Ada satu hal yang biasa kamu jadikan kilah bahwa selama ini kamu masih hidup, ialah tentang beberapa garis kecokelatan yang telah menggalur pudar pada permukaan kulit lengan.
Guratan hasil rajah itu seringkali mulutmu sampaikan selayaknya sebuah ilusi. Kamu bilang pada Yumna dan kawan-kawanmu bahwa mereka ada bersebab cakaran kucing, kendati perihal mahluk berkaki itu saja jarang sekali tersentuh oleh jemari. Terkadang pula, terkatakan siletan tipis ini merupakan imbas dari goresan pisau – dan ini bukanlah bagian dari kilah – kala sibuk memasak di dapur. Padahal selama dua puluh tahun lebih hidup, masakan terhebat yang pernah kamu cipta sendiri dengan kesepuluh jari hanyalah olahan mie instan.
Kala malam menjelang, dirimu masih suka menelusuri, meraba tiap permukaan garis-garis itu; lantas kembali mempertanyakan kerongsokan diri yang terpuruk dalam kenyataan pahit. Tentang tunas impian yang tercerabut, masa remaja yang terengut dan nihilnya kehangatan keluarga yang penuh sungut. Juga perihal identitas diri yang kini didefinisikan sebagai segerombolan kekacauan bersebab disorientasi fungsi sosial.
Setiap kali itu terjadi, pandangan itu senantiasa kabur. Hanya terdengar sayup-sayup deru napas yang dipenjarakan senyap. Kadang-kadang serupa teriakan memoar buruk dari ruang lampau yang sedemikian jahil ikut mengelabui bilik pikir.
"Momen buruk tidak pernah meninggalka tubuh kita. Ingatan terhadapnya akan terus menempel, membekas, dan mengakar pada bilik-bilik tersembunyi di tubuh kita." Ujarku padamu hari itu, "Jadi, tugas kita adalah untuk mengeluarkannya."
Lantas sepertinya jemarimu telah terbiasa, terulur sendiri mencari-cari benda berkilat di tengah sorot netra yang menggelap, karena organ pemikir ini sudah percaya bahwa itu adalah secercah cahaya yang bisa membawamu keluar dari situasi sekarang.
Padahal, kita sama-sama tahu itu salah.
"Memang terlihat aneh pada awalnya. Namun, kamu harus tahu kalau ini menakjubkan. Perasaan ketika darah mengalir membawa seluruh hal kotor dari tubuhmu itu sangat ... langka,"
Kamu sedang ingin mengambil minuman di kulkas ketika melihat pisau tergeletak di meja dapur, di dekat mangkuk berisikan potongan buah yang membusuk tak tersentuh. kamu mengambil pisau itu dan melihat bayang wajah ini di sana. Hanya sepasang mata yang terlihat pada pantulannya, tetapi itu sudah cukup menggambarkan keseluruhan dirimu.
Kelam. Hancur. Tidak menerima diri sendiri.
Lalu, kamu menatap pergelangan tangan.
Netra itu melihat kulit tipis yang memperlihatkan nadi keunguan, menunjukkan kehidupan yang tersentuh. Kamu pasti tidak bisa membayangkan mengiris lengan sendiri dengan lebih dalam lagi, lantas membuat kulit ini robek, mencipta pancaran darah dan menghancurkan sistem kehidupan di dalamnya. Seolah-olah, yang dimiliki di lengan itu bukan hanya sebatas kulit, darah, tulang, dan nadi. Melainkan sesuatu yang tidak pernah kulihat keberadaannya.
Jadi, diri itu pasti mempertanyakan bagaimana Nagi bisa melakukannya? Menyakiti diri sendiri dengan mudahnya?
Aku tertawa pelan.
Kamu mencoba meletakkan pisau itu pada lengan, lalu memejamkan mata. Rasa dingin dari pisau menjalar pada kulit, mencipta ringis yang terbuncahkan dari mulut. Bersiap menorehkan guratan berikutnya.
"Jahatnya, kamu sengaja lupa mengajakku?"
Kamu tersentak panik mendengar suara ini dari arah pintu dapur, kemudian terhuyung mundur hingga ambruk terduduk pada ubin. Pisau itu pun jatuh bergelontangan tak jauh darimu. Kamu menyeka peluh yang mengucur pada dahi, bersiap membuncahkan alasan-alasan dusta yang biasa otak itu siapkan padaku.
Selintang senyum tergurat pada bibirku, disusul gema tawa pelan sembari berjalan mendekat padamu. Kamu terpaku saat daksa ini berjongkok tepat di hadapanmu. Suasana lengang, hanya menyisakan deru napas berat di antara kita berdua.
"Jangan pernah merencanakan mati tanpaku, Gani." Jemari lentik ini dengan jahil menekan hidungmu dengan lembut, "Setelah semua sepi yang terjadi dalam hidup ini, jangan biarkan aku sendirian lagi saat mati nanti."
***
Bersambung
Prompt Februari 2023Didedikasikan untuk Blackpandora_Club
KAMU SEDANG MEMBACA
Umbra
Short Story[ANTOLOGI] Umbra, peranakan atas pertemuan yang saling meniadakan. Dalam sepetak Umbra, tergurat himpunan diksi yang terpercik kehilangan arah selepas koma berkepanjangan. Sebuah agregasi berupa penggalan tutur atas upaya penafsiran pesan-pesan ganj...