehidupan bersaudara bukanlah kehidupan tunggal, bahwa satu mahluk haruslah mengenal mahluk yang lain.
"Hanya seorang gadis tomboi dengan poni rambut miring. Namun, Anne terkadang tidak mampu berekspresi."
"Apa dia punya gangguan pola makan?"
Soalanmu sontak membuat putri sulung keluarga Hesse itu tergelak tipis, "Kau mau bilang, apa dia juga suka memotong-motong ulat, atau membunuh kucing? Menjilat darah? Membakar selimut? Dan seluruh gejala anomali yang menandakan kalau dia pembunuh berantai?
"Tidak," balasmu tanpa mengubah banyak ekspresi, "Aku bertanya karena dia mengunyah organ dalam korban pertama dan keduanya."
Sebagai balasan, gadis itu membuang napas dengan berat beberapa kali. Dia mengherakan kepanikannya sendiri. Dia harusnya tahu bahwa hampir semua informasi pribadi keluarga mereka sudah tersebar luas ke publik.
Mungkin seharusnya kamulah yang panik melihat reaksi si gadis.
"Aku hanya ingin mengerti seperti apa kehidupan kalian sebelum semua ini terjadi." Kamu berusaha tenang, kembali melirik lawan bicaramu dengan penasaran, "Hampir semua orang yang mengenal Anne mengatakan dia normal, baik dan segala sifat positif lainnya. Tapi orang normal tidak akan berkeliaran membunuh anak kecil, kan?"
"Dia tidak seburuk yang dikatakan koran-koran." mata Moore terangkat menatap langit pucat musim gugur dari ibukota Britannia, seolah ada wajah adiknya terlukis di sana, "Orang-orang itu sedikit berlebihan, termasuk sampai tega menghancurkan hidup keluarga pembunuh berantai seperti kami."
Kalimat itu mungkin saja benar. Ketika kamu memandang netra yang kini membulirkan air mata itu, mau tidak mau kamu mulai mempertanyakan lagi agendamu saat ini. Tunangannya memutuskan hubungan, diburu pencari kabar tiap saat hingga orang-orang mulai melempari rumahnya dengan batu dan telur busuk. Mereka memperlakukan anggota keluarga Hesse seolah mereka juga sekumpulan kejahatan yang tiada beda dengan si putri bungsu.
"Dari yang kubaca, untuk kota sebesar London, dalam satu jam ada satu kasus pembunuhan. Dalam tiga puluh menit ada kasus pelecehan, tiap lima menit muncul laporan perampokan dan dalam tiga menit terdapat kasus bunuh diri." Arah pandangmu terlempar tak acuh, menyaksikan jalanan yang ramai di ujung setapak, "Tidak banyak dari kejahatan itu yang terangkat ke publik. Namun ketika adikmu ditangkap, hampir seluruh koran memberitakannya. Kau tahu alasannya?"
Moore mengangkat bahunya, "Karena korbannya anak kecil?"
"Ada banyak orang yang membunuh anak kecil." kamu tertawa getir, "Orang tua marah, saudara yang kesal dan keluarga berantakan yang tak mengharapkan anak kecil. Tapi kasus mereka tak pernah diberikan perhatian yang cukup. Kemudian adikmu muncul dan mendapatkan semua perhatian itu karena dia tidak memiliki motif atau keterkaitan apapun dengan para korbannya. Ada 9 korban yang dibunuh dalam jangka waktu yang beragam."
"Jadi maksudmu motifnya tidak masuk akal?"
Daksamu bergeser sedikit menyamping agar lebih dekat dengan gadis itu, "Benar, Anne terlihat memilih korbannya berdasarkan keinginan saja. Seakan, dia hanya berkeliaran dan memungut satu anak untuk memuaskan hasrat membunuhnya. Dia benar-benar seperti-"
"Dia monster."
"Bisa jadi," kamu menghela napas, "Sekarang aku ingin tahu seperti apa monster itu. Apa dia terlahir sebagai monster dengan taring sejak bayi atau dia baru mengasah taringnya ketika ada kejadian yang memicunya melakukan semua itu?"
"Aku...yakin." Moore menggeleng pelan.
"Yakin soal apa?"
"Soal ada yang memicu Anne," Gadis itu mendesah, memijit batang hidungnya, "Kamu tahu, akulah yang pertama kali tahu kejadian saat dia mengigit leher korban terakhirnya. Dan, ketika aku melihat mata birunya, tak ada kehidupan di sana. Aku yakin sekali itu bukan Anne. Seolah ada pemicu yang mengubahnya begitu drastis dari yang kuingat. Pemicu apapun itu membuatku semakin yakin kalau sosok lain sudah menguasainya. "
Kamu memilih diam, menanti.
Rahang Moore mendadak mengeras, "Allen, apa menurutmu Anne tengah dirasuki iblis atau semacamnya?"
***
BERSAMBUNG
Prompt Mei 2023
"Cerpen berlatar tahun 1800-an."
Didedikasikan kepada Blackpandora_Club
KAMU SEDANG MEMBACA
Umbra
Short Story[ANTOLOGI] Umbra, peranakan atas pertemuan yang saling meniadakan. Dalam sepetak Umbra, tergurat himpunan diksi yang terpercik kehilangan arah selepas koma berkepanjangan. Sebuah agregasi berupa penggalan tutur atas upaya penafsiran pesan-pesan ganj...