Bagaikan pengantin baru, selepas salat subuh, Ega dan Ayna sudah berjalan-jalan mengelilingi desa. Jika biasanya Ayna berkeliling sendiri atau ditemani oleh Eyang tetapi untuk pertama kalinya ia ditemani oleh suaminya.
"Kayaknya aku bakal betah di sini deh. Udaranya seger banget." Ega memandang sawah di sekelilingnya dengan tangan yang masih menggenggam erat tangan Ayna.
Ayna terkekeh tetapi ia setuju dengan Ega, kehidupan di desa sungguh bersih. Meskipun warga desa sudah banyak yang memiliki kendaraan bermotor tetapi udara di desa masih sejuk dan terasa bersih, mungkin karena sebagian dari desa ini masih berupa sawah dan kebun.
"Udara pagi emang bikin semangat. Nggak heran, sih, warga sini kalau pergi ke sawah bisa subuh-subuh karena emang bikin nggak mager," balas Ayna seraya terkekeh.
"Kamu selalu jalan-jalan pagi gini, ya?" Tatapan mata Ega beralih kepada Ayna.
"Semenjak masuk minggu ke-28 dokter udah nyaranin buat banyak jalan biar lahirannya lancar."
"Minggu ke-28 itu berarti–"
"Tujuh bulan," balas Ayna.
Ega mengangguk, "Kamu udah ngadain tujuh bulanan?"
"Udah, sederhana aja pengajian sama bagi-bagi ke panti asuhan."
Ega tersenyum tipis, "Selama ini aku kira aku yang paling menderita karena kamu tinggal tapi kayaknya kamu lebih karena harus hamil dari suami brengsek kayak aku. Aku nggak tau sebanyak apa orang yang ngomongin jelek tentang kamu tapi kamu bisa bertahan sampai sekarang, itu hebat banget. Maaf aku nggak bisa lindungi kamu saat itu."
Tepat. Perkataan Ega sangat tepat. Semenjak baby bump-nya mulai terlihat, banyak sekali tetangganya yang terang-terangan mempertanyaan ayah dari bayinya. Saat itu Ayna hanya menjawab bahwa suaminya bekerja di Jakarta tetapi semakin lama kabar aneh muncul. Mulai dari Ayna adalah simpanan pengusaha sampai dari Ayna yang hamil di luar nikah. Namun, Ayna bersyukur masih ada sahabat dan keluarnyanya terutama Eyang yang selalu memberikan kata-kata positif sehingga ia tidak terpengaruh dengan gosip-gosip tersebut.
Pernyataan Ega juga hanya sekedar menebak, ia bahkan mendengar sendiri ucapan beberapa ibu-ibu saat ia bertanya letak rumah Eyang.
Taksi online yang membawa Ega dari Stasiun Balapan Solo berhenti tepat di depan gapura desa. Sengaja meminta berhenti di sini karena ia sendiri tidak tau letak rumah Eyang Ayna. Dirga hanya memberikan alamat desa dan nama asli dari Eyang selebihnya Dirga sengaja tidak memberi tahu agar Ega berusaha sendiri mencari rumah Eyang. Beruntungnya barang yang Ega bawa tidak banyak, hanya satu ransel dan slingbag kecil untuk menyimpan ponsel dan dompetnya.
Ega tersenyum, ia benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengan Ayna. Sejak di kereta jantungnya sudah berdetak tidak karuan, rasanya hampir sama saat ia menggenggam tangan Irwan saat mengucapkan ijab qabul.
"Permisi, bu." Ibu-ibu yang sedang mengerubungi gerobak sayur langsung menoleh ke arah Ega.
"Nggih, wonten napa nggih?"¹ Seorang wanita paruh baya dengan daster coklat menanggapi ucapannga.
"Saya mau tanya rumahmya Ibu Halimah. Dimana, ya, bu?"
"Ibu Halimah kuwi sapa, tho?"² Ibu-ibu berdaster coklat tersebut bertanya kepada ibi-ibu lainnya.
"Budhe Imah?" Ibu-ibu berhijab hitam menjawab dengan sedikit ragu.
"Owalah, Budhe imah sing kae, tho? Sing putune meteng disek kae, tho?"³ Kali ini ibu-ibu dengan gelungan rambut tinggi menjawab.
Ega tergelak, ibunya sendiri orang Malang dan ia sedikit paham dengan bahasa Jawa. Jelas, ia paham apa yang diucapkan ibu dengan gelungan tinggi tersebut meskipun tidak seluruhnya. Tetapi mendengar kata 'Meteng disek' membuatnya cukup terkejut. Apa yang dimaksud ibu-ibu ini adalah Ayna?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterlove [End]
Romance[Proses Revisi] Tidak pernah terbesit di pikiran Ayna untuk menikah dalam waktu dekat. Di otaknya hanya terisi skripsi, skripsi, skripsi, dan skripsi. Namun di tengah perannya sebagai mahasiswi semester tujuh, tiba-tiba ia dilamar oleh seorang laki...