Bab 13-3

22.3K 911 122
                                    

Bab 13-3

            Badai masih meneguhkan ributnya bahkan seusai Thalia mandi (untungnya, pancuran itu mengalirkan air). Membuka pintu, Thalia tersadar akan ketelanjangannya. Ia lupa untuk membawa handuk. Tangannya meraih daun pintu dan menutupi setengah tubuhnya. Lirikannya lari ke sana-sini, memastikan tak ada seorang pun (maksudnya, Alec) di kamar. Kosong, hanya saja pintu kamar agak terbuka. Cahaya kemerahan tercetak lurus di antara celah pintu.

Thalia sempat tertegun saat mendapati gaun-gaunnya lenyap. Melangkahkan jinjitan keduanya, ia menangkap seberkas handuk putih tertata rapi di atas ranjang. Thalia sedikit terharu akan perhatian Alec. Pria itu mencemaskan kondisi tubuhnya dan kebutuhannya. Entah mengapa rasa salah menggerogotinya mengingat amarahnya pada Alec.

            Membungkus tubuhnya dengan besar handuk yang tiga kali lipat dirinya, Thalia berjalan menuju lemari di sisi lain kamar. Telapak kakinya membuat lantai kayu berderak pelan. Suara petikan api terdengar asing. Sudah berapa lama ia tak mengunjungi pondok ini? Rasanya seperti seratus tahun.

            Seharusnya Thalia mengantisipasi isi lemari. Usahanya mencari pakaian kering ternyata berujung percuma. Lemari hanya berisikan gaun-gaun yang terlampau kecil baginya. Gaun sepuluh tahun lalu, pikir Thalia. Darah mengumpul di pipinya saat membayangkan dirinya berjalan hanya dengan handuk, duduk di samping Alec, menghangatkan diri di depan perapian. Setidaknya ia masih memiliki handuk. Handuk yang menutupi tubuhnya hingga betis kaki.

Tubuhnya gemetar akan dingin saat membuka lebar pintu. Alec duduk menghadap perapian, kakinya ditekuk, lututnya sejajar dengan dada. Punggung terlukanya telanjang terpampang jelas bagi mata Thalia. Untuk sesaat, Thalia bergeming di bingkai pintu seraya menahan handuk agar tak jatuh. Peristiwa sadis apa yang membuat tubuh sempurna itu terluka? Dan bukan hanya satu atau dua luka pendek. Lebih seperti luka cambukan.

Thalia menahan gejolak menjijikan dalam perutnya untuk memuntahkan isi perutnya.

“Gambarmu bagus,” mulai Alec. Memecah keheningan dan derak kayu yang menyelip di antaranya.

Mata Thalia nyalang mendapati buku sketsanya terbuka lebar di pangkuan pria itu. Thalia tergopoh-gopoh mendekati Alec. Mengambil duduk di sampingnya, Thalia menyambar buku sketsa itu dari pangkuan Alec. Dan dengan itu, mata Thalia terpaksa menyusuri bidang tubuh alec yang membuat napasnya tercekat.

Otot-otot pada tubuhnya sudah cukup menerbangkan angan-angan Thalia ke wilayah terlarang. Warna keemasan kulitnya diterpa merah api menjadikannya bahkan lebih seksi. Lebih menggiurkan. Jemari Thalia tergelitik penasaran. Apa rasanya menarikan tangan di sepanjang perut itu? Menjilat pusarnya dan mencium dadanya?

“Aku tidak mengizinkanmu melihatnya.” Thalia bersedekap, matanya kini terarah pada rahang keras Alec dan tatapan dinginnya.

Alec menoleh kepada Thalia, berusaha menyunggingkan senyum. Namun hanya sebuah tarikan samar garis bibirnya yang Thalia dapatkan. “Aku tak memerlukan izinmu untuk membukanya.”

Kemudian, pria itu kembali mengarahkan matanya pada jilatan api. Thalia mengangkat tangannya, mengelus pipi pria itu yang kasar akan anak rambut. Tatapan Alec bengis saat ia menepis jemari Thalia. “Jangan sentuh aku,” ancamnya.

Tapi, matanya berkilat sebaliknya. Matanya abu-abu dan berkabut. Alec bergairah. Thalia mampu merasakan betapa sakitnya memenjarakan gairah itu di balik sikap kasar. Menyaksikan itu semua, Thalia mengembalikan tangannya ke atas paha dan mencondongkan tubuhnya ke kehadiran Alec.

“Alec,” lafal Thalia, “tatap aku.”

Hening. Alec masih mematri pandangannya pada jilatan api yang menghangatkan saraf Thalia.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang