Bab 22-2

10.5K 758 119
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale, 

Bab 22-2

            Beruntung Alec tak langsung menikamnya. Ia sendiri tak tahu apa yang merasukinya sampai-sampai butuh dua—tiga atau bahkan selamanya, memandangi Thalia di hadapannya. Wanita itu masih sama cantik sebagaimana terakhir kali Alec meninggalkannya. Hanya saja, kali ini mata yang penuh gairah itu sekarang gentar oleh ketakutan. Sekujur tubuhnya gemetar. Bibirnya membuka lebar. Wajahnya sepucat kapur.

            Namun, sial, wanita ini sungguh cantik.

            Suatu rasa membuyarkan kehambaran dalam lidahnya. Menyebutkan namanya sekali adalah panggilan. Dua kali adalah permohonan. Sesungguhnya, Alec enggan—tapi, ia cinta mengutarakan namanya. Memutar lidahnya tepat saat menyentuh huruf ‘l’ pada namanya. Membayangkan sekali lagi mencicipi lidah mungilnya membelai langit-langit mulutnya. Gelora gairah membludak perlahan merembes melalui celah kecil yang ia biarkan terbuka. Ia sama sekali tak percaya—ia memberikan kesempatan pada Thalia!

            “Thalia,” ujarnya sembari menjauhkan sedikit bilah pedang dari wajah si wanita. Membayangkan wajah itu tercoreng saja sudah membuatnya marah. Apakah ia benar mampu membunuhnya? “Turun. Kalian sudah dikepung.”

            Thalia seolah bangun dari tidur yang panjang. “A—aku—“

            Alec menurunkan bilah pedang, menekannya pada leher Thalia. Dan dari sana, Alec disuguhi pemandangan yang mampu membuatnya gila. Kulit putih yang tersingkap di bawah lehernya adalah hasil dari kerendahan garis dada gaunnya. Belahan dadanya meski kecil, membangunkan sisi erotis Alec. Rambutnya yang acak-acakan, helaiannya menyapu leher mendorong dirinya untuk menyingkirkan gangguan itu—dengan lidah maupun mulutnya. Dewa-dewi, Thalia sendiri adalah perwujudan sensualitas. Betapa besar hasrat Alec untuk menelentangkan tubuh kecil itu di atas tanah. Sekarang juga.

            Namun kemudian, ia teringat akan kilas ingatan yang ditunjukkan Kalia. Bagaimana puasnya Thalia berada di bawah sentuhan pria lain. Bahwa tubuh yang ia inginkan sekarang, ia jaga, ia cinta itu telah ternodai. Hatinya yang Alec pernah menangkan, telah berkhianat. Seakan-akan usahanya selama ini dibayar sia-sia. Rindu yang ia simpan dibayar pengkhianatan.

            “Turun,” pinta Alec.

            Tangan Thalia meraih wajah Alec, matanya bagai kolam emas—berair dan berharga. Tapi, setangkas angin, Alec menepis sentuhan itu dari sisi wajahnya. Ditolak, raut wajah Thalia tampak begitu pedih. Kepalan dua tangannya meremukkan kerapian gaunnya. Bibirnya menutup, membendung entah.

            “Ada apa?” tanya Thalia lirih. “Aku me—“

            Alec masih mengacungkan pedangnya. “Ini adalah perintah terakhirku, Seymour.” Lirikan Alec menemukan seorang gadis di balik Thalia, merangkul—bayi. Napas Alec tercekat, perasaannya campur aduk. Bayi—hasil pengkhianatannya dengan pria lain. Bayi itu seharusnya adalah perwujudan cintanya. Bisa saja. Tapi, setelah apa yang Kalia paparkan—bayi itu adalah bukti pengkhianatan. Alec tak berusaha menipu dirinya bahwa dia sungguh murka.

            Alec menarik lengan Thalia keluar dari kereta. “TURUN!” Diiringi oleh si gadis yang perlahan melangkah turun, cemburu menguasai hatinya. Bayi itu—bayi perselingkuhan.

            Alec mendorong Thalia menyingkir. Mendekati si gadis dengan langkah barbar. Wajah si gadis membiru seolah-olah ekspresi yang terlukis pada muka Alec kini mampu membangkitkan orang mati. Membalaskan dendam arwah gentayangan. Alec mengacungkan pedangnya pada si gadis, tepat di sisi lehernya sebelum turun perlahan menyentuh lengan kecil si bayi. Tekadnya sudah bulat. Segenap purnama. Hingga akhirnya, manik abu-abu yang indah nan besar itu mempertanyakan tindakan Alec.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang