Ia bangkit, berjalan keluar. Kini mengintip lagi dari celah-celah pintu. Ruang tengah masih sama, terang dengan lampu menyala dan tak ada apapun di sana.
Jaka membuka lebar pintu itu. Menatap sekeliling, matanya menelisik ke seluruh sudut ruangan.
"Asih." panggilnya dengan suara pelan. Tak ada sahutan.
Kresek... kresek....
Jaka menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur.
Matanya tertuju pada Asih yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Jaka.
"Asih," panggil Jaka pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Jaka mendekat dan menyentuh pundaknya.
Asih menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Jaka. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Asih berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Jaka mual seketika.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Asih. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya.
Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Jaka membuangnya tepat di tong sampah sudut dapur setelah memasukkannya ke kantung plastik.
"Kenapa kamu makan ini, Dik? Ini sudah basi gak bisa dimakan!" Jaka merebut kantung plastik dari tangan Asih. Mengikatnya kemudian.
"Itu masih enak, Mas. Kembaliin!" tangan Asih terulur hendak merebut. Namun dengan cekatan Jaka menjauhkan kantung plastik itu.
"Kamu bisa sakit perut nanti. Sekarang muntahkan apa yang ada di mulut kamu."
Asih menggeleng, malah wanita itu mengunyah makanan dalam mulutnya dan menelannya.
Jaka meringis, merasa mual. Mencium baunya saja ia tak lagi selera apalagi memakannya. Bagaimana Asih bisa....
"Biasanya Asih juga makan makanan itu sama Mak Ida dan gak terjadi apa-apa, Mas. Sekarang balikin soalnya Asih masih lapar."
"Enggak! Kamu ini aneh sekali. Mas, kan, sudah bilang ini makanan basi bahkan sudah berjamur. Sekarang kamu ke kamar mandi bersihkan mulutmu, Asih. Biar Mas masakin makanan baru."
Asih tak menghiraukan perkataan Jaka. Wanita itu bangkit berdiri begitu saja dan melangkah keluar dari dapur. Tanpa membersihkan mulutnya. Entah apa yang dirasa wanita itu akan makanan ini.
Salah Jaka sendiri sebenarnya kenapa tak langsung membuang keluar rumah malam kemarin. Tapi... bukankah baunya juga sangat menyengat, seharusnya Asih sadar.
Ia menggeleng, membuka pintu belakang dan mencampakkan kantung plastik itu keluar halaman belakang tempat tumpukan sampah di sana berada.
Sejenak ia memperhatikam halaman yang sangat kotor itu. Banyak dedaunan kering juga sampah bertebaran di sana sini. Sedikit bau busuk kembali menyeruak indra penciuman.
Pagi sudah menjelang ternyata. Saat ia melihat cahaya kekuningan mulai muncul dari arah timur. Kali ini Jaka yakin kalau ini bukan mimpi.
Ia menutup pintu tersebut. Membersihkan segala hal yang kotor termasuk piring-piring bekas makanan basi kemarin.
Kemudian menanak nasi untuk makannya bersama Asih nanti.***
Jaka selesai memasak mie instan dan juga telur. Karena selain itu ia tak pandai hal lain. Ia memanggil Asih, menghidangkannya tepat di hadapan wanita itu saat mie masih mengepulkan asap.
"Makan Asih! Cuma ini yang Mas bisa masak. Tapi setidaknya ini lebih layak dari makanan basi yang kamu makan tadi," ucap Jaka sembari tersenyum.
Kemudian Ia mengambil gelas untuk menuang air minum. Saat berbalik menghadap meja makan. Jaka mulai tertegun.
Asih memakan mie buatannya dengan lahap. Seharusnya Jaka senang, tapi ... mie itu baru matang dan masih sangat panas. Apalagi Asih makan menggunakan tangan. Dan wanita itu terlihat biasa saja.
Bahkan setelah mie di piringnya habis, Asih mengambil mie di piring Jaka dan mulai melahapnya juga.
"Asih lapar?" tanya Jaka dengan heran. Meletakkan segelas air di hadapan Asih. Wanita itu menenggaknya hingga habis. "Mau Mas, masakin lagi?" sambungnya.
"Gak usah, Mas."
"Beneran?" tanya Jaka ragu.
"Iya."
"Oh ya sudah kalau begitu," ucap Jaka masih dengan tatapan bingung. Mie untuknya sudah di makan oleh Asih. Maka dia berniat untuk memasak mie lagi.
"Mas gak keluar dari rumah, kan, nanti? Gak pergi ke rumah Ustadz Ahmad, kan?"
Sejenak Jaka menghentikan kegiatannya. Menatap Asih yang juga sedang menatapnya.
"Memangnya kenapa? Dari kemarin kenapa ngotot sekali menyuruh Mas agar jangan bertemu dengan Abah? Dia, kan, guru ngaji kamu juga dulu."
"Mas! Asih sudah bilang dari kemarin, kan? Mas gak ingat."
"Iya, ingat," ucap Jaka sembari menoleh. "Tapi Mas butuh alasan."
"Pokonya jangan bertemu dengan ustadz Ahmad. Kalau Mas masih mau bertemu Asih," ucap istrinya keukeuh meninggalkan Jaka. Mata laki-laki itu menatap kosong pada air yang telah mendidih.
Segitu ngototnya Asih melarang. Sebenarnya kenapa?
***
Selesai makan, Jaka hanya pergi ke halaman tebu di samping rumah guna bersih-bersih. Menuruti perkataan wanita itu daripada merajuk.
Satu dua warga yang Jaka kenali melewati rumahnya. Mereka Bang Tono dan Bang Udin. Dua laki-laki yang usianya tak terlalu terpaut jauh dengan Jaka. Namun saat ia menoleh untuk menyapa, kedua orang itu lari terbirit-birit melewatinya.
Jaka menggeleng, tak habis pikir. Belum hilang rasa penasarannya karena Asih yang terus bertingkah aneh. Kini para warga Desa juga berlaku aneh padanya.
Jaka berkacak pinggang, menatap beberapa batang pohon singkong yang tergeletak di pinggir ladang tebu. Teringatnya di halaman belakang rumahnya cukup luas. Mungkin ia bisa menanam beberapa batang ubi di sana. Lumayan daunnya bisa disayur.
Ia memotong batang ubi itu menjadi beberapa bagian. Lalu membawanya ke belakang rumah melalui halaman samping.
Jaka mengambil cangkul yang ada tepat di sudut halaman belakang. Sejenak matanya memicing saat melihat bercak kecoklatan yang menempel di cangkul tersebut.
Mengabaikan hal itu, Jaka mulai menggemburkan tanah itu bagian demi bagian. Menanam beberapa batang pohon singkong di sana sampai matanya menangkap sesuatu yang agak aneh.
Sebuah potongan kain lusuh ada di dalam tanah yang ia cangkuli tersebut. Jaka mengambil kain dengan motif yang ia ingat betul bentuknya. Kain itu adalah potongan dari salah satu baju Asih yang ia berikan pada ulang tahun wanita itu yang kedua puluh lima. Tepat satu tahun pernikahan mereka.
Baju kesayangan yang selalu Asih pakai. Bahkan sangat menjaga baju itu agar tidak rusak. Mustahil melihat potongan kain ini ada diantara tumpukan tanah. Mengingat wanita itu sangat menjaganya.
Apa Asih membuang bajunya atau....
"Mas!"
Jaka menoleh saat Asih tiba-tiba saja berdiri di belakangnya. Wanita itu menunjuk-nunjuk hutan pohon karet yang berada di belakang halaman rumah mereka.
"Yusuf hilang."
"Hilang?" Jaka bangkit dari posisinya jongkok. "Hilang di mana?"
"Tengah hutan, Mas."
"Kok, bisa? Kapan kamu bawa dia ke...."
"Nanti saja tanyanya, ayo kita cari!"
Jaka melemparkan asal potongan kain yang ia pegang tadi. Sekarang ia berlari menyusul Asih yang masuk ke dalam hutan. Perasaannya tak karuan mengingat bayi mereka masih sangat kecil.
Tapi... kenapa bisa masuk ke hutan? Sementara Asih menyusulnya ke sini.
Sejenak Jaka ragu untuk melanjutkan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingkah Aneh Istriku ~ END
TerrorJaka yang baru pulang merantau merasakan ada yang aneh dengan tingkah istrinya. Begitu pendiam dan jarang tersenyum seperti Asih yang dulu. Bahkan tak jarang berperilaku tak lazim. Begitupula dengan perlakuan para warga padanya. Temannya, Gito juga...