"Cerai saja!"
Begitu kurang ajarnya, kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir seorang yang ia anggap teman. Sepertinya Haechan memang menyesal atas keinginannya menemui Renjun di cafe pada siang hari yang terik ini. Bukannya mendapat pencerahan ia justru mendapat tambahan beban.
"Dengan komentarmu barusan apa kau pantas disebut seorang psikolog, Renjun?" Balasnya tak terima.
"Aku tidak berperan sebagai psikolog sekarang."
"Kau sedang berperan menjadi teman terkutuk yang bisa-bisanya menyarankan itu padaku."
Jika bukan karena suasana cafe yang terbuka dan banyak pengunjung, Haechan mungkin akan mengumpat pada teman yang sialnya sangat ia rindukan ini. Memang komentar sakartik tiap kali terlontar dari mulut keduanya. Dengan prinsip mereka semakin akrab pertemanan semakin kasar percakapan.
"Baiklah-baiklah, apa yang bisa ku lakukan untuk teman sejatiku ini." Renjun mulai mengalah. Sekarang berperan bak sahabat yang memang dibutuhkan.
"Kau biasanya cukup tegar untuk menghadapi sifat childish Jeno."
"Tidak lagi. Dia menyakitiku sangat parah kemarin." Dengusnya. Pertengkaran mereka kemarin sore adalah yang terparah. Walau cacian Jeno tidak lebih parah dari yang biasa ia terima. Tapi itu adalah pertama kalinya Haechan berani melawan dan memukul telak Jeno.
Dan perasaan bersalah sekarang menghantuinya. Semenjak dia meninggalkan rumah dan memilih tidur di hotel, Jeno sama sekali tak mencarinya bahkan tidak menghubunginya. Ia jadi sedikit takut bahwa ungkapan Renjun tadi menjadi nyata.
"Kita pernah membahas ini Haechan. Kau hanya perlu mengerti dirinya dengan cara lembut." Komentar Renjun setelah panjang lebar dia mendengarkan curahan hati Haechan. Dari cerita Haechan soal Jeno yang notabennya bukan dari keluarga berada. Dia hidup seorang diri, berjuang seorang diri. Harusnya Haechan pun bisa memahami itu.
"Aku sudah melakukannya Ren."
"Dengan memberi makanan sampah seperti kemarin?"
"Kusobek mulutmu jika mengatakan hal itu lagi."
Lagi-lagi tawa tak berhenti dari bibir Renjun. Serius, dia bukan psikolog spesialisasi rumah tangga. Tapi mengapa kebanyakan temannya mengeluhkan masalah rumah tangganya padanya. Tidak Haechan tidak juga Jaemin. Masih ingat bagaimana teman yang satunya itu kemarin menelponnya dengan menangis.
"Kalian berdua mempunyai masa lalu yang berbeda. Lahir di keluarga berbeda pula. Jika terbiasa hidup dengan keras dan tidak menerima toleransi apapun, itu sangat berbeda denganmu yang terbiasa mendapat tolerasansi beserta kasih sayang yang cukup dari keluargamu."
Pandangan Renjun soal masalah rumah tangga Jeno dan Haechan adalah sebatas pemahaman semata. Ego masing-masing masih terlalu tinggi. Ditambah tidak ada satu pun yang mau mengalah.
"Lalu haruskah semua kesalahan menjadi bebanku. Aku toh tidak memilih untuk lahir dari keluarga siapa dan bagaimana?"
"Begitu pun Jeno yang tidak bisa memilih menjalani hidup seperti apa Haechan."
"Kau seperti lebih pro dengan Jeno." Tuduhnya. Sebenarnya Renjun itu temannya atau bukan. Mengapa sepertinya ia membebankan kesalahan padanya.
"Ckk... Aku akan memberikanmu kertas dan coba tulis hal apa yang sekiranya kau harapkan pada suamimu."
Tanpa pikir panjang Renjun menyerahkan selembar kertas dan pena pada Haechan.Itu adalah sebuah metode yang sering ia lakukan pada klien nya. Karena dengan menulis, orang bisa sedikit mengurangi bebannya. Begitu tangan Haechan bergerak, menulis kata demi kata hal yang memang diharapkan dari suaminya, Lee Jeno.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIAGE VOYAGE (NOMIN- MARKMIN) REPUBLISH
FanfictionMark dan Jaemin, bisakah mereka melewati musim dingin pernikahan mereka?