N***

6 1 0
                                    

Dear N***,

Mungkin saat kamu membaca ini, aku sudah mati.

Ironis, ya? Selama bertahun-tahun, aku mencari jawaban, berlari dari kenyataan, berharap ada seseorang yang mengerti aku. Namun pada akhirnya, kertas ini yang menjadi saksi dari keputusanku yang terakhir. Kematian sepertinya adalah satu-satunya harapan yang tersisa untukku.

Aku selalu tahu, jauh di dalam diriku, bahwa aku berbeda. Berbeda dari kebanyakan orang, berbeda dari kamu. Tapi perbedaanku bukan hal yang bisa dengan mudah diucapkan atau dijelaskan. Kamu pasti selalu melihat aku tertawa, bercanda, berpura-pura menjalani hidup seperti biasa. Tapi yang kamu tidak tahu—atau mungkin tahu tapi memilih diam—adalah apa yang benar-benar terjadi di balik semua itu.

Papa... bukanlah orang baik. Mungkin, kamu tahu sedikit tentang itu. Aku selalu berharap kamu akan datang dan menanyakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa kamu akan menghentikan mimpi buruk yang selama ini aku alami. Akan tetapi kamu tidak pernah melakukannya. Kamu diam.

Dan di situlah letak kebencian terbesarku padamu, N***.

Papa mencabik-cabik setiap kepingan kecil dari diriku, dari masa kecilku, dan dari kepercayaan yang seharusnya aku miliki terhadap seseorang yang disebut papa. Dia merenggut segalanya dari aku. Bukan hanya tubuhku, tetapi juga jiwaku. Setiap kali dia memanggilku, aku berharap ini semua hanya mimpi buruk, bahwa aku akan bangun dan semua itu akan berakhir.

Namun, tidak.

Semuanya nyata.

Dan kamu tahu itu 'kan, N***? Kamu tahu apa yang dia lakukan padaku, tapi kamu lebih memilih untuk tidak peduli.

Mungkin kamu pikir dengan diam kamu bisa melindungi kita semua. Mungkin kamu merasa bahwa jika kamu tak bertindak, maka keluarga ini tidak akan semakin hancur. Namun, justru itu yang menghancurkanku, N***. Keegoisanmu, ketidakmauanmu untuk menerima kenyataan, itulah yang membuatku terpuruk lebih dalam. Keluarga ini memang sudah berantakan, dan kamu tidak bisa menyelamatkannya dengan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Apatisme kamu adalah pisau yang menancap lebih dalam daripada kekerasan Papa.

Aku lelah.

Kematian mungkin satu-satunya jalan keluar yang tersisa bagiku. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak melihat adanya cara lain untuk terbebas dari lingkaran yang menyakitkan ini. Aku ingin menghentikan rasa sakit ini, bukan hanya untukku, tapi juga untuk kamu. Mungkin, jika aku tidak ada, kamu bisa menemukan jalan untuk hidup lebih baik, tanpa beban rahasia gelap yang menghantui kita berdua.

Tapi, di tengah semua ini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu, sesuatu yang mungkin akan mengejutkanmu.

Aku menyayangimu, N***. Aku selalu menyayangimu.

Meskipun aku sering merasa marah, kecewa, dan benci padamu karena ketidakpedulianmu, ada bagian dari diriku yang selalu menginginkan kita bisa dekat. Bahwa kita bisa hidup tanpa rasa takut dan kebencian ini.

Jika kita bertemu dalam keadaan yang berbeda, aku mungkin bisa mencintaimu lebih dari sekadar seorang saudara. Mungkin, kita bisa menjadi sesuatu yang lebih, jika saja keadaan membiarkan kita. Tapi sekarang, sudah terlambat.

Segalanya sudah terlanjur hancur, dan aku terlalu lelah untuk terus berpura-pura.

Harapanku sekarang hanya satu: semoga kamu bisa menemukan kehidupan yang lebih baik tanpa aku. Jangan lagi hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang penuh dengan kebohongan dan rahasia. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam labirin kehampaan sepertiku.

Hidupilah hidupmu dengan utuh, untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain.

Selamat hidup, N***.

Aku, Kakakmu

***

Prompt September 2024

buat cerpen yang mengandung 3 kata ini: harapan, kertas, kematian

(minimal 500 kata)

Didedikasikankepada @Blackpandora_Club

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UmbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang