Bab 14-1

18.9K 824 86
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,

Bab 14-1

            Mungkin, harapan tertidur pulas itu hanyalah angan-angan semata. Thalia mengenal baik hitam yang menyerangnya tatkala matanya terpejam. Tubuh telanjang Thalia terperosok ke dalam jurang legam. Jantungnya menabuh detak, menyiratkan guncangan adrenalinnya. Entah bagaimana, kian dalam jatuhnya, helai demi helai kain mulai bermunculan dan melilit tubuh Thalia. Mencekik lehernya sebelum membungkusnya dengan gaun sehitam arang, panjang.

            Perut Thalia bergejolak, hendak mengeluarkan apa yang baru saja ia makan, saat menyadari kedua telapak kakinya menapak pada genangan darah. Bau amis menyerang penciuman Thalia. Darahnya begitu merah sampai-sampai mampu menembus hitam tanpa cahaya. Tanpa cahaya. Tak ada cahaya yang sanggup membimbing Thalia dalam mimpi terkutuk ini.

            Thalia menunduk dan mendapati sejalur darah yang meliuk-liuk tak beraturan. Benaknya penasaran mengapa merah ini seolah menariknya, membujuknya ke tempat terlarang. Seakan darah itu berbisik penuh muslihat; kemarilah, tidakkah kau penasaran siapa korban mimpimu kali ini? Oh, ya. Teramat penasaran.

            Ekor gaun hitam Thalia menyapu darah. Secara harfiah, benar-benar menyapu. Ketika kepalanya menoleh ke balik punggungnya, sejalur merah itu seolah menguap. Menyerpih dan terembus, terombang-ambing ke langit hitam. Thalia menelan ludahnya susah payah saat kesemua kepingan darah itu menampakkan kilas balik kenangan berdarah.

            Mulai dari bukti pembunuhan yang ia lihat saaat kecil sampai kejadian mengerikan yang terakhir; kematian pamannya. Ia tahu semuanya. Sukar melepaskan ingatan dari darah jika kau terlalu sering menyaksikannya. Dan, apalagi, mimpi-mimpi berdarah terus menyita waktu istirahatnya. Meninggalkannya tanpa tenaga setiap pagi.

            Sebuah kilas balik mengusiknya. Di dalam darah itu, samar-samar terpampang langit malam dan sebuah kamar megah di kastil Davial, hadiah ayah pada ibunya. Tangan Thalia menggapainya, menggenggamnya tanpa membuka telapak tangan sedikit pun. Takut nanti kenangan itu pergi lari, padahal ia perlu mengetahui.

            Thalia membuka telapaknya perlahan. Keping darah itu berubah jadi genangan air bening yang tak jatuh-jatuh dari tangannya. Sebuah peristiwa terbingkai di dalamnya. Seorang wanita tersenyum pada seseorang dalam ranjang bayi. Langkahnya aneh dan lebar, tampaknya ia baru saja menyapa bayi yang baru dilahirkannya.

            Rambut hitam panjangnya terkesan terlampau persis dengan milik Thalia. Mata hitam berkilatnya adalah replika dari potret wanita itu di lorong kastil. Wajahnya ayu dan tenang. Penuh belas kasih serta rasa sayang. Bibirnya merah tipis, hidungnya mancung halus. Kulitnya semulus sutra. Punggungnya tegak dan pembawaannya berwibawa—

            Allegra of Seymour. Ibunya. Tubuhnya terguncang, nyaris memecahkan genangan kenangan itu. Bagaimana mungkin diri kecilnya mampu merekam segala peristiwa dan menguburnya dengan cerdik? Dan, bukankah ibunya mati melahirkan dirinya?

            Seorang wanita  muncul di sisi lain kamar. Membawa pisau yang tampak kebesaran bagi tubuh kecilnya. Pisau itu teracung di atas leher ibunya. Allegra tak menyadari benda tajam yang berada di ambang langit. Allegra tak menyadari hidupnya yang berada di ambang kematian. Sebelum akhirnya kenangan itu dipenuhi begitu banyak darah sampai-sampai Thalia terperanjat, menjatuhkan genangan menabrak lantai.

            Ibunya dibunuh. Sebuah asumsi yang tampaknya perlu pertanggungjawaban. Mengapa tak seorang pun menguak rahasia ini pada Thalia? Thalia menggigit bibirnya, kembali meneruskan perjalanan menyisiri jalur darah ini.

            Dengan langkah yang terentak-entak, sebagian kecil dari dirinya merasa takut bahwa tantangannya akan diterima oleh benak bawah sadarnya. Takut nanti benaknya menampilkan bahkan lebih banyak lagi. Bukan sekedar jalur berdarah dan kenangan akan fakta yang tersembunyi darinya. Mungkin saja benaknya kelak menguak salah satu ketakutan terbesarnya. Dikhianati, pikir Thalia.

            Pada akhirnya pula, kakinya itu berhenti di satu titik. Sebuah singgsana mewujud dari permukaan darah. Thalia perlu menenangkan saraf-sarafnya yang berkedut menyakitkan saat memandangi sosok terduduk di atas sana. Aku, Thalia merasakan jantungnya tak ubah sebuah bola yang dipermainkan.

Setelah memalingkan pandangan beberapa saat, Thalia kembali menatap tubuh matinya. Kali ini, bukan hanya lehernya yang tergorok. Thalia memastikan paru-parunya menerima pasokan udara sebanyak mungkin kala melihat kulit dadanya terkuak. Jantungnya terpampang, merah dan tak berdenyut.

Tiba-tiba saja lengan mayat itu terangkat. Thalia nyaris lari terbirit-birit sebelum menyadari sebayang hitam berbahu bidang meraih tangan mayat itu. Mencium tangannya dengan  sayang. Rambut pendek gelapnya menyapu kulit biru pias itu. Sebelah tangannya yang lain menggenggam pisau. Pisau berlumur darah yang teramat merah. Darahnya.

Sesosok bayangan di belakang singgasana melangkah maju. Mendekati Thalia dengan aura mengintimidasi seekor binatang buas. Matanya abu-abu, nyalang menusuk kalbu. Thalia membatu saat mendapati pemandangan jelas dari sosok yang selama ini membayangi mimpi-mimpinya. Membayangi mimpi indah dan—buruk. Astaga.

Pisau itu teracung tepat di dahinya, siap dihujam dalam-dalam. Bibir Thalia nyeri tatkala berusaha melawan kelumpuhan yang menerjang sarafnya. Matanya tak mengedip, meneliti kesempurnaan mimpi buruknya mewujudkan sosok di hadapannya. Tungkainya lemah dan Thalia rasa ia akan terjatuh jika ia tak menggantungkan harapannya pada sebuah bisikan lirih, “Alec.” Alec menghujamkan pisau itu ke dalam kepalanya. Tengkoraknya koyak.

            Thalia membuka matanya, ketakutan. Aroma kayu bakar menusuk hidungnya. Baru saja Thalia hendak melaraskan napasnya saat menyadari bidikan bilah pisau tepat di antara kedua matanya. Badai belum juga reda. Ruangan kian dingin—ataukah memang sarafnya membeku? Kilat menyambar, menajamkan profil pria di hadapannya. Kali ini nyata. Senyata darahnya yang berdesir penuh ketakutan.  

            Alec akan membunuhnya. []

            Haii. Makasih ya udah dibacaa J ohiya, maaf ya aku baru bisa upload. TAPI SAYA UPLOAD TIAP MINGGU, YA KAN? YA KAN? HAHAK. Minggu ini aku dapet tugas banyaaaak banget dan malam yang lalu aku nginep di rumah temen. Dan aku ga bisa konsen nulis kalau ada orang seberisik itu di samping aku… HAHAHAHA. Ohiya, dimohon dukungan berupa vote dan komentarnya ya. Dan maaf juga kalau kalian ga suka part ini. Iya, aku emang suka beralih dari darah-darah ke cinta-cinta lalu ke darah-darah lagi #plak. Ohiya, ini pemenang di bab 13-3:

            Komentator Pertama: alitmas

            Voter Pertama: alitmas

            Komentar Terbanyak: alitmas

Iya. Memang. Reader itu emang parah L wkakak. Special mention for lolitarian yang udah mau membaca lagi Ugly Royale ini :* dan btw, bab ini dipersembahkan kepada lermangirlfriend :*

Ciaooo!

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang