Bab 12-2

24.1K 932 62
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale, 

Kata 'memasak' yang nanti ditemukan di bab ini berasal dari kata dasar 'pasak'



Bab 12-2

            Seolah usai menempuh lintasan paling muram dalam mimpi buruknya, Tristan sama sekali tidak tergoda untuk menoleh ke belakang. Deru amarah yang merecoki hatinya membangkang, tidak mudah diredam. Tidak mudah ditaklukan. Amarah teramat dahsyat berporos pada perasaan Tristan sendiri. Kenyataannya sebening kaca, tidakkah Tristan jera? Menyimpan cinta bagi Thalia itu percuma.

            Ketika mendapati pintu kamar Thalia terbuka, Tristan berubah waspada. Tristan tak akan membiarkan satu bahaya menjamah wanita itu lagi. Tidak akan. Tangannya kukuh menggenggam pedang, siap menebas orang. Siapapun itu yang mengancam keamanan Thalia, Tristan tak akan merasa enggan memotong kepalanya. Eksekusi mati.

            Barulah Tristan hendak melabrak kayu tebal pintu itu, bencana datang disuguh oleh kesialan hidup. Alec berada di atas Thalia. Pintu tidak membiarkan Tristan mengetahui lebih jauh. Namun, bukan berarti pendengarannya mampu berdusta. Suara kecup, geraman, gigitan, belaian, dan desahan. Desahan Thalia.

            Sesuatu dalam diri Tristan menegang. Gairahnya mengamuk bebas. Mendambakan pelepasan leluasa luas yang tak akan bisa dipuaskan. Mendambakan Thalia, memasukinya dan dipenjara dalam relung itu selama-lamanya. Namun, kemudian, Tristan menyadarkan diri sendiri. Tak sepantasnya ia bergairah di saat Alec—bajingan itu, seharusnya Tristan memutus jiwanya pagi tadi tatkala Alec terlelap (Baginda Bartholomeu IV menghadiahkannya tempat peristirahatan seusai perjalanan yang sangat melelahkan)—mencumbu Thalia, cintanya.

            Mengingat siapa yang membuat Thalia bergairah tidak lain ialah pria selain dirinya, mendatangkan gelombang rasa mual ke sekujur tubuhnya. Jantungnya berhenti berdenyut, menguarkan sesak memenuhi relung dadanya. Dengan kalap, Tristan menyarungkan kembali pedangnya secepat kilat. Ia bahkan tidak menyadari kakinya mengambil tiga langkah sebelum satu detak jantungnya.

            Tiap jengkal nadinya seakan membutuhkan penopang demi mengalirkan darah, demi melancarkan hidup Tristan. Sembari berjalan, Tristan takut memikirkan kemungkinan hatinya kelak runtuh bersamaan dengan seutas benang rapuh yang menggantungnya pada harapan. Harapan bahwasanya Thalia menyimpan rasa padanya; ia tahu itu benar.

            Tristan bahkan tidak bisa melupakan percikan gairah di mata Thalia ketika Tristan mengelus sisi wajahnya. Setipis apapun rasa itu, Thalia pasti menyadari kejang yang mengalir di antara keduanya. Rona pada pipinya kala itu mengindikasikan satu hal. Degup jantungnya cepat sebagaimana darah berdesir kencang tanpa ampun di pembuluh Tristan. Satu sentuhan, hanya itu yang Tristan butuhkan, untuk meyakinkan dirinya bahwa tersedia tempat, meski teramat kecil, di hati Thalia.

            Tapi, ia merasa dipermainkan. Dipermainkan dunia, sepertinya. Mengapa dunia tidak mengizinkannya membangun keyakinan itu sedikit lebih lama? Mengapa dunia menghancurkannya tiba-tiba? Menumbangnya di depan matanya. Melipurnya di antara celah pintu itu. Mungkin seharusnya Tristan tidak pernah mengintip. Mungkin, seharusnya Tristan tidak pernah mencintai Thalia.

            Sebab, Thalia mencintai Alec. Dan Tristan hanyalah pria yang mengamati dari jauh wanitanya dibuai pria lain. Tristan tak mampu mendekat. Mendekat hanya mendatangkan jarak yang bahkan lebih lebar lagi. Paradoks itu terasa lucu, entah bagaimana. Nasibnya memang mendatangkan sebuah kabar yang hambar.

            Hambar, ulang Tristan dalam hati.

            Mungkin ia butuh pengalihan perhatian. Sebuah pelepasan.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang