Bab 10 : Dua Bulan ☆

649 46 0
                                    

Jaka berdiri di depan rumah, nafasnya naik turun tak beraturan karena berjalan cepat tadi. Ia menoleh ke belakang, Ustad Ahmad dan para warga tak mengikutinya.

Ia mengusap wajah dengan kasar. Penyataan Abah tadi membuat perasaannya bimbang bukan kepalang. Jelas-jelas ia melihat istrinya di depan mata. Tidak mungkin apa yang dikatakan para warga tadi benar.

"Asih masih hidup! Keluargaku masih hidup," bisik Jaka sembari meyakinkan diri.

Namun mengingat kejadian tadi yang di luar nalar terjadi padanya saat mengikuti Asih ke danau membuat Jaka seketika meragukan hal itu.

Benarkah itu Asih? Atau sosok yang berusaha mencelakakannya?

Jaka bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, bajunya yang masih basah dan berlumpur membuatnya berjalan berjingkat masuk ke dalam rumah.

Jantung Jaka berdetak tak karuan. Bunyinya bertalu hingga sedikit menyesakkan dada. Ia tak melihat Asih di mana pun.

Meski menyangkal, ia juga tak menutup kemungkinan kalau selama ini tingkah istrinya memang begitu aneh. Tubuh dingin, memakan manakan yang sudah basi, raut wajah dan tingkah laku sang istri seketika membuat langkahnya terhenti saat di depan kamarnya.

Bagaimana jika yang dikatakan Ustad Ahmad dan warga benar. Kalau memang iya, bukankah selama ini ia hidup bersama ....

Ceklek!

Pintu kamar terbuka, wajah Jaka pias dan memucat. Asih berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam. Menatapnya lekat tanpa berkedip sama sekali menimbulkan rasa bersalah di hatinya.

Apa Asih tahu apa yang ia pikirkan saat ini? Bagaimana tanggapan istrinya itu? Apa Asih akan marah padanya. Jaka takut sekali. Ia ... tak ingin kehilangan Asih. Ia tak ingin Asih pergi jauh darinya sementara ia sudah memendam kerinduan cukup lama pada keluarganya.

"Maaf," ucap Jaka sembari memeluk Asih erat. Ia tak lagi peduli. Omongan Ustadz Ahmad dan para warga ia enyahkan dari kepala. "Maaf Asih, Mas melanggar janji, Mas bertemu Ustadz Ahmad tadi."

Asih tak menjawab sama sekali membuat Jaka sedikit khawatir. Ia melepas pelukannya, menatap Asih yang masih bergeming di tempat.

Pandangan wanita itu yang sedari tadi tajam menatap mata Jaka kini perlahan turun pada tubuh Jaka yang terbalut kaus basah.

"Mas dari mana?" ucap Asih pelan seketika membuat Jaka bernafas lega. Tatapan wanita itu tak setajam tadi. "Kenapa bajunya basah kuyup begini?"

Jaka memejam, ia memeluk Asih kembali. Tak peduli tadi ia hampir mati karena mengikuti wanita yang mirip dengan istrinya itu. Tak peduli tentang pernyataan Ustadz Ahmad dan para warga tentang istrinya yang telah menjadi arwah gentayangan dan diperkirakan sudah meninggal.

Jaka tak peduli, yang penting ia masih bisa melihat istrinya di depan mata sekarang dan tidak ada perkataan yang bisa membuktikan kalau istrinya bukanlah manusia. Jaka yakin, istrinya yang berada di depannya ini masih hidup. Masih bernafas sama sepertinya.

Mungkin, orang-orang itu yang terlalu curiga. Lagipula wanita yang ia cintai ini tak mungkin akan mencelakakannya.

"Mas akan selalu percaya Asih, Mas yakin Asih gak akan kecewakan Mas."

***

Wangi masakan menguar masuk ke indra penciuman Jaka. Ia keluar dari kamar mandi sembari membaui aroma tersebut.

Dilihatnya Asih tengah sibuk mondar-mandir di dapur. Tampak beberapa makanan terhidang di meja makan.

"Wah! Ini enak sekali Asih. Kebetulan Mas lagi lapar," ucapnya seraya duduk di meja makan.

"Makanlah Mas! Asih siapkan ini memang khusus untuk Mas," tukas Asih meletakkan satu piring berisi perkedel kentang.

Jaka tersenyum dan mulai menyendok nasi. Asih di hadapan memasukkan beberapa perkedel ke piringnya. Jaka memasukkan suapan demi suapan itu ke dalam mulut.

Masakan Asih memang selalu enak. Sedari dulu Asih memang pandai memasak. Hal kedua yang membuat Jaka jatuh cinta pada istrinya itu karena Asih pandai memasak selain wajah cantiknya.

"Oh, iya, besok Mak pulang, kan?" tanyanya dengan mulut penuh. Asih yang sedari tadi menatapnya mulai mengalihkan pandangan. Wanita itu bangkit dan mengambil gelas dalam tatakan piring. Tak menjawab pertanyaannya.

"Asih?"

"Iya, Mas."

"Ya sudah kalau begitu. Yusuf ada di mana? Apa dia masih tidur? Anak itu tak pernah bangun saat Mas berusaha untuk menggendong atau mengajaknya bermain, Dik. Kenapa, ya? Apa karena aku asing di matanya?"

"Yusuf baru dua bulan Mas, wajar kalau tidur terus."

Suapan Jaka terhenti, tangan yang memegang sendok itu melayang di udara mendengar perkataan Asih. Dahinya berkerut dengan mata memicing sembari benaknya berpikir.

Ia ... sudah satu tahun merantau. Meninggalkan Asih saat wanita itu hamil lima bulan. Bukankah seharusnya Yusuf sudah berusia ... delapan bulan? Atau ia yang salah mengira?

"Kenapa Mas?" tanya Asih saat berbalik Jaka tengah termenung menatap dinding papan di depannya.

"Oh, enggak, gak apa-apa," ujarnya mencoba bersikap biasa sembari terus berpikir. Menyuap makanan itu kembali ke dalam mulutnya.

Dua bulan, ya?

Ia terus memikirkan hal itu sembari menatap punggung Asih dari belakang. Pikiran jelek mulai menggelayuti kepalanya. Ditatap Asih yang tampak berdiri begitu saja di tempat pencucian piring sembari duduk.

Jaka hanya melihat wanita itu membilas gelas beberapa kali tanpa beranjak sedikitpun. Membuatnya menjadi tambah curiga.

Dua bulan usia Yusuf saat ini. Itu pengakuan Asih. Lantas saat melihat tubuh Yusuf yang memang seperti bayi berusia dua bulan membuatnya sedikit bingung.

Jaka selesai makan dan meletakkan piringnya mendekat pada Asih, wanita itu menoleh ke arahnya sembari tersrnyum.

"Biar Asihh saja yang cuci Mas," ucapnya membuat Jaka mengangguk. Ia beranjak meninggalkan Asih yang lagi-lagi membilas piring dan gelas itu berkali-kali di ember berisi air.

Jaka beranjak menuju kamarnya. Tempat di mana Yusuf berada. Dilihatnya sang putra sedang berada dalam ayunan dan tidur dengan pulas.

Benar saja, sejak ia pulang ia belum pernah bermain dengan anaknya itu barang sekalipun. Yusuf selalu tidur, tidur yang tampak tak wajar memang menurutnya, karena jarang sekali Yusuf bergerak dalam tidurnya persis seperti anak bayi biasa.

Ia mendekat, menyentuh pipi bayi itu yang masih terasa dingin. Hal itu membuat gejolak aneh di dadanya. Matanya memicing saat melihat lebam kebiruan di wajah Yusuf.

Ia mengambil sang anak, dan mencoba menggendongnya. Tubuh itu terlalu kaku dan banyak memar kebiruan di tubuh Yusuf terutama pada bagian lehernya.

"Apa ini?" ucap Jaka bingung. Pandangannya mengarah pada Yusuf yang tetap diam dan tak bergerak di gendongan.

"Yusuf, Nak!" panggilnya pelan seraya menepuk pipi mungil itu perlahan.

"Yusuf, sayang, bangun!" panggilnya lagi kini dalam keadaan cemas. Yusuf tak juga bergerak apalagi menggeliat.

Cepat ia pergi keluar dari kamar sembari menggendong Yusuf di tangan.

"Asih! Asih! Yusuf sama sekali tidak bergerak!"

Tingkah Aneh Istriku ~ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang