037. Penjelasan

131 20 0
                                    

"Salah satu ketakutan terbesar semua orang adalah kehilangan orang yang disayanginya."

~FEARFUL~

•••

Suasana tenang di taman itu tidak bisa membuat perasaan dua sejoli itu ikut tenang. Udara sejuk terasa, tapi Allea malah merasa gerah. Keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. Ia menatap Nando yang masih diam. Pemuda itu malah membuang muka, kembali memandangi hiasan lampu di depannya.

"KAK, jawab yang jujur!" teriaknya kesal.

"Aku sakit ... gagal ginjal."

Perkataan pemuda itu berhasil membuat dada Allea sesak. Dunianya yang sudah hancur, semakin hancur mendengar kenyataan itu. Gagal ginjal bukan penyakit yang bisa disepelekan. Tentu membuatnya takut kehilangan orang yang disayanginya untuk kesekian kalinya.

"Gak usah khawatir, penyakit aku gak parah, kok."

Kalimat itu terdengar sangat mudah diucapkannya. Sayangnya bagaimana bisa tenang dan tidak khawatir saat orang yang berharga baginya, ternyata sakit dan ia baru mengetahuinya.

Nando menghela nafas. "Akhir-akhir ini aku lagi rajin cuci darah. Supaya cepat sembuh."

"Jadi, selama ini Kakak kemana? Kenapa nggak ada kabar?"

Pemuda itu tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Namun, selebar apapun ia tersenyum, wajahnya tak bisa menyembunyikan sakit yang dirasakannya.

"Aku ke Singapura untuk pengobatan. Kami sekeluarga ke sana karena fasilitas rumah sakitnya lebih memadai. Bunda menutup usaha kafenya agar bisa fokus dengan penyembuhanku. Karena alasan privasi, keluarga memutuskan merahasiakan kepergian kami. Maafkan aku karena ga kasih kabar sama sekali. Waktu aku ke rumah kamu pertama kali malam itu, sebenarnya pengen ngasih tahu, tapi takut kamu kepikiran. Paginya aku langsung berangkat."

Kepala gadis itu tertunduk sedih. Menyesali kejadian malam itu saat ia mengabaikan ungkapan perasaan Nando.

"Lea, jangan sedih dong!" ucap Nando saat melihat matanya berkaca-kaca. "Aku gak apa-apa!"

Gadis itu menarik nafas dalam. "Kak ... aku juga menyukainmu!"

Mata pemuda itu membulat. Rahangnya seakan jatuh, membuat mulutnya terbuka. Terkejut sekaligus tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia masih ingat beberapa saat yang lalu Allea seakan benci dan tidak mau bertemu dengannya saat ia datang ke rumahnya.

"Hahaha, jangan bercanda Allea!"

"Aku tidak sedang bercanda."

Nando masih tidak percaya. "Kamu pernah bilang risih dan nggak suka sama aku."

"Aku bohong saat itu, aku selalu senang dengan perhatian dan hal-hal kecil yang Kak Nando berikan padaku. Entah kapan aku jatuh hati padamu, tapi rasa itu semakin hari, semakin dalam."

Sejujurnya Allea belum yakin betul perasaanya, apakah cinta, sekedar suka, kagum atapun apapun itu. Yang jelas Allea yakin ia menyayanginya, entah sebagai apa.

Pemuda itu menyugar rambutnya. Menatap tepat ke manik mata gadis di sampingnya. Netra cantik dengan bola mata coklat gelap.

"Apa karena kamu kasihan sama aku, makanya kamu tiba-tiba bilang suka?"

Allea menggeleng cepat. Ia tahu pasti sulit bagi Nando percaya begitu saja setelah ia pernah menolaknya secara kasar. Ia juga tidak mau mengungkit tentang Anisa yang mengancamnya untuk menjauhinya.

"Aku ga mau hanya karena sakit, kamu jadi pura-pura suka sama aku!" tegur Nando sambil menatap ke sembarang arah.

"Aku udah suka Kak Nando dari lama, kok!"

"Jangan hibur aku dengan kebohongan, Lea."

"Apa aku terlihat seperti pembohong, Kak?"

Nando tak mau memandangnya. Ia takut jika yang dikatakan gadis itu hanya kalimat penghibur semata. Hening menyelimuti beberapa saat. Keduanya sama-sama hanyut dengan pikiran masing-masing.

"Kak!" Allea memecah keheningan diantara mereka.

Nando diam menunggu kalimat yang akan diucapkannya.

"Aku siap jadi pendonor ginjal buat Kak Nando. Itu bisa jadi bukti kalau aku serius menyukaimu."

"HAHAHA!"

Lirikan tajam Allea layangkan pada pemuda yang malah tertawa mendengar usulan seriusnya. Yang Allea tahu, orang yang punya penyakit ginjal butuh pendonor untuk dapat bertahan hidup. Makanya ia menawarkan diri.

"Kamu terlalu banyak nonton sinetron, Lea. Donor ginjal gak semudah donor darah. Banyak syaratnya. Penyakit aku juga gak parah banget, kok. Cukup rajin cuci darah, aku bisa cepat sembuh."

"Aku serius dengan ucapanku, Kak!" Allea yakin dengan keputusannya.

"Padahal aku baik-baik aja. Harus berapa kali aku bilang kalau penyakitku nggak parah?"

"Aku takut! Takut kehilangan orang penting dalam hidupku untuk kesekian kalinya."

"Kamu jadi melankolis gini. Ga kayak Allea yang biasanya pendiam dan malas ngomong," ucap Nando disertai kekehan.

Decakan kecil lolos dari bibir mungil gadis itu. Kesal melihat Nando yang malah berusaha terlihat kuat.

Pemuda itu bangkit, berdiri di depan Allea. Membuatnya mendongak sambil mengerutkan kening bingung melihatnya. Nando berlari di tempat dan sesekali melompat kecil. Kemudian mengambil posisi push up. Entah sejak kapan pemuda itu jadi random seperti itu.

"Lihat, aku kelihatan sehat, kan?" ucapnya setelah selesai push up.

Allea tersenyum miris. "Muka pucat Kak Nando menjelaskan semuanya."

Nando kembali ke tempat duduknya. Ia sedikit terengah setelah melakukan olahraga kecil-kecillan. Beberapa tetes keringat muncul di pelipisnya.

"Oh, ya, kudengar kamu datang ke rumah nyari aku?" Nando berusaha mengalihkan pembicaraan.

Pipi Allea merona malu, ketahuan nekat mencari pemuda itu sampai ke rumahnya. "Aku ke rumah kakak karena mau cari info cafe yang tutup begitu saja."

"Masa, sih? Bukan karena kamu suka sama aku, kan?"

"Ishh, tadi katanya nggak percaya aku suka sama Kakak. Sekarang malah dibercandain," gerutu Allea dengan bibir manyun.

Tawa Nando muncul melihat kekesalan Allea. Hatinya berdesir hebat melihat sisi lain gadis itu. Ia berhasil menciptakan rasa nyaman, membuat Allea bisa lepas berbicara dan mengobrol dengannya.

"Kamu tambah cantik kalau kesal kayak gini." Nando mengodanya.

Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. Pura-pura marah padanya. Sadar betul bahwa Nando berusaha mengalihkan pembicaraan tadi dan berusaha terlihat baik-baik saja.

"Semoga kakak cepat sembuh."

"Bisa nggak kita ga usah bahas itu! Kita nikmati aja waktu berdua kita dengan hal-hal menyenangkan. Entah kamu benar menyukaiku atau hanya karena kasihan, tapi aku sangat bahagia bisa bersama kamu malam ini."

Senyum lebar terbit di bibir gadis itu. "Aku juga senang bisa bersama kakak malam ini. Semoga ini bukan yang terakhir!"

Keduanya sama-sama tersenyum. Saling menguatkan satu sama lain. Entah kemana takdir akan membawa mereka, manusia hanya bisa berharap.







FEARFUL (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang