Bab 8-2

24.8K 975 12
                                    

Thor, lanjutin dong ugly royalenya. Thor, lanjutin dong. Thor, oh Thor. 

Hei, aku bukan dewa Thor yang suka mentungin palunya lalu ngeluarin petir secara ajaib :)

Setelah beberapa bulan? akhirnya, aku berhasil kangen ama cerita ini. Jadi, aku putuskan buat bikin lanjutannya. Hehe. Semoga ini berhasil menghibur dan memuaskan penantian kalian. 

Bab 8-2

            Tristan bangun dengan badai yang berkecamuk di kepalanya. Badai berat, terdiri atas ribuan lapisan yang memungkinkan mencincang otaknya menyerpih jadi jutaan partikel. Ia menendang udara, berusaha memperoleh kekuatan untuk bangun. Bukannya ia—pengawal satu-satunya putri mahkota Reibeart—tidak kuat mengangkat bobot tubuhnya sendiri, tetapi, ini sudah menjadi kebiasaannya, rutinitasnya. Membuka mata, menendang udara.

            Dan memikirkan Thalia.

            Thalia Ersa of Seymour dengan kecantikan mempesona dan senyum malu-malu bagai kuncup bunga yang tak siap mekar. Tristan menyeringai dalam empuk bantal bulu angsanya. Thalia Ersa of Seymour, sahabatnya. Thalia of Seymour, hal pertama yang ia pikirkan saat bangun. Lucu, entah bagaimana sudah bertahun-tahun ia memikirkan Thalia pada pagi hari, setiap harinya. Bahkan, pada hari pertamanya di Sekolah Militer Waisenburg (ia sungguh gugup sampai-sampai tidak bisa kencing dengan benar), masih sempat ia memikirkan bibir merah Thalia yang tersungging. Yah, meski, saat itu ia terpaksa disiram air es karena tidak juga beranjak dari ranjang.

            “Jemur kasurnya,” pinta ketua asramaku kala itu. Berupaya menjemur kasur membuahkan hasil yang menjengkelkan. Pertama, ia melewatkan waktu sarapan. Kedua, ia tersungkur tak berdaya ketika mendapat ganjaran (atas alasan telat datang) berupa tinju. Ketiga, selain sarapan, ia juga tidak makan siang dan malam, efek samping pingsan, gejala kematian. Sebab, sungguh, semalaman itu, tangannya meremas perut seolah-olah jika ia melepaskannya, perutnya akan menciut kemudian meledak.

            Hari pertama yang payah, memang. Tapi, setidaknya, ia berhasil lulus dengan nilai terbaik. Militer Waisenburg hendak memperkerjakannya sebelum mereka pelajari ia adalah tentara yang mengabdi hidup pada Reibeart. Lagipula, aku rindu pulang, aku rindu Reibeart, pikir Tristan, aku rindu Thalia.

Thalia, Thalia, Thalia. Hidupnya seakan berporos pada Thalia. Berpusat pada Thalia. Satu-satunya alasan ia ingin pulang adalah menemui Thalia (yang menjadikan ia pulang demi Reibeart sebab Thalia adalah putri mahkota kerajaan). Ia tidak memiliki hubungan baik dengan para Schiffer, keluarganya. Ia anak haram. Ayahnya, Lord Schiffer, salah satu anggota Parlemen Reibeart, menghamili ibunya, seorang pelayan Kastil Seymour.

Tristan tidak lebih dari penyakit yang harus diasingkan di keluarganya. Ayahnya menyayangi Tristan seperti ia menyayangi anaknya yang lain, saudara tirinya. Beberapa tahun di Kediaman Schiffer, ia menjalani harinya dengan caci dan makian. Meski ayah menyayanginya, kerabatnya tidak demikian, terutama Lady Schiffer, istri sah ayah.

Lady Schiffer mengusirnya, kerabat ayah mendukung si wanita iblis, dan ayah tidak bisa berbuat apa pun selain membawanya ke Kastil Seymour. Saat itu umurnya sepuluh tahun, sendirian, dan dilatih menjadi tentara. Masa kanak-kanaknya direnggut, hanya karena Lady Schiffer menginginkannya.

Kendati berpapasan berkali-kali dengan ibu, Tristan tidak pernah menggerakkan bola mata untuk menengoknya. Ia tidak mampu melihat betapa persis warna matanya dengan hijau milik ibunya. Ia tidak mampu melihat betapa persis warna rambut pirang kecokelatannya dengan rambut milik ibunya. Ia tidak mampu melihat betapa lesung pipi ibunya membentuk kawah kecil nan manis persis seperti di pipinya. Ia merupakan bagian diri ibunya dan ia kecewa. Kecewa akan satu hal yang bahkan tidak bisa ia jabarkan. Kecewa; mengapa dirinya yang selama ini kukuh menghadapi caci dan makian harus tersakiti oleh perhatian dari hijau cerah mata ibunya.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang