Jaka menatap tasbih itu sembari masuk ke dalam rumah. Tak mengerti kenapa Ustadz Ahmad memberikan benda itu padanya. Namun sebelum pergi Tono dan Udin berpesan untuk selalu menaruh benda itu di kantongnya.
Jaka bingung, namun ia menurut. Memang sudah beberapa hari ia tak keluar dari rumah bahkan untuk sekedar ke warung. Sengaja ia lakukan demi menghindari para warga dan Ustadz Ahmad pasca insiden di danau beberapa hari lalu.
Ia tiba-tiba saja tak menyukai Ustadz Ahmad karena perkataannya, Jaka menilai perkataan Ustadz Ahmad sudah keterlaluan karena secara tidak langsung mengatakan bahwa istrinya sudah meninggal walau sampai sekarang ia memang banyak memiliki keraguan tentang istrinya itu.
Jaka memilih abai, namun mengantongi tasbih itu di balik celana panjangnya. Lantas ia berjalan menuju dapur tempat Asih berada. Sejak tadi ia mendengar suara ribut dari sana.
"Asih sedang apa?"
Jaka mengamati, dapur kini penuh dengan makanan. Bermacam-macam bentuknya dan menggugah selera. Jaka berbinar, ia duduk di salah satu kursi dan mulai menyendok nasi.
"Asih masak untuk, Mas. Pasti belum makan, kan? Asih mau ke kamar dahulu."
Jaka mengangguk, perutnya yang keronvongan tak lagi mengindahkan terlalu cepatnya Asih memask makanan berbagai macam ini.
Ia mulai akan menyantap, satu suap besar nasi. Namun, tiba-tiba tasbih yang berada di kantungnya terjatuh ke lantai. Jaka mengurungkan niat, ia mengambil tasbih tersebut, menatapnya kemudian.
Ah, ia sejenak lupa membaca bismillah kala akan makan tadi. Jaka mulai berdoa dan mengantungi tasbih itu lagi.
"Astaghfirullahal'adzim!" tukasnya kaget. Ia terpaku, saat menatap semua makanan dan nasi yang akan disendoknya tadi mulai berubah. Jaka tersentak, bangkit dari kursi.
"A--apa-apaan ini?" ucap Jaka sembari berdiri dari duduk. Nasi-nasi itu berubah menjadi belatung yang berloncatan di atas piring, lauk pauk yang menyelerakan tadi juga telah berubah menjadi daun-daun kering dan bintang menjijikan.
Jaka menutup mulut, menahan gejolak rasa mual yang terasa di tenggorokan. Ia memegangi dadanya yang sesak. Benaknya berpikir cepat tentang apa yang terjadi barusan. Kenapa sesaat setelah ia membaca doa makanan-makanan itu telah berubah menjadi hal yang menjijikkan.
Jaka terbelalak, ini sudah tidak benar. Berarti selama ini yang ia makan ....
Tapi selama ini ia selalu membaca doa. Baru kali ini, sejak tasbih Ustadz Ahmad ada padanya ia melihat hal-hal yang tak dilihatnya selama ini.
Berarti ... yang dikatakan Ustadz Ahmad selama ini adalah benar?
"Kenapa tidak dimakan makanannya, Mas?"
Jaka terlonjak, sontak berbalik, menatap Asih yang tengah menimang tubuh Yusuf. Wajah wanita itu tampak marah menatap Jaka yang tak menyentuh makanan yang ia masak sama sekali.
"Asih ...," panggil Jaka sembari melangkah mundur. Asih perlahan mendekat ke arahnya. Jaka terbelalak saat beberapa teteh darah merembes keluar dari dada wanita itu.
"Kenapa Mas gak makan makanan yang Asih masak?"
Jaka terpaku, ia menatap Yusuf yang perlahan mulai membiru. Dan wujud Asih yang kini tampak menyeramkan di matanya. Tidak seperti Asih yang ia lihat beberapa menit lalu.
"Asih, apa yang terjadi padamu, Yusuf anak kita .... " Jaka berucap pelan sembari berjalan mundur melihat Asih mulai mendekat padanya. Punggungnya menabrak tembok, Jaka tak punya tempat berlari lagi.
Ia menoleh ke samping dan melihat pintu keluar dari halaman belakang. Jaka mengerjap, menatap Asih yang semakin dekat padanya. Sadarlah ja bahwa selama ini ia memang tidak tinggal bersama Asih yang berwujud manusia.
Mengingat kenyataan itu membuat Jaka meringis, dengan air menggenang di pelupuk mata. Kalau yang di depannya adalah arwah Asih, ke mana Asih nya yang asli? Asih nya tidak mungkin sudah meninggal.
"Asib sudah katakan jangan pernah bertemu dengan Ustadz Ahmad, kenapa Mas tidak mau dengar?"
"A--asih, apa yang terjadi sebenarnya?"
"Ini semua gara-gara Mas tidak kunjung pulang ke rumah!" Asih menjerit. " Membuat Yusuf dan Mak juga mengalami hal ini. Maka Mas harus ikut Asih juga sekarang!" Asih berteriak menggelegar. Suara kilat menyambar, hujan deras menguyur di luar sana.
Jaka mengumpulkan keberanian. Ia memegang tasbih dalam kantungnya saat Asih mendekat. Lantas berlari keluar dari pintu belakang, berlari diantara derasnya air hujan dan angin kencang. Tak terasa kakinya yang tanpa alas menginjak ranting tajam dan duri-duri dedaunan. Namun Jaka tak memperdulikan hal itu.
Di belakang sana Asih tak mengejar, menatapnya tajam di balik pintu dengan wajah semakin mengerikan.
"Allah! Allah! Apa yang sebenarnya terjadi?" bisik Jaka sembari menangis lirih sesaat setelah ia menoleh ke depan dilihatnya Asih ada di hadapannya.
Brukk!
Jaka jatuh terduduk, tasbih di tangannya terlepas. Asih kian mendekat ke arahnya. Jaka perlahan mundur saat menatap wajah Asih yang berlumuran darah.
"Mas harus ikut Asih!" bisik wanita itu pelan padanya.
"Asih .... " Jaka menggeleng, air matanya mengalir
"Asih kesepian, Asih butuh Mas supaya kita bisa sama-sama!"
Jaka mengerjap, air matanya kian mengalir deras.
"Bukankah ini yang Mas mau. Terus bersama Asih, Yusuf dan Mak. Maka ayo ikut dengan Asih sekarang!"
Jaka menggeleng, namun manik matanya yang menatap lekat mata Asih dengan tatapan terluka membuatnya tak tega. Ia memang mencintai istrinya, sangat. Ia tak bisa pisah dari istrinya itu.
"Mas, cinta sama Asih?"
Jaka mengerjap, ia mengangguk.
"Kalau begitu Mas harus ikut dengan Asih suapaya kita tetap sama-sama kembali!" Tangan Asih terulur tepat di hadapan Jaka. "Mas harus ikut Asih, sekarang!"
Jaka hilang akal, tangannya tanpa sadar terulur memegang tangan Asih yang sedingin es. Seringai wanita itu tampak saat kilat menyinari hutan belakang tempat mereka berada.
Jaka memejam, rasa pusing itu kian menjalar. Samar-samar wajah Asih yang berada di hadapannya mulai memudar, berganti dengan gambaran suatu tempat yang tak asing di matanya.
"Asih .... "
****
Ctarr!
"Astaghfirullahal'adzim," ucap Ustadz Ahmad lirih dibarengi para warga lainnya.
Shalat maghrib akan dilaksanakan dan hujan turun dengan deras membuat para warga yang baru sampai ke surau datang dengan menggunakan payung dan baju yang sedikit basah terkena air hujan.
Sedari tadi sembari melafazkan dzikir, Ustadz Ahmad terus melihat ke jalanan menunggu kedatangan seseorang. Sampai dilihatnya Udin dan Tono datang ke surau, Ustadz Ahmad tak lagi bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
"Bagaimana Jaka, mau dia ikut ke surau?" tanya Ustadz Ahmad begitu Tono duduk di sisinya.
"Jakanya tidak mau ikut, Pak Ustad. Shalat dirumah saja katanya."
"Lalu tasbihnya?"
"Sudah diberikan Ustadz."
Ustadz Ahmad bernafas lega, namun hal itu membuat Tono dan Udin bingung.
"Ustadz Ahmad kalau boleh tahu, tasbih itu buat apa ya?"
"Hanya buat jaga-jaga saja. Setidaknya agar Jaka tetap mengingat Allah dan tak terjerumus." Ustadz Ahmad berucap tenang. Namun tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Tak dipungkiri perasaanya kian tak enak bersamaan dengan langit yang terus bergemuruh. Adzan maghrib mulai berkumandang. Ustadz Ahmad semakin risau tentang keadaan murid ngajinya dulu itu.
Semoga dalam keadaan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingkah Aneh Istriku ~ END
HororJaka yang baru pulang merantau merasakan ada yang aneh dengan tingkah istrinya. Begitu pendiam dan jarang tersenyum seperti Asih yang dulu. Bahkan tak jarang berperilaku tak lazim. Begitupula dengan perlakuan para warga padanya. Temannya, Gito juga...