Prolog

147K 3K 76
                                    

Prolog (edited)

Fajar masih bersembunyi di balik langit pagi yang gelap dan perempuan itu tetap terjaga, menggoreskan pensil ke atas kanvas. Sesuatu mengganggu pikirannya dan perempuan itu tak bisa melawan selain mengubah gejolak di kepalanya menjadi banyak garis asbtrak di atas kanvas. Selama seminggu pikirannya terus diterjang gejolak asing itu. Ia mencoba mengabaikannya, namun, gejolak kurang ajar itu memberontak. Mengusiknya dengan hasut demi hasutan; gambar, gambarlah, kau tahu caranya menggambar, bukan?

Aku tahu.

Menerima tantangan itu, ia mendapati dirinya menyisiri koridor pada tengah malam. Memicingkan mata ketika sampai di studio rahasianya. Studionya, sebuah gudang yang letaknya terpencil di dekat istal kuda. Ayahnya pernah menawarkan lokasi di kastil yang ramai orang sehingga mereka bisa berhenti sejenak, memandanginya menggambar. Tapi tidak, lukisannya adalah rahasia miliknya, perasaannya. Ia tidak akan menunjukkan lukisannya begitu saja. Dan ia tidak suka diperhatikan. Lagipula, lukisannya tak indah.

Perempuan berkulit pucat itu berhenti sejenak, menarik pensil tepat ke depan dadanya. Kedua alis hitamnya berkedut, lalu meregang ketika menguap. Manik keemasannya meneliti kumpulan garis dari goresan kasar tadi. Mengamati sketsa anatomi seorang pria dewasa di depannya yang nyaris sempurna. Ia bertanya-tanya dengan mata menyipit tidak percaya, kekuatan macam apa yang merasukinya sehingga kemampuannya menggambar tubuh meningkat begitu pesat dalam semalam?

Pria dalam lukisan menunjukkan punggungnya pada dunia, pada dirinya. Ia sendiri harus menelan ludahnya, membendung dorongan menyentuh lekukan otot provokatif dua dimensi itu. Sayap yang membentang dari punggungnya, menyentuh melewati tepi kanvas. Menyiratkan ketidakterbatasan. Dan bukan hanya sepasang sayap, namun tiga sekaligus. Sayap pertama membentang begitu jauh dan tipis. Yang kedua, berada tepat di bawahnya, menyatu. Menyerupai jubah lebar keagungan spritiualitas, entinitas, dan perjuangan. Sepasang sayap terakhir menyeimbangi ketidakterbatasan juga keagungan di atasnya. Bagai ornamen mungil, sebagai penampang mahkota yang lebih gemerlapan darinya. Meski begitu, ketiga pasang sayap itu tampak satu dalam kelebihannya masing-masing. Membentuk sebuah sayap malaikat.

Malaikat. Napasnya tercekat. Ia bahkan tak menyadari apa yang ia gambar. Apakah ini yang disebut kerasukan ide mendadak? Dengan pandangan skeptis, ia mengangkat bulu mata (yang menurutnya, tak lentik), mengalihkan pandangan pada wajah yang menoleh ke kiri. Mengintip dari bahu.

Tanpa wajah. Seuntai tawa kering terselip keluar dari bibir keringnya. Jadi, usahanya melukis sepanjang malam hanya dibuahi gambar indah malaikat yang bahkan tak lengkap? Geram, ia menyingkap kompartmen kasurnya dan meraih pisau lipat.

Gagang pisau itu dingin sebagaimana api semangatnya yang mendadak dibekukan; kendati orang seperti dirinya merupakan incaran empuk musuh-musuh ayahnya, ia tak pernah sekali pun terancam bahaya hingga menuntutnya untuk menggunakan pisau. Yah. Sekali. Ia pernah sekali dan sejak kejadian itu, ia ragu-ragu mendekati genangan air yang seolah tanpa dasar. Ia ragu-ragu mempercayai seseorang一seperti pria itu.

Ia mengangkat pisau tinggi-tinggi di atas kepalanya. Prajurit kerajaan, dengan pandangan mencemooh, pasti mengira bahwa lengan kurusnya itu tak akan mampu mengangkat senjata atau pisau lipat sekali pun. Bibirnya tergelitik, menyunggingkan senyum sombong: dugaan para serdadu itu keliru. Lihat saja, pisaunya akan menerobos kanvas yang kokoh serta tebal itu. Mencabik-cabiknya jadi seribu serpihan memori yang tak akan ia ingat lagi. Semudahnya mengenakan gaun, semudah ia menarik napas一

一Tetapi, ia tidak bisa. Paru-parunya kembali mengembang dan mengempis lega seolah ia baru saja melalui mimpi paling buruk. Darahnya berdesir kencang, namun berubah perlahan dengan konstan. Bibirnya yang beku bergetar, darah menghidupkan warna merah merona di sana. Tungkainya melemas, ia melempar pisau ke atas ranjang.

Bokongnya menemui kehangatan karpet beludru. Berbaring di atas permukaan halus itu, ia menatap langit-langit sembari menggigit bibirnya. Wajah para serdadu itu menari-nari di benaknya, mencemooh dan mengejek. Tampaknya lengan kurus itu memang tak kuat mengangkat pisau. Pisau sekecil apapun.

Ia beringsut, memiringkan tubuhnya. Matanya kembali bertumbuk pada sayap yang bahkan terlihat lebih berwibawa dari bawah. Indah. Indah. Saking indahnya, sebuah cairan panas mendorong. Memaksa keluar. Ia berusaha membendung, memejamkan matanya lama. Bola matanya seakan mengerang puas saat ia mengatupkan kelopak matanya. Berharap, dengan itu tangisnya akan lenyap. Berharap, dengan itu, segala ini hanyalah mimpi belaka. Mungkin, memang hanya mimpi.

Ia membuka matanya kembali. Lukisan indah itu masih ada di sana. Lukisan yang belum selesai. Namun, begitu indah sampai-sampai ia harus mengalami loncatan detak jantung. Ia meringkuk dan gelisah. Penasaran apa gerangan yang dibawanya: petaka atau kebahagiaan. Atau, omong kosong.

Ah. Ia lebih suka memercayai pilihan terakhir. []

Hai, hai! Akhirnya kesampaian juga mau edit prolog ini. Dan entah kenapa saya ngeditnya di waktu saya masih gencar-gencarnya belajar buat UTS. HAHAHA! Saya hanya edit kok, dan tidak mengubah alur cerita sedikit pun. :) Oh, iya, untuk Bab 1 sampai Bab 8-1 belum sempat aku edit. Kalau sudah diedit, di judulnya akan muncul indikasi sebagai contoh ini ya;

*Nama Bab* (edited)

Thanks My Anaconda Dont Want None Unless You Got Butt Huns. ;);) HAHAHAH!

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang