Bab 6-2

34.6K 1.4K 14
                                    

maaf telah lama absen, padahal saya ingin upload cerita ini setiap hari loh._. oh iya dan hasil mid rapot saya sangat meuaskan dan karena itu saya ingin mengucapkan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa. Dan juga makasih buat semua komentar di bab sebelumnya baik pujian walaupun kritikan. Saya tau tidak ada yang sempurna dan kekal di dunia ini, dan itu berlakupula pada cerita ini, jadi dimohon jika ada kekurangan atau yang tidak enak di hati mengenai cerita ini, mohon kritik saya, akrena saya juga masih dalam perkembangan :--) happy UN bagi yang menjalankan, anda pasti bisa melakukannya tanpa cara kotor apapun :) sekian dan selamat membacaaaa juga beraktifitas


Bab 6-2


Pertunjukkan opera diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari seluruh penonton. Thalia, kali ini dengan bantuan Alec, akhirnya dapat mengerti alur dan terbawa dalam alur kisah sampai-sampai ia tidak bisa menahan dirinya untuk tak beranjak dari kursi, memberikan tepuk tangan paling meriah. Walaupun, itu artinya melapaskan tangan hangat Alec. Tapi, sekali lagi mereka menggenggam tangan satu sama lain, berjalan menuju pintu utama opera di mana transportasi Alec menunggu.

Bagaikan mimpi, semua orang melihatnya penuh ketakjuban. Ia tahu, fisiknya berubah drastis di bawah tangan Mr. Figgins sang ahli, tapi ia yakin itu tidak akan mengubah rasa malunya ditatap oleh banyak pasang mata. Terlalu malu dan ia tahu ia tidak akan bisa membawakan pidato atau pengumuman atau apapun itu yang berasosiasi dengan kepercayaan diri dan panggung. Lebih tepatnya, ia demam panggung. Tapi, ia tidak keberatan jika kedua tatapan Alec tertuju hanya padanya, tak setitik pun memandang Anastasia yang berdiri jauh dari mereka, di belakang bersama Tristan.

Dan Bartholomeu yang telat datang karena ada urusan mendadak, sama sekali tidak keberatan. Ia lebih mementingkan pembicaraan seni dengan raja Waisenburg, William, tanpa memedulikan betapa intens tatapan Alec pada anak semata wayangnya. Betapa bahayanya tatapan Alec pada Thalia yang mungkin saja akan berujung sebuah tragedi. Ditambah pesona Alec yang tersebar bagaikan kicauan burung ke telinga seluruh pengunjung, tragedi pastilah terjadi.

Tapi, setidaknya, Thalia ingin menghindari tragedi. Ia melangkah masuk ke dalam transportasi dan wangi mawar menyerbak ke seluruh sudut ruangan. Thalia meraba-raba wajah sementara punggungnya menghadap Alec yang sedang berbicara dengan salah satu penjaga. Thalia berharap wajahnya tidak semerah dan sejelas itu terlihat di bawah cahaya bulan yang menembus kaca transportasi. Tapi, sayangnya, cahaya putih lampu menembus retinanya menyilaukan pandangannya hingga kabur.

Elusan kulit berkeringat seseorang menyadarkannya untuk segera membuka mata. “Wajahmu memerah,” kata Alec masih mengelus pipi kirinya selambat yang pria itu mampu demi mempercepat putaran tak masuk akal di benak Thalia. “Baiklah, Thalia. Ruang tamu atau kamar?”

Thalia mundur selangkah dan Alec tak menahannya, syukurlah. “Maksudmu? Tunggu, apa maksudmu?” tanya Thalia tergagap. Matanya memincing, mengingat-ingat apa yang terlupakan. Thalia berdeham ketika menangkap maksud Alec. “Ah, benar. Kamar. Cerita klasik, bukan?” sekali lagi Thalia bertanya untuk meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar meminta Alec menceritakan cerita ‘Pursuit’ lebih jelas, sejarahnya, dan beberapa teater yang melakukan dramanya. Sebenarnya, peluasan wawasan bukanlah tujuan utama Thalia.

Tapi, terlanjur sudah karena dirinya melangkah masuk ke dalam kamar setelah mengekori Alec, berbelok ke kanan pada tikungan pertama,  berjalan lurus hingga menemukan sebuah kamar dekat ruang kendali. Thalia bertanya-tanya mengapa kamar sementara ini berlokasi dekat ruang kendali yang biasanya—sering kali—berisik, ricuh, dan bertentangan dengan kentententraman. Syukurlah, ketiaka pintu kamar menutup, semua suara tak keruan menghilang dalam sekejap meninggalkan suara halus napas Thalia yang berburu.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang