BAB 9
Aku tahu aku jatuh cinta.
Ketika ia mengangkatku dari dalam air, aku tahu perasaan bersyukur ini.
Perasaan yang mengembang dan memenuhi relung tubuhku.
Aku jatuh cinta kepada Alec of Reyes.
Thalia mendapati dirinya tidur tengkurap. Ia hendak beranjak dari kasur. Namun, berhenti berusaha saat kepalanya berdenyut menyakitkan. Seolah-olah seluruh darah mengumpul dalam otaknya, menuntut diledakkan. Ia tidak punya pilihan selain berguling ke sana-sini hingga menemui posisi berbaring paling nyaman.
Tapi, tidak ada yang senikmat dekapan Alec.
Pria itu memeluknya dalam perjalanan mengantar Thalia ke Seymour. Dan tidak pernah melepasnya. Meski Thalia menghabiskan sebagian besar waktunya di Pesawat terlelap, ia mampu meraskan belaian atau remasan lembut Alec. Thalia jadi bertanya-tanya apakah Alec takut, tapi ia membawa dirinya tersungkur lebih dalam ke dada bidang Alec.
Wajah Thalia memerah, terkenang akan kecupan Alec sebelum pria itu menyerahkannya kepada Tristan. Kala itu, kesadaran telah mengamuk meminta kelopak matanya membuka. Namun, perasaan malu bertandang dan bahkan menguasainya lebih besar. Lagipula, membuka mata atau tidak, kecupan itu pasti akan mendarat di bibirnya.
Kenapa aku seyakin itu?
Entahlah. Tapi ia menyadari satu hal. Pandangan yang Alec berikan ketika ia bangun dari gumpalan air di paru-parunya. Tatapan itu, sebuah bentuk penyerahan, pengorbanan, dan kasih. Sekilas melihatnya pun Thalia tahu. Segala perasaan Alec yang selama ini sulit diprediksi, mengambang di matanya. Dan begitu saja, Thalia tahu.
Setidaknya, terima kasih, ia masih diberikan berkah napas kehidupan. Ia bahkan tidak yakin akan menemui cahaya matahari lagi. Danau itu gelap dan dalam. Airnnya menusuk paru-parunya, merebahkannya kian dalam. Tekanan air di dalamnya membungkam kembali kelopak mataku yang kerap kali berusaha membuka. Gelap gulita. Ia menendang jauh-jauh pikiran itu. Ia memiliki pengalaman buruk dengan air.
Dan itu menghidupkan ingatannya akan seseorang.
Suara ketukan yang konstan berkumandang. Menyambarnya dengan beribu kesadaran. Thalia berguling ke tepi ranjang dan menjatuhkan dirinya sendiri ke karpet. Kakinya mati rasa menjejak permukaan halus karpet. Seakan kakinya itu sudah tidak lagi berguna sebagai tumpuan berjalan. Ketukan itu terdengar lagi. Thalia menyeret kakinya menuju pintu.
Tangannya meraih kunci dan memutarnya. Ia selalu mengunci kamarnya. Terutama setelah kejadian pembunuhan dalam kamarnya. Pintu itu membuka, menampakkan seorang pria. Bukan kepala pelayan kastil. Bukan pula ayahnya. Ataupun Tristan. Itu Alec.
“Pagi sekali,” ujar Thalia, akhirnya bisa mengalahkan getaran menggembirakan dalam perutnya.
“Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan dengan ayahmu.” Alec menjulurkan lehernya, melihat ke balik punggung Thalia. “Apakah kau keberatan jika aku masuk?”
Butuh beberapa saat bagi Thalia untuk berpikir. Ini adalah sebuah kamar. Membawa Alec masuk sama saja dengan—“Tidak. Maksudku, ya. Masuklah.”
Melangkahkan kaki panjangnya ke dalam, Thalia segera menutup pintu kamarnya. Jikalau seseorang melihat ia mengizinkan pria masuk ke dalam kamarnya, ia tidak mungkin selamat dari skandal. Ayahnya akan menanggung rasa malu dan tidak akan memperbolehkan Alec datang lagi. Tapi, Alec tunangannya. Alec berhak menelisik kamar calon istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UGLY ROYALE
Fantasy[18+] [CONTAIN MATURE CONTENTS] Ia terpaksa mengikrarkan pertunangan dengannya demi menghindari segala kemungkinan buruk yang akan menimpanya.. Thalia Ersa of Seymour tidak pernah menginginkan gelarnya. Sebagai satu-satunya anak sah Raja Reibeart d...