III.

974 72 2
                                    

Sinar mentari pagi membangunkan Haechan di sebuah apartemen mewah tempat ia dan Jeno tinggal. Jendela telah dibuka paksa membuatnya lantas menggerang kesal, namun segera bangun takkala melihat sosok yang ia sebut suaminya sudah lebih dulu bangun.

"Morning sayang...." Sapanya. Tidak menepis bahwa kepalanya tiba-tiba dilanda pusing. Haechan tersenyum mendapati suami di depannya masih menggunakan handuk melingkar di pingangnya. Tidak, bukan itu yang Haechan pikir. Ingatannya merujuk pada pesta semalam, dimana dia telah mabuk berat. Lalu melihat kondisinya yang sudah berganti baju dan tidur di kamar, membuat serta merta bibirnya naik ke atas.

"Sulit dipercaya kau tidak meninggalkanku seperti dulu." Komentarnya. Karena demi dewa, Jeno pernah membiarkannya tidur di luar ketika pulang larut dalam keadaan mabuk. Padahal cuaca Amerika dulu sedang dingin-dinginnya.

"Minumlah." Jeno lekas menyodorkan segelas air untuk diminum istrinya. Berhubung ini adalah peristiwa langkah, Haechan pun buru-buru meminumnya dan langsung menempelkan tubuhnya memeluk Jeno.

"Aku ingin memakai pakaian dulu, pelukannya nanti saja."

"Tidak mau, ayo kita pelukan sambil telanjang saja!" Ajaknya mengundang sentilan di dahi Haechan.

Karena Haechan tidak mau lepas, Jeno pun yang akhirnya melepas paksa. Mengambil kaos beserta celana rumahan dan memakainya di depan Haechan sendiri.

Entah pengaruh alkohol itu masih ada, jelasnya tingkah Haechan tidak seperti biasa dan mendadak seperti haus sentuhan. Dia pun tak segan-segan menarik Jeno lagi untuk dipeluknya erat seperti guling.

"Aku sebenarnya pusing sekali, tapi wangi tubuhmu membuatku merasa membaik."

Tak ada reaksi dan Haechan pun secepat itu menyadari apa yang terjadi. "Mengapa diam saja? Apa aku membuat kesalahan kemarin?"

"Kau memang selalu membuat kesalahan."

"Jenooo....?" Rengeknya tidak terima diabaikan Jeno begitu saja.

"Pasti aku selalu menyebut-nyebut namamu kan?" Tebaknya. "Yuta bilang ketika mabuk aku selalu menyebut-sebut nama orang terdekatku."

"Apa itu termasuk mengumpatiku?"

Pelukan dilepas, Haechan mendadak bangkit. "Woahh... Seriusss apa aku sesalah itu??"

Jeno yang ikut berdiri, berjalan meninggalkan Haechan di kamar tidur mereka. Dan itu diikuti oleh sosok manis sampai ke dapur, tempat dimana Jeno membuat kopi.

"Jenoo... Mengapa mendiamiku... Ceritakan apa saja yang ku lakukan semalam?" Tuntutnya.

Jika itu bukan hal buruk Jeno tidak akan bersikap aneh seperti ini. Haechan kenal suaminya. Jika marahnya dalam level gawat, dia pasti akan mendiaminya seperti ini.

"Kau berkata begitu ibarat tidak pernah menyesal melakukannya." Ujarnya.

"Aku menyesal Jen, sungguh aku menyesal!"

"Kau menyesal sekarang dan besoknya melakukan dan melakukannya lagi. Begitulah siklusnya."

Haechan terdiam sejenak. Tidak seharusnya ia sebersalah ini ketika dia sendiri tidak ingat apa yang dia lakukan. Jeno memang ahlinya mendramatisir. Dia baru ingin berbalik namun suara Jeno membuatnya memaku.

"Kau meminta cerai dariku. Sudah ingat?"

Jeno menebak Haechan sekarang dilanda panik. Di kepalanya pasti sedang menyiapkan berbagai alasan untuk mengabaikannya. Namun yang terjadi adalah Haechan justru tertawa keras setelahnya. Sangat keras hingga terpingkal-pingkal.

"Kau percaya sekali dengan kata-kata orang mabuk?" Tanyanya pada sisa tawanya.

"Biasanya mereka mengatakan kebenaran."

MARRIAGE VOYAGE (NOMIN- MARKMIN) REPUBLISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang