Hanya Ustadz Ahmad yang tersisa dari beberapa warga yang berkerumun. Semuanya bubar secara sukarela dan tak lagi ingin tahu.
Pandangan Ustadz Ahmad tertuju pada wanita di samping Jaka yang sedang menatap tajam ke arahnya. Tatapan itu sama sekali tidak beralih. Bahkan saat ustadz Ahmad mendekat pada Jaka.
“Jangan tinggalkan shalat, ya, Jak! Jangan lupa mengaji juga. Tidak ada siapapun yang bisa menolongmu kecuali Allah.“
Dahi Jaka berkerut saat Ustadz Ahmad menyampaikan hal itu. Namun, tak urung ia juga mengangguk.
“Iya, Abah.“
“Abah pulang dulu. Besok datanglah ke rumah Abah, ada yang ingin Abah sampaikan.“
Jaka mengangguk, begitu Abah mengucap salam dan pergi dari rumahnya, Asih yang sedari tadi berdiri di sampingnya kini berjalan dengan langkah menghentak dan membanting pintu rumah. Jaka kemudian menyusulnya.
“Kenapa Mas keluar dari rumah?“
“Mas beli beras dan mie instan buat makan kita.“
“Asih tak suka dengan Ustadz Ahmad. Jangan menemui dia lagi.“
“Loh, kenapa? Dia guru ngaji kita dulu, toh. Kenapa gak ingin bertemu?“
“Pokoknya Asih gak mau, Mas! Besok jangan pergi ke rumahnya. Mas di sini saja bersama Asih dan anak kita.“
“Gak bisa Asih, Mas gak enak kalau tidak datang.“
“Kalau begitu terserah, Mas mau pilih Ustadz Ahmad atau Asih? Asih juga sudah terbiasa kok ditinggalkan.“
“Asih….“
“Kalau Mas nekat, Mas gak akan jumpa Asih lagi. Sampai kapanpun.“
Jaka menautkan dua alis, menatap punggung Asih yang beranjak masuk ke dalam rumah. Apa maksud istrinya dengan tidak bertemu lagi?
"Asih!" panggil Jaka sembari menahan tangan sang istri, dingin menyelimuti membuat Jaka sedikit tersentak. Ia melepaskan segera cengkraman tangannya. Asih berbalik, menatapnya tajam.
"Apa, Mas?"
"Kenapa kamu begini? Mereka cuma penasaran, juga Ustadz Ahmad. Kamu tahu, apa yang mereka bicarakan saat Mas ke warung tadi? Mereka berpikir Mas sudah meninggal, Asih. Mas gak tahu kenapa warga bisa berpikir demikian, padahal Mas masih hidup. Gito yang mengabarkan kalau .... "
Perkataan Jaka terhenti, Asih tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Asih terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng.
"Asih, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?"
"Jangan sebut namamya!"
"Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Jaka bingung, ia berusaha menatap Asih tapi wanita itu terus menghindarinya.
Drrt ... drttt ....
Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Jaka, suasana redup dan kian mencekam membuatmya seketika membeku di tempat. Sementara Asih masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu.
Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget.
Mata melotot Asih membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Jaka mengerti.
"Asih," panggilnya pelan sembari mundur satu langkah ke belakang. Entah kenapa wajah sang istri sekarang membuatnya ketakutan. Apalagi gumaman itu kian keras terdengar.
"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
Jaka mengerjap, tak tahu apa yang terjadi saat ini, tapi Asih istrinya seperti bertindak layaknya orang lain. Orang yang tak ia kenal sama sekali.
"Asih," pangil Jaka kembali sembari melangkah mundur kembali saat perlahan ia memperhatikan gerak-gerik Asih yang mulai bergerak bangkit.
"Arrrhhhhhgggg ...!" Asih berlari ke arahnya berteriak melengking memekakkan telinga, membuat Jaka jatuh terjerembab di lantai.
***
Burung-burung malam bertebrangan di sekitar rumah Asih, para warga dan Ustadz Ahmad yang sedang dalam perjalanan pulang seketika berhenti melangkah.
Semuanya berbalik, menatap asal suara itu berasal. Dari rumah Jaka yang tadi mereka datangi. Teriakan melengking yang menyayat hati mampu membuat perasaan para warga tidak enak seketika. Semuanya saling pandang dengan wajah ketakutan.
"Apa itu?" tanya salah satu warga pada warga yang lain.
"Entahlah, yang pasti itu dari rumah Jaka," balas warga yang ditanya dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya gemetar menatap sang teman sembari berbalik. "Ayo kita pulang saja!"
"Bagiamana keadaan Jaka, bukankah dia tak baik-baik saja?"
"Daripada memikirkan itu lebih baik kau memikirkan dirimu sendiri. Ini teror, sejak kejadian itu, memang saat maghrib tiba sebaiknya kita berada di rumah saja. Bukankah suatu kesialan kita ikut datang ke rumah Jaka hari ini."
"Mak Sri, kau dengar?"
"Teruslah jalan Mbak Yu, barangkali dia marah dan sekarang mengikuti kita!"
Dua wanita paruh baya itu berjalan cepat, hampir terjatuh beberapa kali saking ketakutannya.
Jeritan melengking Asih dari rumah Jaka itu membuat ketakutan sendiri bagi para warga. Setelah mendengarnya semua bersembunyi, tak ada yang berani keluar dari rumah satupun, bahkan sekedar mengintip dari balik jendela sekalipun.
"Abah!" Ustadz Ahmad menoleh, mendengar teriakan itu ia sudah sampai di depan rumahnya. Langkahnya terhenti sembari menelisik, Gayatri sang putri mendekat ke arahnya.
"Itu suara apa, Abah? Kenapa terdengar nyaring dan menyayat hati? Tri sangat pilu mendengarnya juga merinding bersamaan."
Ustad Ahmad menatap putrinya sekilas, lalu mengalihkan pandangan pada jalanan yang ia lewati menuju rumah Jaka tadi. Sesosok wanita di balik pohon dengan mata tajam menatap Ustadz Ahmad seolah memberi peringatan. Tangannya menimang sesuatu yang dibungkus kain jarik.
Ustad Ahmad menghela nafas, mengucap istighfar dan lafaz-lafaz Allah kemudian. Gayatri yang sedari tadi memperhatikan, menatap lurus pada apa yang dilihat Ustadz Ahmad, namun tak ada apapun di sana.
"Abah," panggilnya lagi berusaha menyadarkan sang Abah yang sedari tadi bertingkah cukup aneh. Apalagi jeritan melengking yang ia dengar tadi cukup membuatnya merinding hingga berniat untuk menutup warungnya saja.
"Astaghfirullah," bisik Ustad Ahmad sembari mengusap wajah. Sosok wanita yang sedang menimang anak yang ia lihat sudah tak ada di tempat. Pikirannya melayang pada Jaka, ingin sekali datang ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Namun, Ahmad merasa ini bukan saat yang tepat.
Kedatangannya ke rumah Jaka berduyun-duyun dengan para warga tadi telah membuat sang pemilik rumah marah dan kini memberi peringatan.
"Abah suara apa sebenarnya tadi?" tanya Gayatri membuyarkan lamunan Ustadz Ahmad, lelaki paruh baya dengan kopiah hitam di kepala itu menoleh, menatap sang putri sembari mengelus kepalanya.
"Tak ada apa-apa, mungkin binatang liar atau sesuatu tengah terjadi di sana."
"Di sana? Di sana mana maksud Abah? Bukankah teriakan itu cukup mengkhawatirkan? Apa tak sebaiknya kita lihat?"
"Untuk saat ini jangan Tri, Abah tak tahu apa yang akan terjadi jika kita nekat datang ke sana. Sekarang tutup saja warungnya, kita masuk ke dalam rumah."
Gayatri mengangguk, segera menutup warung dengan tergesa dibantu Ustadz Ahmad.
"Abah, memangnya suara teriakan itu dari mana berasal?"
"Rumah Jaka."
Gayatri terkesiap, gerakannya menutup pintu mulai terhenti. Teringat ribut-ribut setelah maghrib di warungnya tadi entah kenapa membuat perasaaannya tak enak sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingkah Aneh Istriku ~ END
HorreurJaka yang baru pulang merantau merasakan ada yang aneh dengan tingkah istrinya. Begitu pendiam dan jarang tersenyum seperti Asih yang dulu. Bahkan tak jarang berperilaku tak lazim. Begitupula dengan perlakuan para warga padanya. Temannya, Gito juga...