Bab 9 : Kebenaran Yang Ditolak ☆

655 45 0
                                    

Ustadz Ahmad dan Udin menurunkan Jaka di sebuah batu dekat halaman belakang rumahnya yang mengarah ke hutan tadi. Bersama Tono dan para warga lain mereka mulai berkerumun untuk mendengar penjelasan Jaka.

Bagaimana laki-laki itu saat dengan sadar bisa masuk ke dalam danau. Kalau Tono tak melihat tadi, entah apa yang akan terjadi pada laki-laki itu.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi padamu Jaka? Kenapa menceburkan diri sendiri ke dalam danau?" tanya Ustadz Ahmad.

"Saya ...." Jaka menatap Ustadz Ahmad dan beberapa orang yang mengerubunginya. "Saya tadi diberitahu Asih kalau anak kami masuk ke dalam hutan Abah. Makanya tanpa berpikir panjang saya berlari dan menyusul anak saya ke sana bersama dengan Asih."

"Anak?" ulang Tono dengan mata memicing. "Kenapa anak kamu bisa sampai ke hutan? Apa yang dilakukannya di sana?"

"Itu ... saya juga tidak tahu, Bang. Saya panik dan langsung berlari saja tadi. Saya baru sadar saat sudah setengah perjalanan. Saat memikirkan Asih menyusul saya dan meninggalkan anak kami di tengah hutan. Itu ... agak janggal membuat saya berpikir makanya saya berhenti ditambah suara teriakan bang Tono yang menyadarkan saya. Tahu-tahu sudah berada di tengah danau."

"Loh, jadi kamu gak tahu kalau kamu lari ke danau?"

"Semua yang saya lihat tadi adalah pepohonan, Bang."

Udin dan Tono saling berpandangan. Para warga yang berkerumun juga berbisik-bisik mengetahui kejadian aneh yang menimpa Jaka.

Mereka mulai bercerita, menebak-nebak, mengaitkan kejadian ini dengan ... Asih.

Ustad Ahmad juga terdiam sesaat. Pandangannya bertemu dengan para warga yang tampak ketakutan. Ia kemudian menatap Jaka yang sepertinya masih bingung dengan apa yang terjadi.

Sudah melibatkan nyawa, seharusnya tadi malam ia datang ke rumah Jaka setelah mendengar teriakan itu. Bagaimana jika Tono dan Udin tak melihat lelaki ini masuk ke hutan, entah apa yang akan terjadi padanya.

"Penting untuk mengetahui dengan siapa kamu bicara sebelum bertindak, Jaka." Ustadz Ahmad angkat bicara. Semua orang diam saat menatapnya.

"Maksud Abah bagaimana?"

Ustad Ahmad menghela nafas, ia melirik para warga sekalu lagi. Seolah mengerti apa yang ada dalam hati masing-masing. Para warga kompak mengangguk pada Ustadz Ahmad.

"Ada yang harus Abah sampaikan padamu. Ini tentang istri, anak dan Ibu kamu, Jaka."

Jaka terdiam, menatap Ustad Ahmad lekat.

"Memangnya ada apa dengan keluarga saya Abah?" tanyanya dengan suara pelan. Hawa di sekitar mereka tampak berbeda. Jaka merasa ada sesuatu yang disembunyikan para warga yang ia tak tahu.

"Abah!" panggilnya kembali karena Ustadz Ahmad tak kunjung bicara.

Lelaki berusia hampir kepala lima itu menghela nafas dengan berat. Ia menggenggam tangan Jaka seolah menguatkan.

"Istri, anak dan Ibumu menghilang telah menghilang !"

Jaka mengerjap, setelahnya ia tertawa hambar. "Apa maksud perkataan Abah? Asih dan anakku ada di rumah, Abah. Mak Ida juga tidak menghilang, ia sedang pergi ke desa tetangga. Abah jangan bicara aneh-aneh!"

"Lima bulan lalu, Gito mengabarkan kalau kamu sudah meninggal pada para warga kampung termasuk pada keluargamu."

Jaka terkesiap. "Gito? Kenapa dia memberikan kabar seperti itu Abah? Jaka masih sehat di perantauan. Memang sudah lama tak berkabar padanya karena ponsel Jaka hilang. Jaka tidak bisa menghubunginya maupun Asih. Apakah karena itu dia menganggap kalau Jaka sudah tiada?"

"Abah juga tidak tahu kenapa Gito mengabarkan hal itu. Tapi setelahnya para warga percaya. Gito adalah sahabatmu, orang yang kamu percayai untuk mengabarkan hal-hal berkaitan tentang dirimu pada keluargamu, untuk itu semua orang percaya termasuk keluargamu, Jaka."

"Tapi, kalau memang karena itu Gito harusnya mencari tahu lebih dahulu daripada menyebarkan kabar burung seperti itu Abah. Kenapa dia berbuat demikian?"

Ustadz Ahmad menggeleng. Para warga juga terdiam mendengar perkataan Jaka.

"Asih sempat histeris, dia bilang akan mencarimu di kota tapi Gito melarangnya pergi," ucap Udin yang memang saat itu mengetahui apa yang telah terjadi termasuk terpukulnya Asih.

"Gito bilang kamu dikuburkan di tempat yang jauh. Apalagi kondisi istrimu yang punya anak bayi membuatnya tidak boleh pergi jauh." Tono menambahi semakin menambah lemas Jaka. Berdirinya sudah tidak benar. Tak habis pikir kenapa Gito melakukan hal itu?

"Untuk itu para warga ketakutan saat melihatku pulang kampung dan Mak Ita mengatakan aku sudah meninggal saat di warung Abah," bisik Jaka membenarkan semua hal yang terjadi padanya beberapa hari terakhir ini.

"Lalu dua bulan setelah Gito mengabarkan kalau kau telah meninggal dunia. Istri, anak serta Mak mu menghilang."

"Menghilang? Ke mana Abah?"

"Tidak ada yang tahu, tidak ada yang sadar. Karena beberapa hari Asih dan keluargamu tak keluar dari rumah kami memutuskan untuk datang. Rumahmu terkunci dan tidak ada tanda-tanda orang di dalam sana. Kami pikir Asih dan Makmu begitu terpukul atas kepergianmu hingga pergi dari Desa. Mereka pergi tanpa kabar, tanpa pamit pada warga dan kami pikir itu hal yang wajar."

"Tapi sekarang istri Jaka sudah di rumah Abah, sejak kapan ia pulang? Apa ia tahu kalau Jaka akan pulang dan masih hidup makanya dia kembali?"

"Istri kamu gak pernah balik ke Desa Jaka. Bahkan setelah kamu pulang, kami baru tahu kalau Asih ada di rumahmu tapi ...."

"Kamu harus tahu setelah hilangnya Asih dan Makmu, ada teror yang menghantui warga Desa."

"Teror? Apa maksud Bang Udin?"

"Terkadang di malam hari selepas maghrib, Asih dan Makmu datang sembari menimang bayimu mengetuk pintu rumah kami. Tapi .... "

"Apa Bang?"

"Mereka datang dengan berlumuran darah dan berwajah mengerikan. Kadang Asih bersenandung dengan lagu yang membuat merinding sekujur tubuh. Tak ada yang berani keluar pada malam hari karena hal itu. Sampai kau datang hari ini dan mengaku kalau Asih ada di rumah dan kami datang berduyun ke rumahmu," jelas Tono.

"Kami tak melihat Asih ada di sampingmu Jaka. Kau berbicara seorang diri." Udin menambahi ia memeluk dirinya sendiri karena ketakutan.

"J--jadi maksud Bang Tono dan Bang Udin Jaka berhalusinasi. Asih tidak nyata? Itu gak mungkin. Asih masih ada, Asih masih hidup, Bang."

"Abah gak tahu apa yang terjadi pada keluargamu Jaka. Tapi yang merela katakan adalah kebenaran."

"Secara tidak langsung Abah dan para warga lain mengatakan kalau keluarga saya sudah meninggal? Karena mereka bergentayangan?"

"Jaka .... "

"Sampai kapanpun saya tidak akan percaya! Asih, anak saya dan Mak masih hidup! Tidak akan ada yang mengubah kepercayaan saya baik Ustad Ahmad sekalipun!"

Jaka berbalik, berlari meninggalkan Ustad Ahmad dan para warga lain. Beberapa kali mereka memanggil namun Jaka sama sekali tak menggubris hal itu.

"Bagaimana Pak Ustadz?"

Ustadz Ahmad menghela nafas. Ia hanya bisa menggeleng sembari menatap punggung Jaka yang semakin menjauh.

Tingkah Aneh Istriku ~ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang